jfid – Dr. Dina Y. Sulaeman mengatakan hal ini sangat penting karena media mainstream dan pemimpin-pemimpin negara besar, termasuk presiden-presiden dari negara besar, sering salah dalam berpikir, salah dalam menentukan mana yang menjadi penyebab dan mana yang menjadi dampak.
Kesalahan dalam berpikir ini disebut Fallacy, dan ada banyak jenis Fallacy. Namun, yang sering dilakukan oleh banyak orang, terutama yang sering muncul di televisi, seperti presiden-presiden negara besar, adalah Fallacy non causa pro causa, yaitu tidak mampu membedakan antara sebab dan akibat.
Analisis atau alasan dalam serangan 7 Oktober yang dimaksud oleh Antonio Guterres adalah agar kita tidak hanya melihat situasi ini dari 7 Oktober saja. Serangan Hamas itu tidak terjadi begitu saja, tetapi ada latar belakangnya, yaitu selama 56 tahun orang-orang Palestina melihat rumah-rumah mereka dirampas, keluarga mereka dibunuh, dan mereka mengalami penjajahan yang menyedihkan.
Jadi, ketika kita ingin menganalisis situasi ini, kita tidak bisa memulainya dari 7 Oktober saja. Kita harus memulainya dari sejarah. Namun, persoalannya adalah sejarah yang mana? Apakah kita harus mundur ribuan tahun yang lalu yang membahas klaim-klaim keagamaan?
Di bidang hubungan internasional, kita akan berbicara tentang fakta-fakta sejarah yang memiliki dokumennya. Dokumen-dokumen yang dibuat di tahun 1800-an, setelah terjadinya Sistem Westfalen di 1648.
Sistem Westfalen adalah konsep kedaulatan negara-bangsa di teritorinya sendiri tanpa campur tangan agen asing dalam urusan domestiknya. Jadi, pembentukan negara-negara itu dimulai setelah era Westfalia di sekitar tahun 1800-an.
Herzl memiliki gagasan untuk menciptakan sebuah negara khusus bagi orang Yahudi dan kemudian ia mempromosikan gagasan ini kepada banyak pemimpin negara-negara Eropa dan orang-orang kaya yang berpengaruh pada masa itu.
Setelah Herzl wafat pada tahun 1904, upaya untuk mewujudkan keinginan mendirikan sebuah negara khusus bagi orang Yahudi ini terus berlangsung, hingga akhirnya di Palestina pada tahun 1917, Menteri Luar Negeri Inggris yaitu Arthur Balfour, menulis surat resmi kepada Rothschild yang merupakan pemimpin komunitas Yahudi di Britania, yang menyatakan bahwa Inggris berjanji akan membantu mendirikan national home for the Jewish people, sebuah rumah nasional bagi bangsa Yahudi di Palestina.
Dalam suratnya, Balfour menegaskan bahwa tidak ada tindakan yang bisa mengganggu hak-hak sipil dan kebebasan beragama penduduk asli Palestina.
Ini menunjukkan bahwa Balfour sudah menyadari bahwa akan ada konflik atau masalah ketika di wilayah Palestina yang masih di bawah kekuasaan Ottoman akan dibuat sebuah negara baru.
Dan Balfour berjanji akan membantu Rothschild asalkan ia menghormati hak-hak orang yang ada di sana yang disebutnya sebagai “komunitas non-Yahudi yang sudah ada di Palestina”.
Lalu, setelah Perang Dunia 1 berakhir pada tahun 1918, didirikanlah Liga Bangsa-Bangsa, dan wilayah bekas Ottoman karena kalah perang dibagi-bagi oleh Prancis dan Inggris dengan sistem mandat pada tahun 1920.
Di mana wilayah Suriah menjadi milik Prancis, dan wilayah Irak dan Palestina menjadi milik Inggris.
Jadi dari tahun 1920 sampai 1948, Palestina berada di bawah mandat Inggris. Mereka mengklaim bahwa mereka tidak menjajah, tapi hanya membantu rakyat Palestina untuk meraih kemerdekaan. Tapi yang sebenarnya terjadi adalah, di masa mandat ini, Inggris memfasilitasi kedatangan orang-orang Yahudi dari Eropa untuk mempersiapkan pembentukan negara Israel sesuai dengan janji mereka pada tahun 1917.
