Jurnalfaktual.id, – Merantau bagi anak muda adalah suatu keharusan, namanya juga anak muda, jika tidak nakal dan nekat ke luar rumah mencari pengalaman, maka tidak akan memiliki bahan cerita ke anak-anaknya ketika sudah dewasa nanti. Kira-kira seperti itulah cuitan anak perantau.
Istilah merantau bukan hal tabu untuk dimengerti, tanpa dijelaskan artinya pun, pembaca pasti mengetahui istilah ini. Jika tetap tidak, baik lah. Akan saya jelaskan sedikit supaya pembaca sama-sama paham.
Merantau bukanlah bahasa Sansekerta, bukan pula Yunani apalagi Romawi. Kata ini muncul karena tidak adanya istilah lain untuk orang yang sedang pergi dari tanah kelahiran untuk mencari penghidupan, pengalaman, ilmu dan lainnya. Panjang sekali definisinya!
Apakah istilah merantau hanya boleh digunakan untuk orang saja? Tentu tidak. Organisasi juga bisa menggunakan kata itu. Bagaimana bisa? Ya bisa! Karena kondisinya memang seperti itu adanya.
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), saya menyebutnya adalah organisasi yang sedang merantau untuk saat ini. Dipercaya atau tidak, Orde Baru (Orba) telah membuat PMII menjauh dari NU. Statement ini saya berikan tentunya bukan tanpa dasar, justru atas dasar inilah kemudian saya memiliki keberanian untuk menulis kenapa Orba adalah penyebab dan saya menyebut bahwa PMII adalah organisasi yang sedang mencari penghidupan dan pengalaman, yakni merantau.
Jadi begini Sahabat, status kedudukan organisasi massa terbagi menjadi tiga bagian, yaitu independen, interdependen, dan badan otonom. Tiga macam status tersebut terdapat perbedaan signifikan yang perlu dipahami bersama-sama.
Independen memiliki arti berdiri sendiri artinya tidak terikat oleh apapun itu bentuknya, proses pendirian nya pun mandiri oleh karenanya disebut independen. Interdependen secara etimologi memiliki arti saling bergantung, atau bisa kita sebut adanya hubungan timbal balik antara kedua belah pihak. Badan otonom secara hak mendapat kewenangan untuk melakukan kegiatan, mengatur dan menjalankan roda organisasi yang tidak lepas koordinasi dengan pihak yang di atas dalam garis besar struktural organisasi.
Setelah mengerti perbedaannya, mari kita pelajari bersama bagaimana status kedudukan PMII mulai dari sejarah berdirinya hingga kondisi saat ini.
Proses berdirinya PMII bermula pada keinginan para mahasiswa Nahdliyyin untuk mendirikan organisasi kemahasiswaan yang berideologikan Aswaja dan berada di bawah naungan organisasi besar yaitu Nahdlatul Ulama (NU) yang pada saat itu NU adalah organisasi partai politik pemenang terbanyak ke tiga pada saat pemilu 1955 setelah Partai Nasional Indonesia (PNI).
Hasrat besar itulah yang membuat PMII lahir, padahal pada waktu itu negara sedang kacau, penyebabnya adalah karena adanya gerakan separatisme yang bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan Sukarno dan mengubah ideologi Pancasila menjadi ideologi Islam dalam konsep khilafah.
Gerakan ini diprakarsai oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (Pendiri Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia DI/TII), Kahar Muzakkar dan diikuti oleh organisasi-organisasi Islam lainnya, diantaranya Masyumi yang tergabung dalam pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang tujuannya untuk membentuk Negara Islam Indonesia (NII).
Hasil daripada pemberontakan itu, Tahun 1960 Masyumi dibubarkan oleh pemerintah Orde Lama (Orla) disusul kemudian pembubaran DI/TII tahun 1962 karena terlibat dalam pemberontakan PRRI.
Di tahun yang tidak terlalu jauh jangkanya, PMII pun lahir pada tanggal 17 April 1960 yang diinisiasi oleh tiga belas tokoh pendiri, kemudian dideklarasikan di Surabaya. Organisasi yang baru lahir ini merupakan badan otonom NU.
Di masa-masa menjadi Banom partai NU, PMII mengalami situasi yang pasang surut, keterikatannya dengan partai membuat PMII kebingungan mencari arah juang, Karena pada masa itu PMII terlibat dalam kegiatan politik praktis yang berakibat fatal dalam internal PMII itu sendiri.
