“Sekali lagi, puisi bukan pisau
Tapi kita butuh kata-kata, untuk mengiris air mata,” penyair Ibnu Hajar.
jfid – Jika Hegel memandang seni sebagai suatu realitas yang nyata secara fenomenal. Dengan seluruh realitas yang bersifat rasional dan real. Berbeda dengan penyair Ibnu Hajar, yang menginterpretasikan seni dalam hidupnya sebagai Seniman yang krisis identitas.
Saya sangat ingat, mungkin ini bentuk kekaguman seorang anak remaja kala itu pada penyair ternama di Madura. Tahun 2003, penyair Ibnu Hajar didaulat sebagai Khairil Anwarnya Madura (Radar Madura, Jawa Pos). Sebuah distorsi gelar penyematan yang diberikan pada Ibnu Hajar.
Pertama, karena saya sangat kecewa dengan penyair yang pernah saya kagumi dan karyanya hanya bertebar di beranda Facebook. Walau nama Ibnu Hajar tercantum dalam buku “Apa dan Siapa penyair Indonesia” yang diampuh Rida K. Liamsi dan Maman S Mahayana.
Lagi-lagi, Ibnu Hajar membuat ulah dalam sebuah teks puisi yang menjadi sebab musabab kepenyairannya kekal di Madura.
“Ketika Tuhan saja tersenyum saat menciptakanmu, maka aku bisa apa selain jatuh cinta” Ibnu Hajar.
Georg Wilhelm Friedrich Hegel memandang Seni sebagai ekspresi dari roh manusia yang menciptakan dirinya sendiri melampaui keterbatasan alam. Ibnu Hajar mencoba beradaptasi diantara kesesuaian ide dan perasaan. Seni bersifat estetis, tetapi juga etis, karena seni mengandung nilai-nilai moral dan spiritual. Sebagaimana ditemukan dalam petikan sajak Khairil Anwar Madura.
Penyair yang teridentifikasi lahir 7 Juli 1971. Memiliki dialektika hidup. Antara kirisis identitas atau multi talenta. Ibnu Hajar selain dikenal sebagai penyair dan budayawan Madura. Ia juga aktif di bidang jurnalistik.
Dirinya mengaku, jika dibesarkan Radio Nada FM (sebuah chanel radio lokal Sumenep, Madura). Ibnu Hajar bekerja sebagai Pimpinan Redaksi.
Publik jika ingin tau tentang kepribadian penyair Ibnu Hajar yang multi talenta. Maka, penulis membutuhkan observasi mendalam atau paling tidak intens untuk ngopi bareng.