jfid – Dalam kisah pewayangan Jawa terdapat beberapa kisah yang dikategorikan sebagai lakon-lakon kasepuhan. Istilah “sepuh” di sini pada dasarnya tak pernah mengacu pada usia tua yang berkaitan dengan kelembekan atau kerapuhan. Seperti misalnya pada istilah perkerisan, sepuh-wutuh–tangguh, yang mengacu pada perkiraan tahun pembuatan, keutuhan barang, dan gaya yang berdasarkan pada wilayah keris itu dibuat.
“Sepuh” dalam cara menentukan nilai sebuah keris tersebut memang mengacu ke kelawasan waktu dimana semakin tua atau lama keris itu dibuat, maka semakin bernilai keris itu. Sebagaimana kayu jati, penilaian atas kategori “sepuh” tak pernah berkonotasi negatif, semakin tua kayu itu, maka semakin berhargalah ia. Taruhlah juga pemakaian istilah “sepuh” pada emas dan perhiasan lainnya. “Sepuh” di sini justru adalah sebuah upaya peremajaan, penghilangan karat dan kotor agar tampak berkemilau kembali serta lebih berharga. Hal ini dikenal dengan istilah penyepuhan.
Dalam Serat Wedhatama terdapat kriteria “sepuh” yang tak pernah pula mengacu pada kelembekan atau kerapuhan: “Liring sepuh sepi hawa atau Awas roroning atunggil.” Bahwa kategori “sepuh” di sini adalah soal kebeningan dan kejelian dalam memandang atau menilai sesuatu: artinya sepuh adalah tak adanya gejolak yang menyebabkan keburaman sehingga jeli dalam memilah segala oposisi biner. Ibarat sepasang mata yang bening adalah justru sebelum manusia itu beranjak tua dalam segi usia dan kerapuhan tubuh. Dengan demikian, berkaca pada semua hal di atas, secara paradoksal, “sepuh” adalah justru sebuah kebeningan, ketajaman, dan kekuatan sebagaimana konotasi istilah muda pada bahasa keseharian. Bukankah dalam bahasa agama seorang yang sedang bimbang ataupun gamang, tak boleh membuat sebuah keputusan, dimana kebeningan ataupun ketenangan jiwa menjadi salah satu syarat utamanya?
Tepat di sinilah saya kira salah satu lakon wayang kasepuhan, Bima Suci atau Bima Paksa dan juga Suryandadari, gamblang dalam menggambarkan pemahaman di atas. Bima Suci adalah kisah teologis-politis seorang Bima setelah bertemu dengan Dewa Ruci dan mengalami pencerahan serta berstatus sebagai “Suryandadari” atau mentari yang purnama (Akumu adalah Jejermu: Wajah Lain Sufisme Nusantara, Heru Harjo Hutomo, https://www.idenera.com). Dalam lakon ini, Bima, setelah mendapatkan wejangan ngelmu kasampurnan, ngelmu Haqq atau ngelmu kasepuhan, yang membuat ia paham akan hakikat segala sesuatu, menjadi seorang Begawan yang konon mampu mengancam kekuasaan dan kemapanan para dewa dan raja. Dengan kata lain, karena ngelmu kasampurnan itu, ksatria panenggak Pandawa itu dikenai pasal subversif oleh para dewa dan para raja.
Kisah Bima Suci tersebut sejatinya bukanlah hal yang sama sekali baru dalam sejarah sufisme baik di Timur Tengah maupun Nusantara. Al-Hallaj, Ibn ‘Arabi, Syekh Siti Jenar, Syekh Amongraga dalam Serat Centhini, dan Mbah Mutamakin, baik historis maupun metaforis, adalah beberapa karakter yang pernah dituduh subversif karena pengetahuannya oleh otoritas kekuasaan di masanya (Mbah Mutamakin, Santri Sang Ruci, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).
Dengan demikian, kisah Bima Suci sebagai induk dari segala konflik teologis-politis yang selama ini terbabar dalam sejarah, adalah sebuah pasemon akan relasi pengetahuan atau kekuasaan yang secara sederhana dapat dimaknai bahwa pada dasarnya kekuasaan itu terkait erat pula dengan pengetahuan dan begitu pula sebaliknya (Asbak, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev).
Begawan Bima Suci dalam lakon Bima Suci mampu mengubah sebuah tatanan, baik agama (teologi), kekuasaan (politik), dan masyarakat (sosial) sebagaimana yang pernah dibedah oleh Michel Foucault dalam analisis kekuasaannya. Hanya dengan satu sabdanya, “Sira anembah nanging nora wikan marang kang den sembah,” banyak orang konon tak lagi patuh pada para dewa. Konsep kekuasaan teologis dan politis berubah, ternyata para dewa tak lagi merasa memiliki kekuasaan, persis sebagaimana analisis Foucault dimana kekuasaan tak lagi terpusat, bersifat hierarkis, dan secara otomatis senantiasa melahirkan resistensinya. Para raja pun, ditunjukkan dengan kegundahgulanaan Kresna (raja Dwarati), Duryudana (raja Hastina), Drona dan Begawan Kapiwara atau Anoman (sebagai representasi kekuasaan agama), seperti terinterupsi oleh pengetahuan (ngelmu kasampurnan) yang diperoleh dan dibabarkan oleh Begawan Bima Suci.
Ada yang mendadak pudar wibawanya dengan mengikuti wejangan Bima di Jalatundha ataupun berupaya menyingkirkannya, namun kalah wibawa, yang ditampakkan oleh sang penguasa jagat triloka: Bathara Guru. Praktis dalam kisah ini, Bima—meskipun hanyalah seorang ksatria biasa—mampu membuat siapa pun menyembahnya dan mengakui kekuasaan yang dimilikinya ternyata tak bersifat absolut. Ketika tatanan teologis sekaligus politis berubah, maka otomatis pula konfigurasi sosial juga berubah. Tak ada lagi kayangan Jonggring Salaka, padepokan Kendhalisadha ataupun kerajaan Amarta, dst. Semuanya seperti mengalami desentralisasi kekuasaan tersebab sumur Jalatundha yang menjadi tempat Bima mendeklarasikan diri sebagai Begawan Bima Suci. Dengan kata lain, karena pengetahuan yang diperolehnya Bima pun telah mengubah makna kekuasaan sebagaimana pula yang ditunjukkan oleh Semar (Mengupas Konsep Kekuasaan Jawa: Subasita, Palilah, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).
(Heru Harjo Hutomo: penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)