jfID – Wayang purwa merupakan sebuah warisan sejarah yang tak ada habisnya untuk dikaji. Segala bentuk kesenian seperti tercakup semua di dalamnya: tata artistik panggung dan bentuk wayang kulitnya (seni rupa), iringan gending dari gamelan dan vokal sang dalang (seni musik), penokohan atau karakterisasi dan ketegangan dramatik yang dibawakan oleh sang dalang (seni teater), dan aneka pocapan dan janturan yang dibawakan oleh sang dalang (seni sastra). Karena itulah dalam dalam pedalangan gagrak Mangkunegaran dikenal tiga prinsip yang menjadi modal (sangu) sang dalang: gandhang, gendhing, gandhung, dan gendheng. Semua prinsip ini secara ideal mesti dimiliki oleh sang dalang yang sedikit banyak terkait dengan kemampuan semua bentuk seni di atas. Karena itu pula, dahulu, seorang dalang lazim dikenal sebagai seorang seniman tunggal. Ia adalah dramawan, pemusik, perupa, dan sastrawan. Atau bahkan di masa silam, ia mesti pula dituntut untuk memiliki kelebihan spiritual tertentu mengingat fungsinya sekaligus juga sebagai pemimpin sebuah ritual dan orang yang dituakan oleh lingkungan atau komunitasnya. Dari fungsi spiritualnya inilah tembung garba “dalang” atau ngudal piwulang (pembabar wejangan sebagaimana yang terdapat dalam sebuah ungkapan perenial: “isa nggelar kudu isa nggulung”) menemukan maknanya.
Di samping kemampuan-kemampuan di atas, saya kira, ada satu kemampuan lagi yang di masa silam dan dalam beberapa derajat juga masih dapat dijumpai di masa kini: sanggit. Pada dasarnya sanggit adalah interpretasi sang dalang atas sebuah lakon yang membedakannya dengan dalang-dalang lainnya. Sebab, meskipun cerita wayang purwa selalu sama dari masa ke masa dan dengan entah siapa pun dalangnya tetap ada yang membedakannya dalam penyajian lakon. Selain melahirkan kekhasan para dalang, karena sanggit tersebut, terdapat pula beberapa gagrak (gaya) wayang purwa yang berbeda: gagrak Ngayogjakarta (dengan segala variannya), gagrak Surakarta (dengan segala variannya), gagrak Banyumasan (dengan segala variannya), dan gagrak Jawatimuran (dengan segala variannya).
Sanggit sebagai interpretasi itulah yang pada akhirnya menyebabkan sekaligus menjaga keberagaman atau pluralitas dan bahkan interkulturalitas dalam wayang purwa Jawa. Interkulturalisme saya maknai lebih dari sekedar multikulturalisme yang menyiratkan keberagaman budaya yang terisolir satu sama lain. Interkulturalisme adalah apa yang oleh Gilles Deleuze disebut sebagai “musical accord” (Menangkap Kata Rupa dan Rupa Kata, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). Adakalanya orang-orang Jawa yang berkiblat pada budaya mayor Surakarta akan mengerti wayang purwa gagrak Ngayogjakarta, Banyumasan ataupun Jawatimuran, meskipun diantara keempatnya memiliki perbedaan. Bahkan, meskipun terkendala bahasa, orang-orang Jawa yang mengerti wayang purwa pasti akan juga memiliki kesepemahaman dengan wayang golek Sunda atau bahkan wayang Cenk Blonk Bali. Inilah apa yang saya sebut sebagai interkulturalisme.
Seorang dalang disebut sebagai dalang sanggit seandainya ia memiliki kemampuan untuk menafsirkan dan mengolah cerita sehingga memengaruhi daya tarik penyajiannya. Biasanya, dalam kajian wayang modern hal ini disebut sebagai humanisasi mitologi wayang, yang dalam marxisme dikenal sebagai estetika realisme sosialis minus kepentingan politisnya. Adakalanya justru di tangan seorang dalang sanggit yang hebat sebuah lakon wayang akan menjadi sebuah open text yang menangguhkan segala judgment sebagaimana yang dikedepankan oleh madzhab realisme sosialis. Taruhlah lakon Samba Juwing, di tangan seorang dalang sanggit yang hebat, orang tak akan dapat menghakimi siapa pun pada akhirnya, entah Boma yang merajam Samba, Kresna yang membunuh Boma karena membela Samba sebagai anak kandungnya, Arjuna yang membela Samba karena perasaan senasib, Hagnyanawati yang mengkhianati Boma, dan Samba sendiri yang mengganggu rumah-tangga Boma-Hagnyanawati. Sebab, dalam salah satu sanggit, Samba dan Hagnyanawati ternyata adalah penjelmaan Bathara Ulamderma dan Bathari Ulamdermi di masa silam. Dengan demikian, jauh sebelum Roland Barthes dalam kancah semiotika mendeotoritasisasi sang pengarang (author), para dalang dan wayang purwa Jawa di masa silam telah mendahului mereka. Hal ini di akhir pertunjukan wayang purwa Jawa di akhiri oleh simbolisasi adegan tarian wayang golek yang secara kebahasaan merupakan kerata basa dari istilah Jawa “golek” atau mencari—carilah sendiri (Menjejak Keprak: Pagelaran Wayang Purwa Sebagai Sebentuk Meditasi, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).
Tapi saya kira, soal sanggit, sebenarnya tak melulu kemampuan untuk menafsirkan dan mengolah kisah untuk kemudian disajikan di panggung. Sanggit berkaitan pula dengan apa yang saya sebut sebagai kemampuan “sejarawan-diskursus.” Ada satu ungkapan yang menjadi raison d’etre kebudayaan Jawa: “Jawa nggone semu (Jawa tempatnya pasemon).” Seumpama, sebelum para ahli geologi menyatakan bahwa gempa dan tsunami ternyata memiliki siklus, wayang purwa ternyata sudah hadir sebagai sebentuk warisan memori kolektif atas peristiwa sejarah tertentu, baik alam (Mahapralaya: Seputar Wayang, Gempa dan Tsunami, Heru Harjo Hutomo, https://filsafatwayang.filsafat.ugm.ac.id) maupun kemanusiaan (Islam Radikal dalam Filsafat Perwayangan dan Serat Wedhatama, Heru Harjo Hutomo, https://etnis.id).
Heru Harjo Hutomo/ penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik