Sekularisme Radikal

Heru Harjo Hutomo By Heru Harjo Hutomo
6 Min Read
- Advertisement -

jfID – Sekularisme tumbuh seiring dengan modernisme. Secara sederhana sekularisme merupakan pemilahan antara kehidupan duniawi dengan kehidupan akhirat (keagamaan dan kapitayan). Karena dari akar katanya yang berasal dari bahasa latin, saeculum, ia dimaknai sebagai keduniawian. Singkat kata, sekularisme adalah sebuah tata yang sama sekali tak menjadikan agama sebagai suluh, atau minimal, perspektif lain.

Pada abad ke-17 Rene Descartes mengeluarkan diktumnya yang terkenal, “cogito ergo sum.” Inilah yang saya kira menjadi rasionalisasi sains dan teknologi sebagai anak kandung modernitas. Tanpa Descartes, kehidupan modern tak akan terpahami. Karena dalam ontologi senantiasa terdapat prinsip pertama (the first principle) yang mendasari prinsip-prinsip lainnya dalam setiap zaman.

Dari diktum Descartes tersebut dapat diketahui bahwa manusia, dengan rasionya, merupakan pusat segala sesuatu, ia adalah subyek (res cogitans) dan segala sesuatu di luar dirinya hanyalah obyek (res extensa). Secara sederhana bahwa manusia adalah satu-satunya kenyataan yang tak dapat diragukan lagi. Seandainya segala sesuatu di luar manusia dapat diragukan, maka satu-satunya kepastian adalah keraguan itu sendiri. Dan ragu (baca: bertanya) adalah bukti bahwa manusia tengah berpikir serta sadar bahwa ia berpikir (self-certitude). Implikasi dari status manusia sebagai kenyataan yang berpikir (res cogitans) dan status segala sesuatu di luar dirinya sebagai kenyataan yang sekedar perluasan (res extensa) menempatkan manusia sebagai pusat segala kepentingan: budaya, sains, politik, ekonomi, dan seni. Inilah yang mendasari paham humanisme abad modern yang telah menggeser kedudukan Tuhan sebagai pusat segala kepentingan pada abad pertengahan (teosentrisme).

Pada ranah pengetahuan humanisme memunculkan pula divisi dan spesialisasi pengetahuan yang sebermulanya tercakup dalam filsafat: fisika, ilmu politik, ekonomi, biologi, hukum, dst. Orientasi pengetahuan manusia tak lagi pada apa yang menjadi hakikat segala sesuatu, tapi bagaimana segala sesuatu itu dimungkinkan. Dengan kata lain, pengetahuan manusia, lewat sains, lebih bersifat praktis dan aplikatif daripada abstrak dan spekulatif. Dari hal ini menjadi tampak bahwa orientasi ilmu pengetahuan (sains) adalah pada kepentingan manusia (antroposentrisme), bukan lagi pada alam sebagaimana filsafat di era Yunani purba (kosmosentrisme) ataupun pada Tuhan sebagaimana filsafat di era pertengahan (teosentrisme)—sekalipun berkaitan dengan alam ataupun Tuhan tetap ujung terjauhnya tak bergeser dari kepentingan manusia.

Ad image

Pada bidang ekonomi munculnya sistem kapitalisme, sosialisme dan komunisme, yang sekilas berbeda dan bahkan berlawanan, tak pula jauh berbeda denyutnya dengan sains modern: kepentingan manusia entah itu dengan bungkus kemakmuman (bekerja dengan hasil yang sesuai dengan kerjanya) ataupun pemerataan ekonomi (bekerja semampunya dengan hasil yang sama rata) (Kawruh [Ekonomi] Beja, New Normal Life, dan Kondisi Postmodernitas, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev).

Pada bidang agama antroposentrisme tersebut tampak dalam konsep etis untuk tak menyianyiakan waktu, di mana waktu di sini adalah kesempatan untuk kemrungsung dalam mengeksploitasi dunia dan segala isinya sebagai bekal di kemudian hari. Banyak ayat-ayat yang dikutip adalah yang kerap mendukung dominasi manusia sebagai imago dei atas segala sesuatu diluarnya.

Adapun pada bidang politik adalah penyingkiran agama dari ruang publik atau dikenal pula sebagai privatisasi agama di mana pada akhirnya sistem moralnya semata bergantung pada nalar (moralitas Kantian) yang sama sekali lepas dari nilai-nilai non-duniawi yang tak ada kaitannya dengan ketubuhan manusia (noumenon). Lazimnya prinsip semacam ini dikategorikan sebagai agnostisisme moral di mana bagi Kant kenapa manusia mesti berbuat baik adalah karena tanpa itu kehidupannya tak akan bermakna. Tapi saya kira, pada tataran moral, prinsip moral tersebut secara substansial sama saja dengan ateisme. Karena ateisme pun sebenarnya memiliki sistem moral yang sama sekali tak berorientasi pada hal-hal di luar jangkauan tubuh manusia. Dengan demikian, sekularisme meletakkan politik secara pragmatis belaka: bagaimana meraih, mempertahankan, dan mengakhiri sesuatu di mana cara yang digunakannya menjadi tak penting lagi di nilai dari kacamata baik/buruk (perspektif moral) dan benar/salah (perspektif etis). Seperti secuil kisah tentang Brandal Lokajaya atau Robin Hood yang bagaimana pun tetaplah seorang pahlawan meskipun pada saat yang sama mereka juga bajingan. Pada aras inilah politik sekular kerap dianggap sebagai politik kawanan hiena dan bukannya singa.

Menutup diri dari perspektif lainnya, privatisasi agama dalam sekularisme, pada akhirnya adalah juga sebentuk “masturbasi” karena menampik versi kebenaran lain yang dimungkinkan, dan jelas hal seperti ini adalah sebuah pembodohan yang berbahaya bagi keberagaman serta tumbuh-kembangnya pengetahuan yang merupakan cermin peradaban. Di samping itu, sekularisme di hari ini adalah juga sebentuk kewirangan, karena pada dekade 70-an modernisme telah dinyatakan gagal dan sekularisme sebagai salah satu produknya otomatis telah banyak digugat (deprivatisasi agama). Dengan demikian, benarlah kata pepatah, sejarah adalah satu-satunya guru terbaik untuk tak menjadi sampah. 

- Advertisement -
Share This Article