Radikalisme, Konsep dan Transformasi Diri dalam Tasawuf

Heru Harjo Hutomo By Heru Harjo Hutomo
5 Min Read
- Advertisement -

jfID – Sebagaimana banyak kearifan lokal yang dapat dijumpai di Nusantara, pada dasarnya tasawuf atau sufisme adalah sebentuk “ngelmu kamanungsan” atau ilmu humaniora yang bercorak transendental. “Ngelmu” di sini tak semata berarti ilmu yang beralaskan “logos” atau proposisi sebagaimana yang dipahami oleh peradaban Barat-modern (Gabah Den Interi: Antara yang Sampah dan yang Bertuah, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev). Serat Wedhatama mencandra “ngelmu” ini sebagai sesuatu yang bersifat eksperiental.

Ngelmu iku

Kalakone kanthi laku

Lekase lawan kas

Ad image

Tegese kas nyantosani

Setyabudya pangekese dur angkara

Pernyataan seseorang yang belum pernah mencicipi kekecutan buah jeruk akan berstatus batal dan merupakan sebuah kebohongan ketika panjang-lebar pun ia berupaya menjelaskan kekecutan buah jeruk. Pada tahap inilah pada dasarnya jalan analogi dalam teologi klasik berstatus lebih rendah daripada jalan negasi dan penyucian diri (purgativa).

Tasawuf atau sufisme sebagai sebentuk spiritualitas yang berbingkai agama Islam tak pelak lagi merupakan disiplin ilmu yang tak semata bersifat empiris dan rasional. Ia lebih bersifat eksperiental sesuai dengan kategori “ngelmu” dalam Serat Wedhatama di atas. Ada yang memang tak dapat menerima eksistensi bidang yang lebih mengurusi post-software (habitus) manusia ini.

Di sepanjang sejarah beberapa kali tasawuf mengalami berbagai penolakan dari otoritas keagamaan yang juga berkelindan dengan otoritas politik tertentu. Sampai suatu ketika sang hujjatul Islam, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali al-Thusi al-Syafi’i, berupaya mendamaikan kedua kecenderungan dalam beragama: kalangan dhahiriyah dan batiniyah. Upaya ini pun tak semulus seperti yang dibayangkan. Masih saja tersisa kalangan yang secara syar’i menampik keabsahan tasawuf. Pernah para kalangan modernis dan puritan menghakiminya sebagai sebentuk bid’ah dan sumber kemerosotan peradaban Islam (Jalan Jalang Ketuhanan: Gatholoco dan Dekonstruksi Santri Brai, Heru Harjo Hutomo, 2011). Padahal pada masa itu justru tasawuf, dalam penilaian saya, pernah menjadi sumber kebesaran kebudayaan Islam. Tak jarang ilmu pengetahuan dan seni lahir dari rahim para sufi.       

Pada esai ini saya akan menunjukkan sisi praktis dari disiplin ilmu tasawuf dalam kaitannya dengan radikalisme dan terorisme. Pada konsep diri dalam diskursus tasawuf ada beberapa kategori sekaligus transformasinya yang dapat dijadikan pegangan dalam pemetaan diri, radikalisasi dan deradikalisasi manusia.

Ada beberapa rujukan di al-Qur’an yang menjadi dasar dari konsep dan karakteristik diri sebagaimana yang digarap oleh disiplin ilmu tasawuf (Kanan Terantuk, Kiri Terketuk, dan Paradigma Kehidupan Baru, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org). Yang pertama adalah diri “ammarah” (12: 53) yang memiliki karakteristik “ngocokan” (“Masturbasi Antiklimaks” FPI, Heru Harjo Hutomo, https://geotimes.co.id). Diri orang-orang yang radikal tepat berada pada level ini dengan karakteristiknya yang khas selalu berpegang pada kebenaran sendiri dan menafikan kebenaran lainnya. Atau dengan kata lain, mereka cenderung enggan untuk berbagi ruang atau senantiasa menampik keberagaman.

Diri ammarah dapat pula, ketika ditransformasikan, berubah menjadi diri yang kedua, “lawwamah” (75:2), yang memiliki karakteristik “wis wani wirang” yang suka mencela dirinya sendiri. Para teroris, yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari orang-orang yang radikal, tepat berada pada level ini dimana kegamblangannya yang ekstrim adalah kentara pada aksi bom bunuh diri.

Pada transformasi diri yang ketiga, diri lawwamah ini akan akan menjadi diri “muthmainah” yang dijanjikan oleh al-Qur’an akan kembali dengan riang gembira, ridha dan diridhaiNya (89:27-28). Pada tahap ini diri lawwamah akan mengalami sebentuk deradikalisasi yang memiliki karakteristik “utun,” selalu berhati-hati, tenang, enggan untuk durhaka, selalu berkecenderungan untuk baik dan berbuat kebajikan.

Cukupkah transformasi diri ini berhenti pada diri muthmainah belaka? Al-Ghazali sebenarnya masih memerinci kembali diri-diri lainnya pasca muthmainah, tapi untuk keperluan pemetaan diri, radikalisasi sekaligus deradikalisasinya, cukuplah saya kira tiga diri tersebut yang menjadi pegangan.  

(Heru Harjo Hutomo: penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)

- Advertisement -
Share This Article