Populisme dan Propaganda Agama

Heru Harjo Hutomo By Heru Harjo Hutomo
6 Min Read
"The Empty Seat," 60x100 cm, kapur di atas Papan, Heru Harjo Hutomo, 2020
"The Empty Seat," 60x100 cm, kapur di atas Papan, Heru Harjo Hutomo, 2020
- Advertisement -

jfID – Pada sebuah kesempatan, ketika saya mampir ngopi di pinggir jalan, ada beberapa motor lewat dan kemuadian melontarkan kalimat-kalimat verbal. Saya sama sekali tak tertarik dengan mode pergaulan yang konon ada yang menengarai berasal dari kebiasaan para anggota dan simpatisan IS di Suriah itu. Yang lebih menggelitik saya adalah penerimaan si penjual kopi, “Ilmu dalan,” jelasnya tanpa saya peduli bahkan untuk bertanya sekalipun.

Konon lontaran-lontaran verbal tersebut, yang berupa rangkaian kalimat yang terlepas dari konteksnya, adalah kata-kata berhikmah yang mesti dipikirkan oleh penerimanya (Hikayat Kebohongan II, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org). Seperti ramalan-ramalan yang menyertai paito (catatan angka-angka togel yang telah keluar) yang lazim disimak di kalangan akar rumput, lontaran-lontaran verbal yang berserak di jalanan dan ruang-ruang publik lainnya itu juga menjadi bahan perenungan tersendiri bagi penerimanya. Saya kira yang cukup mobile dan aktif menyebarluaskannya adalah para muda-mudi dengan melihat keluasan tema lontaran-lontaran verbal tersebut, yang banyak darinya adalah berbahasa Jawa gaya pedesaan. Bukankah hanya para muda-mudi yang hidupnya belum disibukkan oleh bagaimana mencukupi kebutuhan sehari-hari?

Setidaknya ada dua hal yang perlu saya catat dalam hal ini. Pertama, entah mode pergaulan semacam itu berasal dari kebiasaan para teroris yang berinduk pada IS atau bukan, pernah memang kalangan tertentu menggunakan cara-cara tersebut untuk memviralkan dengan tujuan memperkarakan omongan si target. Mereka membaca atau mendengar si target yang tak disukai kemudian memotongnya lepas dari konteks dan menyebarluaskannya secara verbal, lazimnya, ke khalayak akar rumput yang sama sekali tak ada waktu untuk meng-up date informasi. Kalimat-kalimat yang dipotong dan disebarluaskan kerapkali adalah kalimat-kalimat yang kontroversial sehingga membuat gaduh khalayak akar rumput yang biasanya tak mengklarifikasi terlebih dahulu informasi yang bersifat menyudutkan tersebut.

Tiga tahun lalu, ketika saya masih rajin beranjangsana ke daerah-daerah pinggiran untuk keperluan jurnalisme lintas-budaya, banyak tokoh-tokoh masyarakat lokal, khususnya di pedesaan, yang tumbang gara-gara segala omongannya dipotong dan disebarluaskan lepas dari konteksnya. Corak masyarakat pedesaan jamaknya masih bergantung pada figur tertentu dimana ketika tokoh-tokoh masyarakat itu tumbang ataupun bungkam, maka pecah pula keutuhan sebuah masyarakat. Dan sekonyong-konyong kalangan tertentu beserta pahamnya yang sama sekali tak memiliki akar historis dan budaya di masyarakat yang bersangkutan tersebut “menjajah” dengan alasan bahwa kebiasaan dan kebudayannya telah menyimpang dari prinsip tertentu, dalam hal ini, adalah prinsip-prinsip Islam ataupun, sebaliknya, prinsip-prinsip kebangsaan (Diseminasi Konflik dan Hikayat Kentut, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev).

Ad image

Kedua, banyak pula apa yang disebut oleh Tom Nichols sebagai fenomena “the death of expert” terjadi dan mengakibatkan kegaduhan dan ketegangan suasana karena para ahli yang menguasai bidangnya dipaksa untuk bungkam dengan berbagai cara, sehingga yang diberi ruang untuk berbicara adalah para orang yang bukan ahlinya—bahkan acapkali, para orang yang diberi ruang untuk berbicara tersebut adalah justru orang-orang yang anti terhadap apa yang seolah-olah diomongkannya. Tak pelak lagi, kegoblokan dan kenekatan menjadi fenomena keseharian yang mudah ditemui. Hal inilah yang kemudian, saya kira, menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya populisme dalam arti negatifnya, baik kanan, kiri, ataupun percampuran absurd keduanya.

Seperti halnya orang masturbasi, sejak tiga tahun terakhir banyak kita saksikan di Indonesia mobilisasi massa atau pergerakan yang memalukan dari segi ideologi, strategi, dan arah yang jelas beserta hasil kongkritnya. Mulai dari gerakan yang mengklaim diri sebagai “aksi massa Islam,” gerakan Anarko, maupun terorisme dengan bentuk purbanya: premanisme (“Bertolak dari yang Ada,” Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org dan Hikayat Binatang Beragama, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org).

Memang, media-media sosial tak urung juga memicu terjadinya populisme semacam itu. Sebab, dengan media-media sosial siapa pun, terlepas dari latar-belakang keahliannya apa, dapat dengan mudahnya menjadi bintang yang layak dipuja dan didengar segala kotbahnya (Kelam Zaman Masyarakat Tontonan, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org). Di era digital semacam ini sangat tak penting apa yang menjadi isi otak kita, asal kita dapat menyesuaikan diri dengan selera khalayak di masa sekarang kita pun sudah layak untuk berkotbah, entah dengan berbaju agama maupun, sebaliknya, berbaju non-agama. Sebab, dalam budaya tontonan semacam ini, pada akhirnya bukanlah kita yang sesungguhnya menjadi aktor sekaligus sutradara, melainkan adalah khalayak sendiri. Padahal, meskipun hanya tontonan, semua itu berlangsung dengan sebenar-benarnya: luka hati, air mata, dan bahkan penjara.”    

(Heru Harjo Hutomo: penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik) 

- Advertisement -
Share This Article