Nah, sekarang kita mau tahu, apa alasan orang-orang Yahudi dari Eropa mau pindah ke Palestina?
Mereka diberi tahu tentang doktrin-doktrin agama yang bilang mereka harus pindah ke Palestina, karena itu tanah yang dijanjikan sesuai kitab suci.
Tapi orang-orang Yahudi Eropa waktu itu gak semua setuju, ada yang bilang
“kok kita harus pindah sih? kita kan lahir dan besar di Eropa, ya udah kita tinggal di sini aja, meskipun kita sering dibenci sama orang lain, ya kita usahain ngatasin itu, gak usah repot-repot pergi ke negara yang jauh banget di Palestina, itu gak bakal ngebantu kok”
Ada yang gak mau tapi ada juga yang mau setelah didorong sama doktrin-doktrin agama tentang “ini tanah kalian lho, ini tanah yang dijanjikan”
Akhirnya banyak deh orang-orang Yahudi dari Eropa yang dateng. Jadi waktu itu prosesnya terus berjalan.
Sementara orang Palestina sejak zaman mandat Inggris itu, udah sadar kalau ada rencana bikin negara baru di atas tanah mereka, jadi mereka gak diam aja, mereka lawan Inggris terus.
Pada tahun 1934 Indonesia masih dijajah, di tahun itu juga gak ada internet dan komunikasi juga susah banget ya, tapi di tahun-tahun itu ulama-ulama di Indonesia udah ngomong soal Palestina sama orang-orang Indonesia dan terus ngumpulin duit buat bantu perjuangan orang-orang Palestina di tahun 1934, padahal kita sendiri juga masih dijajah waktu itu, tapi udah ada rasa Solidaritas antara Indonesia dan Palestina.
Terus di tahun 45, abis perang dunia 2 selesai, LBB ganti nama jadi PBB yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa dan di tahun 47 ini Inggris serahin urusan Palestina ke PBB.
PBB mengeluarkan resolusi 181 yang memutuskan untuk membagi wilayah Palestina menjadi dua negara. Resolusi ini bertujuan untuk menyelesaikan konflik antara orang-orang Arab Palestina dan zionis Yahudi yang sudah berlangsung sejak abad ke-19.
Menurut resolusi ini, 45% dari wilayah Palestina yang bersejarah akan menjadi negara Arab. Di wilayah ini, mayoritas penduduknya adalah orang-orang Arab yang beragama Islam, Kristen, atau Yahudi.
Sementara itu, 55% dari wilayah Palestina akan menjadi negara Yahudi yang didirikan oleh zionis dari berbagai negara. Di wilayah ini, mayoritas penduduknya adalah orang-orang Yahudi yang berasal dari luar Palestina.
Jerusalem, yang merupakan kota suci bagi tiga agama tersebut, akan menjadi wilayah internasional yang dikelola oleh PBB. Kota ini tidak akan menjadi bagian dari negara Arab atau negara Yahudi.
Resolusi ini menimbulkan banyak masalah karena tidak adil dan tidak realistis.
Pertama, resolusi ini memberikan wilayah yang lebih luas kepada negara Yahudi, padahal jumlah penduduknya lebih sedikit daripada negara Arab.
Kedua, resolusi ini tidak memperhatikan kondisi geografis dan sosial di lapangan. Peta yang dibuat oleh PBB hanya bersifat konseptual dan tidak sesuai dengan kenyataan.
Ketiga, resolusi ini ditolak oleh orang-orang Arab Palestina dan negara-negara Arab lainnya. Mereka merasa hak mereka atas tanah leluhur mereka dirampas oleh zionis dan PBB.
Masalahnya adalah, bagaimana bisa ada negara yang wilayahnya terpisah-pisah, karena kalau kita lihat peta konseptualnya, yang berwarna biru ini adalah Israel, yang berwarna hijau adalah Palestina Arab, dan semua daerahnya tidak saling berhubungan. Wilayah Israel terbagi-bagi, dan wilayah Palestina juga terbagi-bagi.
Singkat cerita, pada tahun 47 ketika resolusi PBB keluar, militer-militer Zionis yang sudah ada di Palestina sejak lama, seperti Lehy dan Irgun yang sudah bersenjata lengkap karena sudah mempersiapkan diri sejak 1920, langsung melakukan pengusiran massal terhadap orang-orang Palestina yang ada di wilayah yang berwarna biru itu.
