Tiga Mahasiswa Palestina Ditembak di Dekat Kampus Universitas Vermont, AS

ZAJ By ZAJ - SEO Expert | AI Enthusiast
11 Min Read
Tiga Mahasiswa Palestina Ditembak Di Dekat Kampus Universitas Vermont, As
Tiga Mahasiswa Palestina Ditembak Di Dekat Kampus Universitas Vermont, As
- Advertisement -

jfid – Tiga mahasiswa Palestina yang sedang menempuh pendidikan di Amerika Serikat menjadi korban penembakan brutal di dekat kampus Universitas Vermont pada Sabtu malam. Keluarga korban mendesak polisi untuk menyelidiki serangan tersebut sebagai kejahatan kebencian.

Hisham Awartani, Tahseen Ahmed, dan Kinnan Abdalhamid dihadang dan ditembak oleh seorang pria di dekat kampus Universitas Vermont, kata Polisi Burlington.

Ketiga korban, yang berusia antara 19 dan 21 tahun, adalah mahasiswa di Champlain College, sebuah perguruan tinggi swasta yang berjarak sekitar satu mil dari lokasi penembakan.

Mereka sedang dalam perjalanan untuk makan malam bersama teman-teman mereka yang merayakan Idul Adha, hari raya umat Islam, ketika mereka diserang.

Ad image

Menurut saksi mata, pelaku penembakan adalah seorang pria kulit putih dengan rambut merah pendek, yang membawa ransel hitam. Ia terlihat berjalan ke arah utara di jalur pejalan kaki Delaware & Hudson setelah terdengar suara tembakan.

Polisi menganggap pelaku bersenjata dan berbahaya, dan meminta masyarakat untuk tetap waspada dan melaporkan hal-hal mencurigakan.

Para korban dilarikan ke Rumah Sakit Universitas Vermont, di mana mereka menjalani operasi darurat. Awartani dan Ahmed mengalami luka tembak di dada, sementara Abdalhamid mengalami luka tembak di perut. Mereka saat ini dalam kondisi stabil, tetapi masih kritis.

Keluarga korban, yang tinggal di Palestina, mengatakan bahwa mereka tidak percaya bahwa penembakan tersebut terjadi secara acak.

Mereka menduga bahwa motif pelaku adalah kebencian terhadap identitas Palestina dan agama Islam dari para korban. Mereka meminta polisi untuk mengusut tuntas kasus ini dan menghukum pelaku seberat-beratnya.

“Kami sangat sedih dan marah dengan apa yang terjadi. Kami tidak mengerti mengapa anak-anak kami harus mengalami hal ini. Mereka adalah mahasiswa yang baik, cerdas, dan berprestasi. Mereka datang ke Amerika untuk mengejar mimpi mereka, bukan untuk menjadi sasaran kekerasan,” kata Ayah Awartani, seorang pengusaha di Ramallah.

“Kami berharap ini adalah kejahatan kebencian, karena kami tidak bisa menerima alasan lain. Kami ingin keadilan bagi anak-anak kami. Kami ingin pelaku ditangkap dan diadili sesuai hukum. Kami juga ingin pemerintah Amerika melindungi mahasiswa asing yang datang ke negara mereka dengan harapan dan cita-cita,” kata Ayah Ahmed, seorang dokter di Nablus.

“Kami merasa tidak aman dan takut dengan situasi ini. Kami khawatir ada serangan-serangan lain yang menargetkan mahasiswa Palestina atau Muslim. Kami berdoa agar anak-anak kami bisa pulih secepatnya dan melanjutkan studi mereka. Kami juga berterima kasih kepada semua orang yang telah memberikan dukungan dan solidaritas kepada kami,” kata Ayah Abdalhamid, seorang pengacara di Hebron.

Serangan ini mengejutkan dan menggemparkan komunitas akademik di Vermont, yang dikenal sebagai salah satu negara bagian paling liberal dan toleran di AS.

