jfid – Rage Against The Machine (RATM) merupakan salah satu band yang menemani saya dalam mengarungi gelegak jiwa muda. Zack de la Rocha dan Tom Morello, bersama Tim Commerford dan Brad Wilk, cukup membuat kapitalisme laiknya orangtua bagi sosialisme-komunisme. Zack yang seorang anak guru dan Tom yang merupakan jebolan sarjana ilmu politik Universitas Harvard seolah membuat marxisme tampil secara funky. Dengan balutan rap dan racikan musik hardcore dan semi R&B, RATM berhasil membuat marxisme dan berbagai isu yang berkaitan dengannya terasa dekat dan bersahaja—meskipun hanya sebatas ekspresi estetis yang tak jauh berdampak pada kehidupan sosial dan politik.
Entah kenapa, latar-belakang seorang Zack de la Rocha mengingatkan saya pada dugaan kuat tokoh di balik Subcomandante Marcos, seorang yang ditunjuk sebagai juru bicara EZLN, gerakan pembebasan masyarakat adat Chiapas di Meksiko. Keduanya merupakan anak yang datang dari keluarga kelas menengah, sama-sama anak dari seorang guru—dan memang RATM secara khusus pernah bersinggungan dengan EZLN.
El-Sub, panggilan akrab Subcomandante Marcos, jelas adalah orang luar yang tak datang dari kalangan petani Chiapas sendiri. Konon, ia adalah jebolan magister filsafat Universitas Sorbonne, Perancis. Seusai meninggalkan tesisnya tentang Althusser di Sorbonne, el-Sub kemudian menceburkan diri ke kalangan masyarakat adat Chiapas—dan ini pun atas upaya yang berkali-kali. El-Sub tak pernah datang sebagai seorang marxis yang gagah dan berapi-api. Justru, saya kira, di kalangan masyarakat adat Chiapas, ia justru diberdayakan balik yang karenanya marxisme yang ditelan sebelumnya berubah menjadi selebaran sastra “kuno” yang penuh pitutur nan menghibur. Karena itulah Zigmunt Bauman, seorang sosiolog kontemporer, menahbiskan EZLN sebagai “marxisme-postmodern.”
Apa yang dialami oleh el-Sub sepertinya juga dialami oleh seorang Zack de la Rocha. Entah darimana dan bagaimana Zack belajar tentang kawruh sangkan-paraning dumadi, tilikannya atas sejarah memang senafas dengan sejarah ala kearifan-kearifan lokal. Dalam salah satu lagu RATM, Testify, Zack menulis: “Who controls the past now controls the future/ Who controls the present now controls the past.”
Testify di atas, dalam Serat Wirid Hidayat Jati Ronggawarsita, dimaknai sebagai “Sasahidan” yang konon merupakan wilayah garapan Syekh Siti Jenar yang kemudian diteruskan oleh Sunan Geseng (Manunggaling Kawula-Gusti dan Sufisme Gambang, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). Sebagaimana Testify RATM, Sasahidan juga bertolak dari sejarah dimana titik awal mestilah menjadi titik berakhirnya. Syekh Amin al-Kurdi, pengarang kitab Tanwirul Qulub, yang merupakan salah seorang mursyid tarekat Naqsyabandiyah, pernah berpendapat bahwa yang membedakan Naqsyabandiyah dengan tarekat-tarekat lainnya adalah pada penekanan titik awal yang menentukan titik berakhirnya suluk para salikin.
Barangkali, sampai di sini orang bertanya, bagaimana bisa olah rohani berkaitan dengan olah sosial dan politik mengingat RATM (dan marxisme yang menjadi motor estetisnya) senantiasa berkaitan dengan politik? Satu hal yang pasti, Naqsyabandiyah menjadikan prinsip “khalwat dar anjuman” sebagai salah satu fondasi tarekatnya. Dalam khazanah budaya Jawa, khalwat dar anjuman ini dikenal sebagai “tapa ngrame” yang dahulu dilakukan oleh para ksatria sebagai bentuk tapanya. Dengan kata lain, tasawuf dalam tarekat Naqsyabandiyah, bukanlah hal yang sama sekali jauh dari keseharian dunia yang notabene “kotor” dan “rendah” termasuk politik.
Dalam sejarah tasawuf berbagai corak tarekat yang selama ini ada memang berkaitan dengan tekanan dan perang atau hiruk-pikuk perpolitikan. Seandainya Abu Bakar al-Shiddiq, yang menjadi jalur tarekat Naqsyabandiyah dan Akmaliyah, dikaribkan ketika menemani Nabi Muhammad yang sedang menjadi buron kalangan jahiliyah di gua Tsur, Ali pun ditinggali di tempat tidur ketika rumah Nabi Muhammad dalam kepungan. Hal inilah yang menjadi dasar historis prinsip khalwat dar anjuman atau tapa ngrame para ksatria yang berbeda dengan tapanya para pandhita.
“Now testify!,” pekik Zack dengan iringan riff gitar Tom Morello yang menggunakan sistem tunning Drop D yang gahar dan gebukan drum Brad Wilk yang ekspresif penuh hentakan.
(Heru Harjo Hutomo: penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)