Pada tahun 1947 itu, ada sekitar 750.000 orang Palestina yang diusir dan puluhan ribu lainnya dibantai. Nah, di atas tanah yang ditinggalkan itu, negara Israel didirikan pada tahun 48.
Tapi kemudian pada tahun 48, negara-negara Arab di sekitar tidak terima dengan situasi ini karena terkena dampak dari 750.000 orang Palestina yang diusir itu, di mana mereka mengungsi ke wilayah sekitar, ada yang ke Suriah, ke Yordania, ke Libanon, ke Irak.
Jadi mereka tidak setuju “kok ada negara baru tiba-tiba yang malah membuat kami kena masalahnya” akhirnya mereka menyerang Israel pada tahun 48 itu. Di sisi lain, orang Palestina juga tidak menerima pembagian ini sehingga mereka ikut melawan Israel.
Tapi akibat dari perang itu malah membuat wilayah yang berwarna hijau (Arab Palestina) ini jadi semakin berkurang, karena Israel menang dalam perangnya.
Setelah membahas resolusi PBB tahun 47 yang menetapkan Jerusalem sebagai corpus separatum, yaitu wilayah yang terpisah dan netral di bawah pengawasan PBB, kita akan melihat perkembangan selanjutnya di kota suci ini.
Pada bulan Mei 48, Israel mendeklarasikan kemerdekaannya dan terjadi perang dengan negara-negara Arab. Dalam perang ini, Israel berhasil menguasai sebagian besar wilayah Palestina, termasuk Jerusalem Barat. Israel kemudian secara sepihak menyatakan bahwa Jerusalem Barat adalah ibu kota mereka pada Desember 1949. Hingga saat ini, status Jerusalem Barat adalah bagian dari Israel.
Akibatnya, ribuan orang Palestina yang tinggal di Jerusalem Barat terpaksa mengungsi atau menjadi pengungsi. Sementara itu, Jerusalem Timur yang merupakan lokasi Masjid Al-Aqsa masih berada di bawah kendali Yordania.
Namun, status Jerusalem Timur berubah menjadi “Occupied Jerusalem” atau “Jerusalem yang diduduki” setelah Israel merebutnya dalam Perang Enam Hari tahun 1967. Sejak itu, Israel mengontrol secara de-facto wilayah ini, termasuk mengatur keamanan, pergerakan, dan hukum di sana.
Israel dianggap sebagai “occupying power” atau “kekuatan pendudukan” oleh PBB, karena mereka menduduki wilayah yang seharusnya bukan milik mereka.
Orang Palestina tidak tinggal diam menghadapi pendudukan Israel. Mereka terus melakukan perlawanan, meskipun dengan cara-cara sederhana seperti melempar batu. Mereka tidak memiliki senjata yang layak, karena mereka dilarang oleh Israel untuk mendapatkannya. Sedangkan Israel memiliki militer yang kuat dan modern, karena mereka sudah diakui sebagai negara dan bisa membeli senjata secara resmi dari negara-negara lain.
Palestina selalu berjuang untuk mempertahankan tanahnya dari Israel, yang didukung oleh negara-negara Barat. Mereka hanya memiliki senjata-senjata sederhana, seperti batu, yang mereka lemparkan ke tentara Israel yang bersenjata lengkap.
Suatu hari, Amerika Serikat mengusulkan untuk membuat perjanjian damai antara Palestina dan Israel, karena melihat perlawanan Palestina semakin kuat. Mereka mengundang Yasser Arafat, pemimpin Palestina dari organisasi PLO, untuk bertemu dengan Yitzhak Rabin, pemimpin Israel, di Oslo pada tahun 1993.
Di sana, Yasser Arafat setuju untuk tidak lagi menggunakan kekerasan dan mengakui kedaulatan Israel, dengan syarat Israel juga setuju untuk membentuk pemerintahan Palestina yang disebut Otoritas Palestina dengan Yasser Arafat sebagai presiden.
Namun, perjanjian Oslo ini tidak adil bagi Palestina, karena wilayah Tepi Barat yang seharusnya menjadi milik mereka tidak sepenuhnya diserahkan oleh Israel. Hanya 18% wilayah itu yang benar-benar dikuasai oleh Palestina, sedangkan 22% lainnya masih di bawah pengawasan militer Israel. Sisanya 60% wilayah itu masih dikuasai oleh Israel secara penuh.
