jfID – Seks merupakan naluri dan obsesi dasar manusia, oleh karena itu tidak mengherankan segala hal yang berkait dengan permasalahan seksualitas selalu menjadi buah bibir yang menarik. Termasuk di dunia kesenian menjadikan seksualitas sebagai salah satu sumber inspirasi yang tak pernah kering digali, dengan kata lain seksualitas dan ungkapannya (erotisme) banyak mewarnai karya-karya seni. Erotisme seksualitas dalam seni tidak hanya menjadi monopoli para seniman di zaman ini saja, tetapi juga para pujangga kuno.
Ketertarikan pujangga-pujangga kuno kita pada erotisme seksual terbukti dengan banyak dijumpai karya-karya klasik yang menggambarkan seluk beluk seksualitas, mulai dari dunia perempuan, pendidikan seks, filosofi seks, hingga teknik-tekik bercinta seperti antara lain: Serat Katurangganing Wanita, Pakem Pandom Pandumiking Salulut yang kedua-duanya berisikan tentang ciri, sifat, kelebihan dan peringai wanita yang dikaitkan dengan seksualitas; Wewading Wanita yang berisikan tuntunan bagi para wanita dalam berperilaku sebagai istri: Slokantara yang berisikan moral didaktik tentang perjalanan menuju kedewasaan seksualitas; Wrhaspatitattwa yang merupakan risalah filosofis Jawa Kuna yang termasuk di dalamnya pandangan filosofi seksual; pandangan filisofi seksual juga disinggung dalam beberapa bagian dalam kisah Kunjarakarna; juga dalam beberapa bagian dalam Smaradahana yang menyinggung teori reproduksi tradisional; Kuntaramanawa, Manawadharmasastra,yang kedua-duanya sebenarnya merupakan kitab perundang-undangan yang beberapa babnya membicarakan tradisi, undang-undang dan bentuk-bentuk peraturan perkawinan; Aji Asmaragama yang berisikan kiat untuk menaklukan wanita. Yang paling menarik adalah teks-teks yang berisikan teknik dan seni bercinta bahkan dianggap sebagai pedoman seni erotis yang paling utama yaitu Kamasastra (versi India disebut Kamasutra), Smaradhana, Smaratantra (Kamatantra), Rukminitattwa, Indranisastra, Tutur Kamadresti, dan Smarakridalaksana.
Istilah erotisme berasal dari kata eros dalam bahasa Yunani yang menunjuk kepada Dewa Cinta, Putera Aprhodite. Dalam arti luas erotisme dimaknai sebagai bentuk pengungkapan cinta antara pria-wanita, antara jenis kelamin yang sama (homoerotik), dan cinta terhadap diri sendiri atau autoerotik (Muller Halder, 1972). Sedangkan dalam pemaknaan sempitnya, erotisme tidak hanya berarti seksualitas yang lebih bersifat jasmaniah, tetapi mencakup pula aspek mental dalam seksualitas dan pengembangan rangsangan-rangsangan yang ditimbulkan (Darmojuwono, 1994).
Erotisme berbeda dengan pornografi, walaupun tipis batasnya. Erotisme terbatas pada penggambaran perilaku, keadaan atau suasana yang didasari oleh libido, sedangkan pornografi berarti pelukisan tindakan seksual yang dengan sengaja ditunjukkan untuk menimbulkan nafsu seksual. Dengan kata lain pornografi merupakan pengungkapan vulgar aktivitas seksual. Dalam pornografi selalu ada erotisme, namun tidak semua yang erotis itu pornografi (Hoed, 1994). Ada delapan pedoman untuk memastikan teks yang tidak boleh dituduh pornografi, yaitu: apabila adegan seksualitas tidak dilukiskan secara detil, seksualitas ditampilkan hanya sebagai suplementer cerita, seksualitasnya tidak dominan, seksualitas hanya ditampilkan untuk unsur pendukung cerita, dikemas dengan estetis, didukung ide yang baik, motifnya tidak semata memuja libido tapi untuk memasukkan nilai kemanusiaan-kehidupan, dan seksualitas tersebut dibungkus dengan jalinan cerita yang logis dan wajar.
Erotisme seksual dalam teks-teks kuno kebanyakan menggunakan simbol atau lambang yang halus dan implisit. Erotisme seksual dengan menggunakan perlambang simbol yang halus dan implisit bisa dijumpai pada misalnya cerita perlambang pada salah satu bagian cerita Babad Tanah Jawa, yaitu kisah Joko Tingkir yang membunuh Dadung Awuk dengan Sadak Kinang yang menyebabkan dia terusir dari istana Pajang. Cerita ini sebetulnya melambangkan terusirnya Joko Tingkir (Mas Karebet) dari istana Demak karena ‘menggangu’ putri raja Demak. Dadung Awuk (dadung;tali) merupakan simbol dari ikatan pingitan putri raja dan sadak kinang merupakan simbol ‘kelakian/phalus’. Dalam teks Roro Mendut terdapat perlambang nama Roro Mendut, adu jago dan tegesan yang merupakan simbol implisit yang mengacu pada seksualitas.
Selain menggunakan dan memanfaatkan perlambang dapat ditemui pula erotisme melalui penamaan tokoh, misalnya nama legendaris Panji Jayeng Tilam. Nama ini adalah cantuman kata jaya + ing + tilam, yang artinya Panji yang berjaya di tempat tidur (tilam). Demikian juga dengan nama lain yang digunakan tokoh Panji ini, Panji Asmara Bangun yang mengacu pada arti Panji (lelaki) yang pandai membangkitkan gelora asmara, lelaki yang piawai berolah cinta.
