jfid – Turki secara resmi mengumumkan penghentian hubungan perdagangan dengan Israel, sebuah langkah yang mengejutkan banyak pihak mengingat kedua negara sebelumnya menjalin hubungan ekonomi yang kuat.
Keputusan ini dipandang banyak analis sebagai taktik politik yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdogan menyusul kekalahan dalam pemilu komunal, namun memiliki potensi dampak ekonomi yang signifikan baik untuk Turki maupun Israel.
Melansir dari DW Indonesia, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyatakan dalam konferensi pers di Ankara bahwa Turki “sudah tidak lagi mempertahankan hubungan dagang intensif dengan Israel.” Pernyataan ini dikeluarkan tidak lama setelah kunjungan Presiden Jerman, Frank-Walter Steinmeier, menandakan perubahan besar dalam kebijakan luar negeri Turki.
Pada tahun 2022, hubungan perdagangan antara Turki dan Israel mencapai nilai sembilan miliar dolar AS, dengan Israel mengekspor barang senilai dua miliar dolar AS dan Turki tujuh miliar dolar AS.
Namun, volume dagang kedua negara menurun menjadi tujuh miliar dolar AS pada tahun 2023. Penghentian total kerjasama ekspor dan impor ini diumumkan oleh Kementerian Perdagangan Turki, yang menimbulkan kekhawatiran di kalangan pengusaha dan investor di kedua negara.
Ekonom dan tokoh oposisi Turki, Oguz Oyan, mengungkapkan bahwa langkah ini akan menghambat kemampuan Turki untuk menarik investor asing, memperburuk hubungan dengan pasar keuangan internasional, dan berdampak negatif terhadap sektor pariwisata.
Di tahun 2022, sebanyak 850.000 warga Israel berkunjung ke Turki, namun jumlah ini menurun sembilan persen pada tahun 2023.
Menteri Luar Negeri Israel, Katz, mengecam keras keputusan Turki, menyatakan bahwa Erdogan “melanggar perjanjian internasional dengan memblokir pelabuhan dan mengabaikan kepentingan rakyat serta pengusaha Turki.”
Sementara itu, Profesor Funda Basaran Yavaşlar, seorang spesialis hukum keuangan internasional dari Universitas Marmara di Istanbul, berpendapat bahwa meskipun belum ada kontrak bisnis yang diakhiri secara sepihak, keputusan ini masih dapat ditantang melalui mekanisme mediasi yang ditawarkan oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Penghentian hubungan dagang ini juga dipandang sebagai respons terhadap kekalahan Erdogan dalam pemilu komunal, yang menurut analis Gabriel Haritos dari ELIAMEP, merupakan taktik politik untuk mendapatkan dukungan publik.
Langkah ini menunjukkan dilema dalam politik domestik Turki, di mana pemerintah di satu sisi mengecam Israel namun di sisi lain sebelumnya mendapatkan keuntungan ekonomi dari hubungan dagang.
Ke depannya, kebijakan ini dapat membawa implikasi serius terhadap stabilitas ekonomi dan politik Turki serta hubungannya dengan negara-negara Barat.