jfid – Saat Israel menyerang Gaza dengan brutal, banyak orang di seluruh dunia merasa marah dan prihatin.
Salah satu cara untuk mengekspresikan solidaritas dengan rakyat Palestina adalah dengan memboikot produk-produk Israel atau yang terkait dengannya.
Namun, apa sebenarnya boikot itu? Bagaimana sejarahnya? Dan apakah boikot efektif sebagai senjata melawan Israel?
Boikot adalah tindakan menolak untuk membeli, menggunakan, atau berhubungan dengan sesuatu sebagai bentuk protes atau dukungan terhadap suatu isu.
Istilah boikot pertama kali muncul pada tahun 1880 di Irlandia, ketika para petani mengucilkan seorang manajer perkebunan Inggris yang menaikkan harga sewa dan mengusir mereka dari tanah mereka.
Manajer perkebunan itu bernama Charles Cunningham Boycott, dan namanya kemudian menjadi kata kerja yang berarti menghindari atau mengabaikan.
Boikot sering digunakan oleh organisasi buruh, gerakan hak-hak sipil, atau kelompok-kelompok sosial dan politik sebagai cara untuk memperjuangkan hak-hak mereka atau menentang kebijakan yang tidak adil.
Boikot juga bisa menjadi bentuk jihad, yaitu perjuangan di jalan Allah, seperti yang disampaikan oleh Presiden RI Joko Widodo pada 2016.
Beliau mengajak masyarakat internasional untuk memboikot produk-produk Israel sebagai bentuk dukungan kepada Palestina.
Boikot terhadap Israel sendiri sudah dimulai sejak tahun 1945 oleh Liga Arab, sebuah organisasi yang beranggotakan negara-negara Arab.
Tujuannya adalah untuk melemahkan industri Yahudi di Palestina dan menghentikan migrasi Yahudi ke wilayah tersebut.
Boikot ini meliputi larangan impor, ekspor, investasi, dan hubungan diplomatik dengan Israel.
Namun, boikot Arab terhadap Israel tidak berlangsung lama. Beberapa negara Arab, seperti Mesir, Yordania, Maroko, Sudan, Bahrain, UEA, dan lain-lain, telah menandatangani perjanjian damai dengan Israel dan mengakhiri partisipasi mereka dalam boikot.
Hal ini tentu saja menguntungkan Israel, yang bisa mendapatkan akses ke pasar dan sumber daya di negara-negara Arab.
Saat ini, hanya Suriah, Lebanon, dan Iran (yang bukan anggota Liga Arab) yang masih secara aktif menerapkan boikot terhadap Israel.
Negara-negara lain, termasuk Indonesia, juga menggalang seruan boikot produk-produk Israel atau yang berafiliasi dengannya, seperti Coca-Cola, Starbucks, McDonald’s, Nestle, dan lain-lain.
Apakah boikot efektif sebagai senjata melawan Israel? Jawabannya tidak mudah.
Di satu sisi, boikot bisa memberikan tekanan ekonomi, politik, dan moral kepada Israel, yang mungkin akan memaksa mereka untuk mengubah kebijakan mereka terhadap Palestina.
Di sisi lain, boikot juga bisa berdampak negatif bagi rakyat Palestina sendiri, yang mungkin kehilangan pekerjaan, pendapatan, atau bantuan dari perusahaan-perusahaan yang diboikot.
Boikot juga bisa menimbulkan tantangan hukum, teknis, dan praktis.
Misalnya, bagaimana cara mengidentifikasi produk-produk Israel atau yang terkait dengannya? Bagaimana cara mengawasi dan menegakkan boikot?
Bagaimana cara mengatasi hambatan hukum atau politik yang mungkin ditemui? Bagaimana cara mengukur dampak dan efektivitas boikot?
Boikot, pada akhirnya, adalah pilihan masing-masing individu atau kelompok. Yang penting adalah bahwa boikot dilakukan dengan niat yang baik, yaitu untuk membela hak-hak dan keadilan bagi rakyat Palestina.
Boikot juga harus dilakukan dengan bijak, yaitu dengan mempertimbangkan segala aspek dan konsekuensinya. Boikot, jika dilakukan dengan benar, bisa menjadi senjata rakyat untuk melawan Israel.