jfid – Unilever, perusahaan multinasional yang memproduksi berbagai produk kebutuhan sehari-hari, termasuk es krim, menghadapi tantangan besar akibat konflik antara Israel dan Palestina.
Salah satu anak perusahaannya, Ben & Jerry’s, memutuskan untuk berhenti menjual es krimnya di wilayah Palestina yang diduduki Israel, dengan alasan etis.
Keputusan ini menimbulkan reaksi keras dari pihak Israel, yang menganggapnya sebagai tindakan anti-Israel dan mengancam akan mengambil langkah hukum dan ekonomi terhadap Unilever.
Namun, Unilever tidak tinggal diam. CEO Unilever, Alan Jope, menyatakan bahwa perusahaan tetap berkomitmen penuh untuk bisnisnya di Israel, dan menginvestasikan sekitar 306 juta dolar AS di negara tersebut dalam dekade terakhir.
Dia juga mengatakan bahwa keputusan Ben & Jerry’s adalah keputusan independen yang dibuat oleh dewan direksi merek es krim tersebut, yang memiliki otonomi lebih besar daripada anak perusahaan Unilever lainnya.
Unilever juga berhasil memenangkan gugatan yang diajukan oleh pemegang saham AS, yang mengklaim bahwa perusahaan telah salah menangani keputusan Ben & Jerry’s dan melanggar kewajiban fidusia terhadap pemegang saham.
Hakim pengadilan distrik AS memutuskan bahwa gugatan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang kuat, dan menolak permintaan untuk menghentikan penjualan es krim Ben & Jerry’s di Israel.
Meski begitu, Unilever masih harus menghadapi tantangan lain, seperti boikot produk Israel yang dilakukan oleh kelompok pro-Palestina, dan kemungkinan sanksi dari pemerintah Israel.
Unilever juga harus menyelesaikan masalah dengan dewan direksi Ben & Jerry’s, yang mengatakan tidak berkonsultasi tentang keputusan untuk tetap menjual es krim di Israel di bawah pengaturan yang berbeda.
Unilever, yang memiliki slogan “membuat kehidupan lebih baik”, kini harus berjuang untuk menjaga reputasi dan bisnisnya di tengah konflik yang rumit dan sensitif.