jfID – Ada seorang yang penuh semangat berbicara tentang kelaparan atau setidaknya merasa mewakili orang-orang yang lapar. Padahal, sama sekali ia tak pernah lapar atau tak pernah menjadi bagian dari orang-orang yang lapar. Ada satu pertanyaan yang patut dijawab terkait dengan hal ini. Lantas, seandainya ia tak pernah lapar atau tak pernah menjadi bagian dari orang-orang yang lapar, atas nama apa ia berbicara tentang kelaparan atau orang-orang yang lapar?
Dalam kajian tasawuf orang demikian akan tergolong sebagai seorang pembohong. Tingkatan orang demikian masih menginjak di ranah ‘ainul yaqin. Ia masih meraba-raba, menduga-duga, tapi sudah sok-sokan laiknya orang yang benar-benar lapar dan karena itu berhak berbicara, merumuskan dan memutuskan tentang segala hal yang terkait dengan kelaparan.
Dengan mudah kita pun dapat mengetahui bahwa orang yang bersangkutan memiliki pamrih yang sama sekali jauh dari niat yang seharusnya. Seorang yang masih berstatus pada tataran syari’at, atau dalam istilah Serat Wedhatama, “anggung anggubel ing sarengat,” sudah pasti segala hal yang dilakoninya berpusar pada amal baik yang berujung surga yang dijanjikan. Karena itulah Serat Wedhatama mewanti-wanti:
Kalamun durung lugu
Aja pisan wani ngaku-aku
Antuk siku kang mangkono iku kaki
Kena uga wenang muluk
Kalamun wus padha melok
Seandainya belum mengalami
Jangan sekali-kali mengaku-aku
Akan beroleh kualat yang demikian itu
Boleh berbicara yang tinggi-tinggi
Ketika sudah mengalami.
Surga yang dijanjikan tak melulu sebentuk kesenangan yang bersifat ukhrawi. Dalam paradigma agen-agen perubahan poskolonial orang-orang yang demikian itu seperti halnya seorang pemberadab, atau kasarnya penjajah, orang-orang yang sebenarnya bukan bagian, atau bahkan tak pernah menjadi bagian, dari dirinya—yang barangkali pada dasarnya adalah musuh ideologisnya. Sebab, ukuran yang ia kenakan adalah ukurannya sendiri dan bukan ukuran orang-orang yang dirasa diwakilinya. Ia memandang bahwa dirinya lebih pintar sehingga seperti berhak mewakili orang-orang yang sebenarnya tak pernah meminta untuk diwakili. Sehingga pada akhirnya ia tak jauh beda dengan para orang radikal dimana ukuran yang dipakai adalah ukurannya sendiri dan bukan ukuran orang-orang yang dirasa diwakili. Dalam bahasa tasawuf, kebenaran seorang yang sok-sokan tersebut masihlah “benere dhewe” atau kebenarannya sendiri laiknya orang yang sedang bermasturbasi (Logika Pasca Ruang, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev). Dengan demikian, untuk kembali mengutip Serat Wedhatama, seorang yang sok-sokan itu masihlah goblok.
Si pengung nora nglegewa
Sangsayarda denira cacariwis
Ngandhar-andhar angendhukur
Kandhane nora kaprah
Saya elok alangka longkanipun
Si wasis waskitha ngalah
Ngalingi marang si pinging
Si goblok tak sadar
Semakin berkobar dalam berkoar
Sungguh liar kesasar
Segala ujarnya ambyar
Semakin monyong kegoblokannya
Si pintar mengalah
Menutupi kegoblokan si goblok
(Heru Harjo Hutomo: penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)