Universitas Vermont dan Champlain College mengeluarkan pernyataan yang mengutuk penembakan tersebut dan menyatakan belasungkawa kepada keluarga korban. Mereka juga menawarkan bantuan psikologis dan keamanan kepada mahasiswa dan staf mereka.

“Kami sangat terpukul dan berduka atas penembakan yang menimpa tiga mahasiswa kami yang berasal dari Palestina. Ini adalah tragedi yang tidak dapat dimengerti dan tidak dapat dimaafkan. Kami berdiri bersama keluarga, teman, dan komunitas mereka dalam menghadapi kesedihan dan kemarahan ini. Kami juga mendesak otoritas untuk segera menangkap dan menghukum pelaku,” kata Presiden Champlain College, Benjamin Akande, dalam sebuah video yang diunggah di media sosial.

“Kami sangat prihatin dan marah atas penembakan yang terjadi di dekat kampus kami, yang melukai tiga mahasiswa dari Champlain College. Kami mengirimkan doa dan dukungan kami kepada mereka dan keluarga mereka. Kami juga mengutuk keras tindakan kekerasan ini, yang bertentangan dengan nilai-nilai kami sebagai komunitas yang inklusif dan beragam. Kami berharap agar keadilan segera terwujud,” kata Presiden Universitas Vermont, Suresh Garimella, dalam sebuah email yang dikirimkan kepada mahasiswa dan staf.

Penembakan ini juga menimbulkan reaksi dari berbagai pihak, baik di dalam maupun di luar AS.

Organisasi-organisasi hak asasi manusia, hak sipil, dan hak minoritas mengeluarkan pernyataan yang mengecam penembakan tersebut sebagai kejahatan kebencian dan menuntut perlindungan bagi mahasiswa asing di AS.

Mereka juga menyoroti meningkatnya kasus-kasus diskriminasi, intimidasi, dan kekerasan terhadap orang-orang Palestina dan Muslim di AS, terutama di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump.

“Kami sangat prihatin dan marah atas penembakan yang menargetkan tiga mahasiswa Palestina di Vermont. Ini adalah contoh nyata dari kebencian dan rasisme yang mengancam nyawa orang-orang Palestina dan Muslim di AS. Kami mendesak polisi untuk menyelidiki serangan ini sebagai kejahatan kebencian dan menghukum pelaku seberat-beratnya. Kami juga mendesak pemerintah AS untuk mengambil langkah-langkah konkret untuk melindungi hak dan keamanan mahasiswa asing di AS,” kata Direktur Eksekutif American Civil Liberties Union (ACLU), Anthony Romero, dalam sebuah pernyataan resmi.

“Kami sangat sedih dan marah atas penembakan yang melukai tiga mahasiswa Palestina di Vermont. Ini adalah serangan teror yang ditujukan kepada orang-orang yang berusaha mendapatkan pendidikan yang lebih baik di AS. Kami mendesak polisi untuk menyelidiki serangan ini sebagai kejahatan kebencian dan menghukum pelaku seberat-beratnya. Kami juga mendesak pemerintah AS untuk menghentikan retorika dan kebijakan yang memicu kebencian dan kekerasan terhadap orang-orang Palestina dan Muslim di AS,” kata Direktur Eksekutif Council on American-Islamic Relations (CAIR), Nihad Awad, dalam sebuah konferensi pers.

Sementara itu, otoritas Palestina juga mengutuk penembakan tersebut dan mengekspresikan keprihatinan mereka atas nasib mahasiswa Palestina di AS.

Mereka juga meminta pemerintah AS untuk memberikan perlindungan dan bantuan kepada korban dan keluarga mereka.

Mereka juga menyerukan agar komunitas internasional meningkatkan solidaritas dan dukungan kepada rakyat Palestina yang menghadapi berbagai bentuk penindasan dan pelanggaran hak asasi manusia.