Akhirnya Terbukti bahwa PMII mengalami kemuduran, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Basis-basis PMII terutama di perguruan tinggi mulai menipis, bahkan pada awal 1970 PMII benar-benar sudah terlempar dari perguruan tinggi umum. Akibat yang lebih parah daripada organisasi ini mengalami kemandekan. Ini terjadi karena dalam tubuh pergerakan mengalami homoginitas pemikiran akibat dari monotonnya anggota PMII.
Sejak saat itu PMII mulai jarang melakukan aktivitas pengkaderan, bahkan di beberapa cabang PMII mulai mengalami penurunan, seakan-akan PMII yang dependen pada partai NU waktu itu, sudah tidak mampu berbuat apa-apa.
Jika di suatu daerah NU aktif, maka aktif pula kegiatan PMII. Begitupun sebaliknya jika NU di daerah tertentu sedang mengalami dekadensi, maka PMII sebagai organisasi mahasiswa yang seharusnya bergerak secara dinamis, juga mengalami kemerosotan kegiatan.
Lebih fatal lagi akbiat politik rederessing yang dikenal dengan restrukturisasi politik dan lembaga-lembaga politik. NU sebagai partai politik, waktu itu benar-benar terpukul, Dan dampak selanjutnya PMII mengalami kedaan yang serba sulit.
Dosa-dosa masa lalu itu belum terpecahkan, kini PMII dihadapkan pada masa Orde baru, yang pada waktu itu umurnya masih belum genap 17 tahun, atau belum mencapai usia remaja, tetapi kemudian harus berhadapan dengan berbagai problematika bangsa yang sangat besar.
Usia yang relatif muda, kondisi PMII pada masa itu masih dikatakan labil apabila diminta untuk mengambil sikap, karena bagaimanapun anak-anak yang masih berusia 12 tahun, perlu mendapatkan pendidikan yang tepat agar tidak salah melangkah dikemudian hari.
Pemerintah Orba di tahun 1971, membuat suatu kebijakan yaitu Asas tunggal Pancasila, keputusan ini dimaksudkan kepada setiap organisasi yang tidak berasaskan Pancasila, apapun itu bentuknya, wajib dibubarkan. Di momen seperti ini lah PMII dibingungkan oleh keadaan.
Akhirnya dengan keberanian yang ia miliki, PMII berkeinginan untuk menjadi organisasi independen yang berasaskan Pancasila, kendati NU belum melakukan mu’tamar dan barencana membahas hal itu. PMII terlalu terburu buru dalam mengambil keputusan dan lebih awal mengambil sikap lantaran ketakutannya apabila dibubarkan oleh Orba.
Karena jika PMII masih independen dan ternyata NU dibubarkan oleh rezim Orba lantaran tidak menggunakan Asas Tunggal Pancasila, maka PMII akan memiliki nasib yang sama, yaitu sama-sama dibubarkan.
Tahun 1972, di periode kepemimpinan pak Zamroni yang ke-dua, PMII memutuskan untuk independen dan keluar dari barisan NU. Yang saya sebut di sinilah waktu PMII mulai merantau. Sangat memukau sekali keputusannya pada waktu itu, diumur yang masih “labil” sudah membuat keputusan berat yang tentu akan berakibat pada masa depan PMII.
Banyak orang menyebutkan bahwa keluarnya PMII dari barisan NU disebabkan oleh permasalahan internal yang kemudian macabik-cabik hati para generasi muda NU, salah satunya PMII oleh karena itu keputusan yang dibuat pada waktu deklarasi Munarjarti dalam waktu yang sangat mendesak dan keterdesakan keinginan, membuat organisasi besar ini memilih untuk independen sebagai organisasi kemahasiswaan. Tapi bagi saya ini adalah merupakan ungkapan yang ngawur.
Saya tegaskan sekali lagi bahwa lepasnya PMII dari NU disebabkan oleh ulah Orde Baru. Upaya menyelamatkan Pancasila dari pemahaman perspektif organisasi, dan ketakutan Orba terhadap pemahaman Komunisme, sehingga membuat suatu kebijakan subversif yaitu setiap organisasi atau lembaga apapun yang beroperasi di negara ini, harus menggunakan Asas tunggal Pancasila, jika tidak maka organisasi tersebut akan dibubarkan.