Teks-teks kuno yang paling banyak menampilkan erotisme adalah genre Kakawin. Kakawin ini merupakan genre sastra paling kuno yang tersebar di kepulauan Nusantara. Merupakan teks yang amat terpengaruh oleh tradisi teks-teks Sansekerta dari India yang dimulai pada abad ke-3 sampai abad ke-9 yang kemudian dalam perkembangannya melalui proses peniruan dan peminjaman kultural (Helen Creese, 2012). Pengaruh India yang kuat dalam hal agama (hindu, budha), filosofi, kenegaraan bertemu dengan kepercayaan animisme yang selanjutnya menciptakan teks-teks yang khas yang berkembang pesat di Jawa, Bali, Sumatera dan Kalimantan.
Zoetmulder dalam bukunya yang legendaris: Kalangwan, menyebutkan bahwa kakawin merupakan teks bergenre puisi yang mengungkapkan kebahagiaan estetis yang berkaitan dengan petualangan para pahlawan besar laki-laki maupun perempuan. Kakawin lebih menekankan pada suasana hati dibandingkan dengan alur peristiwa. Suasana hati adalah suasana erotik yang berpusat pada dua hal yang berlawanan yaitu cinta dalam kenikmatan dan cinta dalam perpisahan (Rubinstein, 2000). Kakawin menempatkan cinta, kerinduan, kehilangan dan perpisahan dengan romantik dan amat erotik. Seksualitas dengan aspeknya yang kembar yaitu kepedihan dan kenikmatan mendominasi semesta metaforik teks kakawin (Helen Creese, 2012).
Erotisme seksual dalam kakawin dilukiskan dengan sangat hati-hati, estetis, dan banyak menggunakan metafora flora dan fauna. Hal ini dapat dilihat dalam kakawin Parthayana yang diterjemahkan oleh Helen Creese:…bingung dan lesu, Sang Putri yang cantik semakin takut, merintih/membungkuk anggun ke samping saat Sang Pangeran mencoba merangkul pinggangnya/bergerak menjauh…/jantungnya berdebar kencang, sang pangeran kian bergairah/jelas ia adalah perwujudan madu dicampur sirup manis/mirip gemuruh bulan keempat yang meringankan derita disakiti cinta/…/sang putri berdoa, lelah melawan tenggelam dalam tangis/dia tak berdaya menyerang dengan tangannya, kukunya seolah tumpul/saat sang pangeran menjamah sabuknya, ikat pinggang itu tiba-tiba terlepas dari wangi dan ramping pinggang sang putri/…/tak mampu menahan gairahnya yang memuncak/sang pangeran membiarkan dirinya dikuasai kekuatan besar dari nafsu yang tak terbatas/
Metafora dan fauna menjadi sarana simbol dalam mengungkapkan erotisme seksual teks-teks kakawin. Dalam Arjuna Wijaya simbol-simbol teratai membuka kelopak, mengunyah sirih, tunas lembut anggur gadung dan sebagainya berhasil ‘menyantunkan’ erotisme seksual:../dia memuji payudaranya dalam kidung dan kakawin dan mencium pipinya/berkat bujukan dengan cara ini, sang ratu melunak seperti malam saat teratai/membuka kelopak bunganya untuk sinar bulan/akhirnya sang ratu menyerahkan diri pada keinginan sang pangeran/dan tidak lagi menolak mengunyah sirih/…indahnya cara dia melepaskan kain sang ratu/begitu dia malu-malu berbaring di bawah tubuh sang pangeran/menawan berpelukan/lengan mereka seperti tunas lembut anggur gadung.
Berbeda dengan kakawin, teks kuno yang bergenre serat yang berbentuk prosa lebih berani walaupun tetap memanfaatkan simbol flora dan fauna. Serat Damar Wulan yang diterjemahkan Noriah Mohamed menunjukkan hal itu: ‘..Kyai Patih tidak sabar, isterinya ditarik dan diciumi, kelakuannya seperti kumbang menghisap madu bunga….”
Seksualitas yang menyimpang juga tergambar dalam teks-teks kuno. Dalam Serat Centini karya Pakubuwono V terdapat erotisme seksual sesama jenis atau homoseksual (Setya Yuwana Sudikan, 1993). Jauh sebelum karya itu ditulis, Kakawin Hariwangsa juga menunjukkan adanya perilaku lesbian (Helen Creese, 2012).
Yang menarik, representasi seksual dalam teks-teks kuno juga menyentuh dimensi spiritual. Seksualitas dan tapabrata saling berhubungan. Dalam tradisi tantri seksual dipersepsikan sebagai ritual pelepasan diri jalan menuju moksa.
Akhirnya, melalui teks-teks kuno itu kita bisa melihat sejauh mana para nenek moyang kita memandang, terpesona terhadap retorika cinta dan seks sekaligus menariknya dalam dimensi yang lebih dalam yaitu spiritualitas. Hal itu menunjukkan tradisi lama kita telah menempatkan keseimbangan antara laku jasmaniah dan batiniah. Teks-teks itu pun juga menunjukkan lorong menuju pintu pengamatan tradisi dan gender sebagai fenomena sosial budaya dari satu masa tertentu.