“Kami sangat terkejut dan berduka atas penembakan yang menimpa tiga mahasiswa Palestina di Vermont. Ini adalah tindakan biadab dan keji yang tidak dapat ditolerir. Kami mengutuk keras penembakan ini dan menuntut agar pelaku ditangkap dan dihukum seberat-beratnya. Kami juga meminta pemerintah AS untuk memberikan perlindungan dan bantuan kepada korban dan keluarga mereka. Kami juga menyerukan agar komunitas internasional meningkatkan solidaritas dan dukungan kepada rakyat Palestina yang menghadapi berbagai bentuk penindasan dan pelanggaran hak asasi manusia,” kata Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, dalam sebuah pernyataan resmi.

Penembakan ini menambah panjang daftar kekerasan yang dialami oleh mahasiswa asing di AS, terutama dari negara-negara yang dianggap sebagai musuh atau ancaman oleh pemerintah AS.

Menurut data dari Institute of International Education (IIE), jumlah mahasiswa asing di AS menurun sebesar 16 persen pada tahun akademik 2020-2021, yang merupakan penurunan terbesar dalam sejarah.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan ini antara lain adalah pandemi Covid-19, kebijakan imigrasi yang ketat, ketegangan politik, dan ketidakamanan di AS.

Mahasiswa Palestina adalah salah satu kelompok yang paling rentan menghadapi diskriminasi dan kekerasan di AS, karena konflik yang berkepanjangan antara Palestina dan Israel, yang merupakan sekutu dekat AS.

Menurut data dari Palestinian American Research Center (PARC), terdapat sekitar 3.000 mahasiswa Palestina yang sedang belajar di AS pada tahun 2019.

Mereka menghadapi berbagai tantangan, seperti kesulitan mendapatkan visa, biaya pendidikan yang tinggi, kurangnya dukungan akademik dan sosial, dan ancaman kekerasan dan pelecehan dari kelompok-kelompok pro-Israel.

Salah satu contoh kekerasan yang dialami oleh mahasiswa Palestina di AS adalah penyerangan yang menimpa Lara Alqasem, seorang mahasiswi Amerika keturunan Palestina yang diterima di program master Universitas Hebrew di Yerusalem pada tahun 2018.

Ia ditahan selama 15 hari di bandara Tel Aviv dan diancam dengan deportasi, karena dituduh mendukung gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) terhadap Israel.

Ia baru bisa masuk ke Israel setelah mengajukan banding ke pengadilan tertinggi dan
mendapatkan dukungan dari organisasi-organisasi hak asasi manusia dan akademisi.

Kasus lain adalah penangkapan yang dialami oleh Mays Abu Ghosh, seorang mahasiswi Palestina yang mendapatkan beasiswa untuk belajar jurnalisme di Northwestern University di Illinois pada tahun 2019.

Ia ditangkap oleh pasukan Israel di rumahnya di Ramallah dan disiksa selama berbulan-bulan, karena dituduh terlibat dalam aktivitas terorisme. Ia baru dibebaskan pada bulan Agustus 2020, setelah menjalani hukuman penjara selama 16 bulan.

Penembakan di Vermont adalah kasus terbaru yang menunjukkan betapa berbahayanya menjadi seorang mahasiswa Palestina di AS. Serangan ini juga mengingatkan kita akan pembunuhan yang menimpa tiga mahasiswa Muslim di Chapel Hill, North Carolina, pada tahun 2015.

Deah Barakat, Yusor Abu-Salha, dan Razan Abu-Salha ditembak mati oleh tetangga mereka, Craig Hicks, yang mengklaim bahwa motifnya adalah sengketa parkir, meskipun banyak yang percaya bahwa serangan tersebut didasari oleh kebencian terhadap agama dan etnis korban.

Penembakan di Vermont dan Chapel Hill adalah bukti bahwa AS bukanlah tempat yang aman dan nyaman bagi mahasiswa asing, terutama dari negara-negara yang dianggap sebagai musuh atau ancaman oleh pemerintah AS.

Serangan-serangan ini juga menunjukkan bahwa AS perlu melakukan reformasi mendesak dalam hal kebijakan luar negeri, imigrasi, pendidikan, dan keamanan, agar dapat menjamin hak dan kebebasan bagi semua orang, tanpa membedakan asal, agama, atau identitas mereka.

- Advertisement -
Share This Article