PMII, NU, dan organisasi lainnya menjadi korban atas tindakan subversif tersebut. Dalam tubuh NU sendiri belum ada pembahasan mengenai Asas tunggal ini, tetapi PMII sudah lebih dulu peka terhadap situasi saat itu, dan berkeinginan untuk melaksanakan perintah Soeharto dengan alasan takut dibubarkan, maka secara cepat PMII memutuskan untuk independen dan menggunakan Asas tunggal Pancasila.
Keputusan ini dibuat tentunya ada mudharat dan manfaatnya, manfaat dari inisiasi ini adalah, PMII lebih mandiri menyikapi segala hal, bertambahnya ajaran pemikiran, lebih agresif melakukan suatu gerakan yang revolusioner. Mudharat nya pun juga ada, yaitu tidak adanya pantauan dari NU membuat PMII semakin liberal secara pemahaman, banyak yang tidak mengamalkan ilmunya, sedikit mendekati pemahaman yang atheistis.
Oleh karena itu para pimpinan NU menyebutnya bahwa PMII semakin nakal dan tidak dapat dikontrol oleh siapapun termasuk NU. Pra independensi ini ajaran PMII satu faham dengan NU yaitu Ahlussunah wal jama’ah (Aswaja) yang didalamnya mempelajari aqidah, tasawuf, dan fiqh madzahibul arba’ah. Akan tetapi pasca independensi, bertambah satu ajaran lagi yaitu Madzhab Frankfurt, yang mempelajari tentang filsafat dan pemikiran kiri atau pemikiran revolusioner.
Di masa inilah PMII mendapat tantangan berat, Antara harus mempertahankan ideologi lamanya, atau mengkombinasikan keduanya. Keputusan finalnya, dua pemahaman ini digabungkan, akan tetapi PMII mendapat kecaman di mana-mana, karena terlalu bebas berfikir.
Selama di perantauan PMII untuk ingat kepada orangtuanya pun enggan apalagi niat untuk mudik, saya melihatnya PMII seperti organisasi kacang lupa kulitnya, dilahirkan bukannya ta’dzim tapi malah membangkang, setidaknya ingat walaupun sedikit, minimal kirim surat rindu, atau apapun itu bentuknya, supaya tidak dikhawatirkan semua orang.
Tahun 1991 di kongres ke X, PMII mulai sadar bahwa dirinya telah melakukan kesalahan besar yang diputuskan pada masa itu, di kongres Tawangmangu keputusan itu dibuat, barulah menemukan keputusan untuk Interdependensi, maksudnya adalah adanya hubungan timbal balik antara NU dan PMII yang dikemas dalam bahasa eouphisisme, yaitu secara struktural tidak terikat akan tetapi terikat dalam konteks kultural.
Artinya upaya restorasi antara NU dan PMII belum bisa terjamah secara sempurna, selain berat, juga PMII belum siap kembali sepenuhnya pada NU. Di sinilah saya menyebutnya bahwa PMII mulai bisa menerima kehadiran orang tuanya, walaupun “masih di tanah rantau”.
Pada tahun 2015 di mu’tamar NU ke 33, PMII dipanggil untuk pulang ke rumah, bentuk daripada panggilan ini karena NU sebagai organisasi yang lebih tua, memilih untuk mengalah dan lebih bijaksana dalam mengatasi anaknya yang bandel dan tidak dapat diatur. Hasilnya PMII telah resmi dijadikan sebagai badan otonom NU dari hasil keputusan mu’tamar di Jombang.
Tetapi mirisnya adalah pada Kongres PMII di palu tahun 2017, belum memberikan keputusan apakah ia ingin menjadi Banom NU atau tidak, banyak sikap atau pendapat yang tidak mendukung PMII untuk kembali kebawah naungannya, berbagai pernyataan yang dilontarkan oleh para kader hingga senior, membuat PMII kesulitan dalam memutuskan terkait hal ini.
Bagaimana sikap PMII di kongres yang akan datang? Pertanyaan saya, sampai kapan dirimu betah berada di tanah rantau? Tidak adakah keinginan untuk pulang? Atau Jangan-jangan lupa jalan pulang?
Tentang Penulis: Unadi Neda Abiel Haq, Kader PMII UTM Bangkalan.