Praktik-Praktik Tidak Etis Dosen dalam Komersialisasi Pendidikan

Rasyiqi By Rasyiqi - Writer, Saintific Enthusiast
4 Min Read
Praktik Praktik Tidak Etis Dosen Dalam Komersialisasi Pendidikan
Praktik Praktik Tidak Etis Dosen Dalam Komersialisasi Pendidikan
- Advertisement -

jfid – Di era globalisasi, dunia pendidikan seharusnya menjadi tempat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan potensi sumber daya manusia.

Namun, di balik layar, ada banyak praktik-praktik yang tidak etis dan merugikan yang terjadi di lingkungan pendidikan, khususnya di perguruan tinggi.

Salah satunya adalah komersialisasi pendidikan, yaitu kecenderungan untuk menjadikan pendidikan sebagai komoditas yang diperjualbelikan demi keuntungan ekonomis.

Komersialisasi pendidikan dapat bermacam-macam bentuknya, mulai dari penjualan buku yang dipaksakan oleh dosen, pungutan liar untuk seminar atau workshop, hingga penyerobotan hak cipta mahasiswa dalam publikasi jurnal.

Ad image

Hal-hal ini tentu saja bertentangan dengan kode etik dosen dan hak-hak mahasiswa sebagai peserta didik. Selain itu, komersialisasi pendidikan juga berdampak negatif pada kualitas pendidikan itu sendiri, karena mengabaikan aspek-aspek humanis dan akademis yang seharusnya menjadi tujuan utama pendidikan.

Salah satu contoh komersialisasi pendidikan yang terjadi di Makassar adalah kasus yang ditulis oleh Muhammad Syarif, seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Makassar (FIP UNM).

Dalam tulisannya yang berjudul “Ragam Pungutan Liar atau Pungli di Kampus”, Syarif mengungkapkan beberapa bentuk komersialisasi pendidikan yang ia alami sendiri atau temui di lingkungan kampusnya. Ia juga menyertakan hasil riset yang dilakukan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa FIP UNM tentang fenomena ini.

Syarif menulis bahwa ia pernah merasakan dipaksa untuk membeli buku yang ditulis oleh dosen pengampu mata kuliah tertentu. Jika tidak membeli buku tersebut, ia akan mendapat ancaman tidak boleh masuk kuliah atau nilai akan diturunkan.

Padahal, menurut Syarif, buku-buku tersebut seharusnya sudah tersedia di perpustakaan kampus atau dapat dipinjam dari teman-teman. Ia juga menilai bahwa buku-buku tersebut tidak berkualitas dan hanya merupakan hasil copy paste dari sumber-sumber lain.

Selain itu, Syarif juga mengkritik adanya pungutan liar untuk seminar atau workshop yang diselenggarakan oleh jurusan atau fakultas. Ia mengatakan bahwa kegiatan-kegiatan tersebut sebenarnya bagus dan bermanfaat untuk meningkatkan literasi mahasiswa.

Namun, ia mempertanyakan mengapa mahasiswa harus membayar biaya tambahan untuk mendapatkan sertifikat dan konsumsi, padahal hal-hal tersebut seharusnya sudah termasuk dalam anggaran kemahasiswaan yang dibayarkan melalui uang kuliah tunggal (UKT). Ia juga menyesalkan adanya pemaksaan untuk mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut dengan alasan absensi atau nilai.

Kasus lain yang menurut Syarif sangat meresahkan adalah adanya penyerobotan hak cipta mahasiswa dalam publikasi jurnal. Ia menceritakan bahwa ada dosen yang meminta mahasiswa untuk menyerahkan draft skripsi mereka dan kemudian mengubah nama penulis pertama menjadi nama dosen tersebut.

Bahkan, ada dosen yang rela membayar biaya publikasi jurnal asalkan namanya menjadi penulis utama. Hal ini tentu saja sangat tidak adil dan melanggar etika ilmiah.

Syarif berharap bahwa tulisannya dapat menjadi bahan refleksi bagi semua pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan, khususnya di perguruan tinggi.

Ia juga mengajak mahasiswa untuk bersikap kritis dan tidak takut menyuarakan aspirasi mereka terkait masalah-masalah ini. Ia berpesan agar mahasiswa tidak menormalisasi praktik-praktik komersialisasi pendidikan yang merugikan mereka sendiri dan kualitas pendidikan di Indonesia.

- Advertisement -
Share This Article