jf.id – Hablum minallah, hablumminannas, dan hablumminal ‘alam, adalah konsep utuh yang menghubungkan antar Tuhan-Manusia-Alam. Pepatah Inggris mengatakan, “when we heal the earth, we heal ourselves” (ketika kita menyembuhkan bumi, sebenarnya kita sedang menyembuhkan diri kita sendiri). Karena kita dan alam adalah kesatuan yang tidak dapat terpisahkan (Hablumminal ‘alam).
Isu lingkungan menjadi hal penting dalam hidup, kita kenang dengan pengusungan konsep ramah lingkungan. Setiap waktu, informasi yang berkaitan dengan isu lingkungan. Mulai dari ikan-ikan hiu yang mati karena menelan limbah plastik sampai punahnya berbagai jenis satwa langka akibat perburuan liar, pembalakan liar dan isu reboisasi.
Melihat ekspresi kesedihan yang amat dalam pada manusia saat melihat seekor ikan yang menggelepar di hamparan tanah kering, sontak tertulis “ketika tidak ada lagi setetes air di bumi”. Saya tersentuh dan membayangkan nasib generasi masa depan saat bumi kita terus disakiti dan dieksploitasi secara tidak wajar.
Dari lubuk hati yang terdalam sering dipertanyakan, mengapa masih banyak umat Islam yang menganggap isu lingkungan bukan sesuatu yang urgen? Setidaknya, saya jarang mendengar para Da’i menyuarakannya dalam mimbar-mimbar masjid maupun pengajian online di media-media sosial dan mimbar tablig? Apakah ajaran Islam memang kurang menekankan pada persoalan lingkungan?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut mempertemukan dengan berbagai tulisan tentang Islam dan ekologi. Penelusuran pun sampai pada beberapa ayat Alquran yang kerap dikutip terkait masalah lingkungan, misalnya surat Hud ayat 61:
“…Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya…
” serta surat Albaqarah ayat 27: “…Dan mereka berbuat kerusakan di bumi. Mereka itulah orang-orang yang merugi…”
Secara prinsip, ternyata ajaran Islam telah memberikan pedoman umum bagaimana interaksi manusia dan alam semesta. Tentu saja ulama dan para cendikia lah yang bertugas menerjemahkannya dalam konteks kekinian. Di ranah akademik, persoalan Islam dan lingkungan hidup ini sudah mulai banyak dikaji. Sebagian besar tulisan merujuk kembali pada gagasan kearifan ekologis yang dikembangkan Hossein Nasr, yaitu resakralisasi terhadap alam yang bertujuan untuk membangun harmonisasi manusia dengan kosmos.
Agaknya, pandangan Nasr yang mengambil jalan sufistik ini terilhami dari para sufi besar mulai dari Ibnu Arabi hingga Jalaluddin Rumi. Ketika saya kembali membuka lembar-lembar kitab Matsnawi, betapa takjub dengan cara Rumi mengajarkan kita untuk mencintai alam. Menurut Rumi, ada banyak alasan yang membimbing kita untuk mencintai alam semesta.
Pertama, karena seluruh benda dan makhluk yang ada di alam semesta ini merupakan manifestasi wujud Tuhan. Kehadiran seluruh wujud yang ada di alam ini, Karena Tuhan ingin tunjukkan hikmahNya yang tersembunyi.
Karim Zamani ketika memberikan penjelasan tentang puisi Rumi tersebut, membawakan redaksi hadis Qudsi. Nabi Daud bertanya: “Wahai Tuhan, mengapa Engkau ciptakan alam semesta ini?”. Tuhan menjawab: “Aku adalah harta karun yang tersembunyi. Aku ingin dikenal. Maka Aku ciptakaan alam ini, agar Aku lebih dikenal”
Bayangkan, jika kalimat ini sudah terinternalisasi dalam diri kita. Saat melihat pohon, hutan, dan sungai adalah perwujudan dari keindahan Tuhan, masihkah kita tega mencoret-coret batang pohon atau membuang sampah ke dalam sungai?
Kedua, alasan kita mencintai alam, karena pada hakikatnya kita dan alam semesta ini tercipta dari entitas yang sama;
“dulu kita merdeka,
berasal dari entitas yang sama tanpa kepala dan kaki, di alam azali kita berjumpa,
kita adalah pertikel bak matahari,
tanpa ikatan seperti air jernih
Ketika cahaya berubah wujud
Lahirlah aneka macam bentuk
Maka keluarlah dari rangka jasadmu
Sampai kau temukan wujud aslimu”.
(Matsnawi, jilid 1, bait 686-689)
Dalam puisi di atas, Rumi mengingatkan bahwa kita dan alam semesta ini memiliki entitas yang sama. Jika kita berlaku tidak adil kepada alam semesta, pada dasarnya kita sedang menyakiti diri kita sendiri. Salah satu terapi membangun empati terdalam adalah dengan cara mengengok kembali hakikat penciptaan kita.
Ketiga, menurut Rumi, kita dan alam semesta ini tidak hanya memiliki entitas penciptaan yang sama, bahkan ketika sudah berubah menjadi berbagai bentuk pun, tetap dapat saling berkomunikasi dan saling mencintai. Karena itu, tidak ada alasan untuk mengabaikan apalagi menyakiti ekosistem, tempat kita hidup dan bertumbuh ini.
Ada berjuta partikel tersembunyi di alam semesta;
“kata mereka: aku mendengar, melihat dan bersukacita
Tapi sayang, aku bisu bagi mereka yang asing dari maknawiat
Karena engkau berhenti pada alam materi
Bagaimana mungkin kau faham bahasa kami”.
(Matsnawi, jilid 3, bait 1019-1020)
Latar belakang pendangan ini, karena bagi seorang sufi, alam bukan semata objek mati untuk mengabdi kepada manusia. Alam adalah sebuah wujud hidup yang mampu mencinta dan dicinta dan antara keduanya (manusia dan alam) dapat muncul cinta dan pemahaman timbal balik.
Seluruh wujud di alam adalah pecinta
Dan mereka semua rindu bersua
Jika tak mencintai-mu langit
Tak kan membentang cakrawala bening
Jika tak menyayangi-mu matahari
Tak ada cahaya indah menyinari
Jika tanah dan gunung tak saling mencinta
Tak kan tumbuh darinya pohon dan bunga
Jika tak menyenangi-mu laut
Entah kan dibawa ke mana hidup
(Divan-e Shams, ghazal ke 2674, bait 9-11)
Rumi telah memberikan ramuan mujarab bagaimana menambatkan cinta pada alam semesta. Tinggal apakah kita hanya akan memandang ramuan itu dari balik kaca etalase atau berusaha meraih dan mereguknya.
Pekerjaan rumah kita ke depan, bagaimana umat Islam menjadi lebih akrab dengan persoalan lingkungan dan ekologi. Terutama, di kalangan pesantren yang selama ini menjadi pioner pengajaran Islam.