jfid – Prabowo Subianto, bakal calon presiden yang juga Ketua Umum Partai Gerindra, bicara soal pengkhianatan dalam pidatonya di acara deklarasi dukungan dari Partai Gelora di Djakarta Theater, Jakarta Pusat, Sabtu (2/9/2023). Prabowo mengaku tak masalah kerap dikhianati, asal bukan dirinya yang berkhianat.
“Ada dulu wartawan mungkin mau memancing saya, Pak Prabowo kok sering dibohongi ya dan sering dikhianati ya?” kata Prabowo. “Saya jawab, spontan aja, boleh Prabowo dibohongi, boleh Prabowo dihianati. Yang penting, jangan Prabowo bohong dan Prabowo berkhianat,” ungkapnya.
Prabowo menekankan, rakyat lah yang akan melihat dan menilai siapa yang berkhianat. Menurutnya, sejarah yang nantinya akan mencatat siapa orang yang berada di jalan yang benar.
“Jadi saudara, terima kasih dukunganmu, rakyat yang akan melihat, rakyat akan menilai, rakyat yang akan memberikan suara, dan yang paling utama adalah sejarah mencatat siapa di atas jalan yang benar dan siapa yang berkhianat kepada bangsa dan negara,” papar Prabowo.
Pernyataan Prabowo ini menarik untuk ditelisik lebih lanjut. Apa artinya bagi Pilpres 2024? Apa latar belakang dan konteksnya? Dan apa dampaknya bagi koalisi politik dan elektabilitasnya?
Prabowo Subianto adalah seorang politisi senior yang sudah tiga kali mencalonkan diri sebagai presiden.
Pada tahun 2009, ia menjadi cawapres dari Megawati Soekarnoputri. Pada tahun 2014 dan 2019, ia menjadi capres dengan cawapres Hatta Rajasa dan Sandiaga Uno.
Dalam perjalanan politiknya, Prabowo kerap mengalami pasang surut. Ia pernah bergabung dengan Partai Golkar pada era Orde Baru, lalu mendirikan Partai Gerindra pada tahun 2008.
Ia juga pernah berkoalisi dengan berbagai partai politik, baik sebagai pendukung maupun penantang pemerintahan.
Salah satu momen penting dalam karier politik Prabowo adalah ketika ia bergabung dengan pemerintahan Joko Widodo sebagai Menteri Pertahanan pada tahun 2019.
Padahal sebelumnya ia merupakan rival berat Jokowi dalam dua kali Pilpres. Keputusan Prabowo ini menuai pro dan kontra dari para pendukungnya.
“Perdamaian memerlukan jiwa besar, Pak Jokowi punya jiwa besar mengajak saya. Saya pun ditentang tadinya bergabung, ditentang saya oleh pengikut-pengikut saya sendiri. Saya dituduh pengkhianat,” kata Prabowo dalam pidatonya di acara deklarasi dukungan dari Partai Gelora.
Prabowo menjelaskan bahwa ia bergabung dengan Jokowi demi kepentingan nasional. Ia mengatakan bahwa Indonesia harus bersatu menghadapi tantangan global.
Ia juga menegaskan bahwa ia tetap kritis terhadap pemerintah jika ada hal-hal yang tidak sesuai dengan aspirasi rakyat.
“Jadi saya dituduh pengkhianat, oleh pengikut saya. Karena saya mau bergabung dengan Pak Jokowi, akhirnya ya saya harus menjelaskan, lama-lama mereka paham. Jadi politik adu domba, politik pembelahan. Semakin Indonesia tidak bersatu, semakin kekuatan-kekuatan tertentu di dunia ini senang, lihat kenapa? Kita terlalu besar, kita terlalu kaya,” ujar Prabowo.
Dampak bagi Koalisi Politik dan Elektabilitas
Pada tahun 2021, Prabowo kembali mencalonkan diri sebagai presiden untuk Pilpres 2024.
Ia mendapat dukungan dari Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Koalisi ini diberi nama Koalisi Indonesia Maju.
Namun, koalisi ini tidak berlangsung lama. Pada tahun 2023, PKB dan Partai NasDem mengusung pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) sebagai capres-cawapres.
Padahal PKB sejak awal sudah membentuk koalisi dengan Gerindra. Pengusungan Anies-Cak Imin ini juga berpengaruh pada Koalisi Perubahan untuk Persatuan yang dibentuk NasDem, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Demokrat.
Demokrat merasa ada pengkhianatan dan akhirnya menarik diri dari koalisi ini, serta mencabut dukungan terhadap Anies.
Cak Imin mengaku sudah berkomunikasi dan bertemu langsung dengan Prabowo untuk terkait dinamika politik ini.
“Sudah berkali-kali saya sowan ke beliau (Prabowo). Dan secara pribadi sudah ketemu,” kata Cak Imin.
Prabowo sendiri tampaknya tidak terlalu mempersoalkan adanya empat pasangan calon presiden dan wakil presiden di Pilpres 2024. Ia mengatakan bahwa rakyat yang akan menilai siapa yang pantas memimpin Indonesia.
“Kita harus hormati semua calon yang ada. Saya kira itu hak demokrasi mereka. Saya kira rakyat yang akan menilai siapa yang pantas memimpin bangsa ini,” kata Prabowo.
Meski begitu, Prabowo tetap optimis bahwa ia akan memenangkan Pilpres 2024. Ia mengatakan bahwa ia tidak pernah merasa kalah dalam setiap pertarungan politiknya. Ia menganggap dirinya sebagai pejuang yang tidak akan menyerah.
“Dibilang tiga empat kali kalah, pejuang tak ada kalahnya! Pejuang hanya ada menang atau mati! Kalau belum mati berarti belum kalah!” teriak Prabowo.
Menurut survei terbaru dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Agustus 2023, Prabowo masih unggul dalam elektabilitas capres dengan 28,9 persen.
Di posisi kedua ada Anies Baswedan dengan 21,7 persen, diikuti oleh Ganjar Pranowo dengan 14,8 persen, dan Ridwan Kamil dengan 12,6 persen.
Namun, survei ini juga menunjukkan bahwa Prabowo masih memiliki tingkat penolakan tertinggi di antara capres lainnya dengan 29,2 persen. Selain itu, Prabowo juga masih belum memiliki cawapres yang ideal.
Dari beberapa nama yang disodorkan oleh LSI, seperti Sandiaga Uno, Airlangga Hartarto, Zulkifli Hasan, dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), tidak ada yang mampu meningkatkan elektabilitas Prabowo secara signifikan.
Prabowo Subianto adalah seorang politisi senior yang sudah tiga kali mencalonkan diri sebagai presiden.
Dalam perjalanan politiknya, ia kerap mengalami pasang surut dan pengkhianatan. Namun ia mengaku tak masalah dengan hal tersebut, asal bukan dirinya yang berkhianat.
Pernyataan Prabowo ini menunjukkan sikapnya yang teguh dan percaya diri dalam menghadapi Pilpres 2024. Ia mengatakan bahwa rakyat lah yang akan melihat dan menilai siapa yang pantas memimpin Indonesia.