Budaya Aji Mumpung dalam Pilkada 2020

Herry Santoso
6 Min Read
jfID - ADA adagium Jawa yang berbunyi, urip iku aja demen aji mumpung. Secara harfiah bermakna, hidup jangan sampai mumpung bisa melakukan, atau mumpung ada kesempatan. 

  Filosofi Jawa tersebut memang selalu aktual dalam tata kehidupan umat manusia, tetutama dalam menjalankan amanah kemanusiaannya. Dalam pemerintahan misalnya, ilmu "aji mumpung" ini belakangan selalu mengedepan. Gegara jadi pejabat, ia sudah kerasukan virus aji mumpung. "Kapan lagi aku dapat kesempatan kalau tidak sekarang?". Akhirnya, anaknya, menantunya, keponakannya, anaknya temannya teman, dan seterusnya serta-merta dijadikan pejabat, ironisnya pejabat "karbitan".

  Contoh kasus menjelang Pilkada di beberapa daerah seperti Kabupaten Kediri, Kota Solo, Kota Medan, Kota Tangsel, dan seterusnya.  Bergegas lahirlah "calon karbitan". Apapun alasannya, barang karbitan akan masak sebelum waktunya. Di luar ranum, dalamnya mentah. Mereka adalah sosok calon pemimpin karbitan. Sudah bukan rahasia lagi karena dia putra mahkota seorang penguasa, atau paling tidak sebagai anak pejabat yang dekat dengan singgasana.

   Itulah pelaku aliran aji mumpung. Apa tidak sah? Ya, sah-sah saja, sejauh hal tersebut tidak melanggar peraturan perundang-undangan. Dalam kultur Jawa ada istilah wreksa kang rineka jalma (kayu tiruan manusia), yaitu identik dengan boneka. Namanya saja boneka yang jelas tidak hidup, karena sekadar tiruan  manusia. Para calon pejabat karbitan itu dikhawatirkan nantinya tidak mampu "menghidupi" kawula, tidak mengenal lika-liku tentang masyarakat bawah. Mau jadi pemimpin bagaimana, jika sebagian nama desanya saja belum tahu.

  Itu semua akibat sifat  "aji mumpung" dalam  kekuasaan (terutama) di daerah-daerah. Fenomena aji mumpung tersebut jelas identik dengan keserakahan, dan sifat arogansi para pejabat negara saat ini yang cenderung mengarbit anak-anaknya, menantunya, atau saudaranya untuk menjadi seorang kepala daerah. Inilah bentuk nyata dari oligarki kekuasaan yang di negeri tercinta ini masih begitu kental. Akibat dari oligarki pemerintahan bukan dikendalikan oleh orang-orang yang berbudi bawa leksana tetapi justru oleh orang-orang yang congkak dan serakah terhadap kekuasaan. Padahal memimpin itu identik dengan mengisi kemerdekaan. Idealnya perlu ditempati oleh para pejuang amanat oenderitaan rakyat, bukan justru dilakukan oleh orang-orang serakah yang berpayung demokrasi !

Buah Keserakahan dan Kepongahan

  Saya ingat cerita tentang Brigadir Jendral Mallaby. Ketika ditanya Witson Churchill,  "How many days do yo need to conquer Surabaya, General ?" (Perlu berapa hari bisa menahlukkan Surabaya, Jenderal ?). Dengan pongah dan congkaknya Brigjen Mallaby menjawab, "No more than 6 hours!"  (Butuh enam jam, Tuan !).

 Kepongahan jenderal ambisius itulah yang akhirnya membawa petaka. Selama dua puluh hari dia justru jadi bulan-bulanan Arek-arek Suroboyo. 
Mungkin di benak Mallaby, ada apanya dengan Surabaya? Lagian aku juga membawa Gurkha,  yaitu pasukan  bayaran berani mati dari Nepal.  Gurkha terkenal dengan senjata tradisionalnya berupa pisaunya bernama kukri. Dengan senjata itu mereka tak pernah takut mati di medan laga.

  Tetapi berhadapan dengan  Arek-arek Soroboyo, bisa berkata lain. Ternyata yang dihadapi Sekutu di kota Surabaya bukan pemuda kacangan, melainkan manusia yang hanya kenal merdeka atau mati sahid, yang selalu berkata : "Ah cuma Gurkha apanya yang ditakuti ?". Meski namanya disegani lantaran ahli lempar  kukri, Arek-arek Suroboyo tak pernah gentar sedikit pun ! Mereka siap pertahankan bumi Surabaya, dengan filosofi Sadumuk bathuk sanyari bumi. Sejengkal tanah akan dimodali dengan titik darah penghabisan!

  Ternyata benar adanya. Selama 30 Oktober sampai 20 November 1945 selama 20 hari Serdadu Sekutu (yg diboncengi Nica) masih terseok-seok sampai Wonokromo.  Bahkan banyak Gurkha yang "menyerah" begitu mendengar teriakan takbir "Allahu'akbar" dari Arek-arek Suroboyo. Mengapa ? Karena mereka tak berdaya memusuhi sesama muslim. Mayoritas, Ghurka adalah muslim.

   Itulah akibat dari ambisi, kecongkaan, keserakahan, dan sikap "aji mumpung" yg bukan pada tempatnya. Semula di benak para serdadu Sekutu terbersit pikiran: mumpung Jepang kalah, akan membumihangus Surabaya. Kenyataannya Brigjen Mallaby sendiri yang mampus.

   Nah, semoga dalam Pilkada di berbagai daerah pada Desember 2020 nanti, tidak sekadar menjadi ajang perang nafsu "aji mumpung" dari para calon pemegang kekuasaan di pemerintahan daerah. Sebab saat ini rakyat bawah sudah pintar dan tidak bisa dikibuli lagi dengan calon pemimpin karbitan, meski sang calon ganteng, muda, kaya, dari dinasti pejabat. Orang bawah sangat merindukan yang tangguh, tanggon, cerdas, pintar menjadi pendengar hati rakyat bawah. Bukan pemimpin yang asal pintar, apalagi masak sebelum waktunya al hasil dari sifat  "aji mumpung". Nah... ***

Tentang Penulis: Herry Santoso adalah seorang novelis, novel terakhirnya Cerita tentang Rani (Diva Press, Jogjakarta, 2018). Kini tinggal di Desa Banyuanyar Kec. Gurah Kab. Kediri.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article