jfid – Jangan bermimpi menyaingi Malang Raya, Banyuwangi atau Surabaya dalam hal pariwisata. Jika Kabupaten Sumenep masih betah menawarkan objek wisata atau event itu-itu saja. Apalagi mau bersaing di level nasional.
Selama ini, Kota Sumekar hanya mengandalkan Pantai Lombang, Salopeng, Gili Iyang, Gili Labak, Pantai Sembilan, dan sejumlah wisata religi. Eventnya setiap tahun hanya hegemoni antar instansi. Yang penting terlihat wah di acara pembukaan. Habis itu selesai.
Anggaran promosi dan publikasi event Visit Sumenep juga sangat kecil. Menandakan ketidakseriusan pemerintah daerah. Bandingkan, pengadaan mobil dinas Bupati Sumenep pada tahun 2017 mencapai Rp 2 miliar. Sementara anggaran publikasi Visit Sumenep setiap tahun sejak 2018 tak lebih dari Rp 1,5 miliar. Dana itu sangat jomplang jika dibandingkan dengan kota wisata lain di Jawa Timur. Misalnya Kota Batu yang menganggarkan dana promosi wisata mencapai Rp 7 miliar. Itu tahun 2016.
Dari sisi kebijakan publik, Pemerintah Kabupaten Sumenep terkesan setengah-setengah dalam mencanangkan konsep pariwisata. Semua orang pasti paham, daerah tujuan wisata yang sukses tak lepas dari ekses negatif. Seperti miras, diskotik hingga prostitusi terselubung. Seperti kota-kota di Malang Raya. Di sana miras sudah biasa di room-room karaoke atau di club malam.
Pemkot Malang punya Perda nomor 11 tahun 2010 yang membolehkan aktivitas karaoke, diskotik atau club malam. Pada pasal 6 hiburan malam tersebut masuk dalam jenis usaha pariwisata. Pada peraturan daerah itu tidak ada pelarangan penggunaan miras. Yang dilarang narkotika, judi dan prostitusi.
Tretes juga. Siapa yang mau ke sana jika tidak ada wisata malam. Daerah yang berada di lereng gunung Arjuno Pandaan ini selalu ramai setiap malam. Padahal destinasinya cuma mengandalkan wisata alam. Jika tidak ada “objek wisata” Pesanggerahan, Watu Adem atau Gang Sono, saya pesimis ada ratusan wisatawan setiap hari.
Banyuwangi cukup dikenal sebagai kota wisata karena daerahnya berada di dekat Bali. Wisatawan yang akan ke pulau Dewata menggunakan jalur darat pasti lewat kota Blambangan. Walaupun di sana juga memiliki sejumlah objek wisata bagus, misalnya Kawah Ijen dan Meru Betiri.
Sementara Kabupaten Sumenep adalah kota tujuan bukan persimpangan atau kota singgah. Hanya orang-orang yang punya tujuan khusus yang akan datang ke kota di ujung timur pulau Madura. Selain itu, di Sumenep mana bisa betah wisatawan, kalau anak muda mengkonsumsi miras satu botol sudah dirazia. Tempat karaoke dilarang beroperasi. Aktivitas hiburan malam tidak boleh lewat pukul 23.00 walaupun hanya cafe terbuka. Hotel-hotel juga seringkali menjadi sasaran Satpol PP. Sehingga pendatang yang menginap merasa terganggu. Alasan Kamtibmas kadang dipaksakan.
Jika Sumenep akan menerapkan wisata halal juga jangan tanggung-tanggung. Di objek-objek wisata pantai seperti di Pantai Lombang harus ada lampu yang merata pada malam hari. Agar tidak ada lagi aksi mesum di semak-semak pohon cemara. Wisatawan asing yang ingin berjemur di pantai harus dilarang pakai bikini. Event-event wisata yang rutin digelar setiap tahun jangan ada lagi konser musik. Bisa diganti dengan hadrah. Hotel-hotel juga harus melarang pasangan bukan muhrim sekamar. Jangan ada kegiatan apapun yang berpotensi maksiat. Seperti peraturan daerah yang ditetapkan di Kabupaten Pamekasan.
Dalam hal penyajian event-event, Sumenep selalu tanggung. Misalnya pada pameran pembangunan 2018 yang mendatangkan pedangdut senior Evie Tamala dan grand launching Visit Sumenep 2019 yang mendatangkan grup band Jikustik. Atau event lain yang hanya mendatangkan Putri Indonesia Jawa Timur. Padahal artis yang saya sebutkan tadi sudah hampir hilang dari dunia selebritis tanah air.
Saya suka strategi Dinas Pariwisata Kota Batu Jawa Timur dalam promosi wisata. Di sana selalu mendatangkan artis-artis kontroversial. Misalnya Syahrini atau Raffi Ahmad yang keduanya didatangkan saat sedang diterpa masalah beberapa tahun lalu. Otomatis sorot kamera media tertuju ke sana.
Kalau belum ada perubahan, kalau belum ada keberanian membuat gebrakan, kalau masih ragu-ragu mengeluarkan anggaran besar, jangan harap bisa menjadi the soul of Madura apalagi sebagai raja pariwisata Indonesia.
Biarkan aktivitas malam warga Sumenep diisi dengan istirahat agar anak-anak tidak kesiangan untuk sekolah dan orang dewasa tidak terlambat ke sawah.
Ikhlaskan potensi PAD Sumenep diserap Surabaya atau Malang….
(Tulisan ini berawal dari lelucon teman saya di Surabaya. Dia bersyukur semua kabupaten di Madura memiliki perda pelarangan miras dan room karaoke. “Kalau miras dan club malam diizinkan beroperasi di Madura, pasti gulung tikar pengusaha Surabaya,” ujar dia)
Penulis: Ainul Anwar, adalah seorang Intelektual kelahiran Sumenep.