Meskipun bank asing mulai meninggalkan bisnis konsumer di Indonesia, hal ini tidak berarti bahwa bisnis konsumer di Indonesia sudah tidak menarik lagi. Justru sebaliknya, bisnis konsumer di Indonesia masih memiliki potensi yang besar, mengingat jumlah penduduk yang besar, pertumbuhan ekonomi yang stabil, dan tingkat inklusi keuangan yang masih rendah.
Pengamat Ekonomi dan Perbankan Binus University Doddy Ariefianto mengatakan bahwa bisnis konsumer di Indonesia masih menjanjikan, terutama di sektor-sektor tertentu seperti KPR, kredit kendaraan bermotor, dan paylater. “Bisnis konsumer di Indonesia masih tumbuh, karena permintaan masyarakat masih tinggi, terutama di kelas menengah ke bawah,” katanya kepada Bisnis.
Doddy menambahkan bahwa bisnis konsumer di Indonesia juga didorong oleh perkembangan teknologi digital, yang memudahkan akses dan transaksi masyarakat. “Banyak inovasi dan produk baru yang muncul di bisnis konsumer, seperti paylater, e-wallet, dan peer-to-peer lending. Ini menunjukkan bahwa bisnis konsumer di Indonesia masih dinamis dan berkembang,” katanya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin. Menurutnya, bisnis konsumer di Indonesia masih memiliki ruang yang luas untuk tumbuh, karena tingkat inklusi keuangan di Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain. “Bisnis konsumer di Indonesia masih memiliki potensi yang besar, karena masih banyak masyarakat yang belum terjangkau oleh layanan keuangan formal,” katanya.
Amin mencontohkan, tingkat kepemilikan kartu kredit di Indonesia masih sangat rendah, yaitu sekitar 2% dari total penduduk. Padahal, kartu kredit merupakan salah satu produk bisnis konsumer yang paling menguntungkan bagi bank, karena memberikan bunga yang tinggi. “Bisnis kartu kredit di Indonesia masih memiliki peluang yang besar, karena masih banyak masyarakat yang belum memiliki kartu kredit, terutama di daerah-daerah,” katanya.
Selain kartu kredit, Amin juga menyebutkan bahwa bisnis KPR di Indonesia masih memiliki prospek yang cerah, karena permintaan akan rumah masih tinggi, sementara pasokan masih terbatas. “Bisnis KPR di Indonesia masih tumbuh, karena kebutuhan akan rumah masih besar, terutama di kota-kota besar. Namun, masalahnya adalah harga rumah yang terus meningkat, sehingga membuat masyarakat sulit untuk membelinya,” katanya.