Otoritas Palestina juga tidak memiliki tentara sendiri, hanya polisi yang bertugas menjaga keamanan dan mencegah aksi-aksi perlawanan terhadap Israel. Namun, banyak orang Palestina, terutama anak-anak muda, yang masih terus berjuang untuk membebaskan tanah mereka dari penjajahan Israel.
Salah satu akibat dari perjanjian Oslo 1994 adalah terbentuknya Otoritas Palestina, sebuah lembaga yang seharusnya mengurus urusan sipil dan keamanan di wilayah Palestina. Namun, Otoritas Palestina ini ternyata menjadi alat bagi Israel untuk memecah belah dan menekan perlawanan rakyat Palestina.
Polisi Otoritas Palestina diharuskan untuk menangkap dan menghukum para pejuang Palestina yang berani melawan Israel. Dengan demikian, Israel tidak perlu repot-repot menghadapi perlawanan tersebut, karena sudah ada polisi Palestina yang melakukannya.
Otoritas Palestina saat ini dipimpin oleh Mahmoud Abbas, yang menjadi presiden sejak tahun 2005. Sejak itu, tidak pernah ada pemilu lagi di Palestina, sehingga Abbas terus berkuasa tanpa mandat rakyat. Abbas juga dikenal sebagai sosok yang pro-Israel dan anti-Hamas.
Dia bahkan pernah mengatakan bahwa Hamas bukan representasi Palestina. Padahal, Hamas adalah salah satu kelompok perlawanan yang paling gigih melawan Israel.
Pertanyaan yang muncul adalah, apakah Abbas benar-benar mewakili kepentingan rakyat Palestina? Bagaimana dia bisa menjadi presiden tanpa pemilu?
Jawabannya terletak pada proses penandatanganan perjanjian Oslo, yang sangat merugikan Palestina. Buku “International Politics of Middle East” menjelaskan secara detail alasan Yasser Arafat, pendahulu Abbas, mau menandatangani perjanjian tersebut.
Setelah perjanjian Oslo ditandatangani, Israel malah semakin agresif membangun permukiman-permukiman ilegal di Tepi Barat, yang seharusnya menjadi bagian dari negara Palestina.
Permukiman-permukiman ini sangat bertentangan dengan hukum internasional dan hak asasi manusia. Israel juga terus melakukan blokade dan serangan militer terhadap Gaza, yang merupakan wilayah Palestina lainnya.
Jadi, perjanjian Oslo tidak membawa damai atau kemerdekaan bagi Palestina, melainkan hanya menjebak mereka dalam situasi yang semakin buruk.
Ini adalah salah satu contoh diskriminasi yang dialami oleh warga Palestina yang tinggal di Tepi Barat. Mereka harus berbagi tanah dengan orang-orang Israel yang mendirikan pemukiman khusus di sana. Pemukiman ini dilengkapi dengan jalan tol yang hanya bisa digunakan oleh orang-orang Israel. Jika warga Palestina ingin pergi ke tempat lain di Tepi Barat, mereka harus mengambil jalan yang sempit, berliku, dan dikelilingi oleh kawat berduri. Mereka juga harus melewati pos-pos pemeriksaan militer Israel yang sering kali menimbulkan masalah dan penundaan.
Warga Palestina merasa tidak memiliki kedaulatan atas tanah mereka sendiri. Mereka tidak bisa mengatur urusan mereka sendiri tanpa campur tangan dari Israel. Israel sering kali mengubah hukum dan aturan di Tepi Barat sesuai dengan kepentingan mereka. Mereka bisa saja mengusir warga Palestina dari rumah-rumah mereka untuk membuat proyek-proyek baru seperti museum atau taman. Ini bertentangan dengan Konvensi Jenewa yang melarang negara pendudukan untuk mengubah status quo di wilayah yang diduduki.
Ini adalah gambaran singkat tentang situasi yang sulit dan tidak adil yang dihadapi oleh warga Palestina di Tepi Barat. Mereka berharap bisa hidup damai dan bebas di tanah leluhur mereka.
Konvensi Jenewa adalah sebuah perjanjian internasional yang mengatur hak asasi manusia di wilayah yang diduduki oleh negara lain. Israel, sebagai negara penduduk, telah melanggar banyak ketentuan Konvensi Jenewa dalam menangani konflik dengan Palestina. Beberapa contoh pelanggarannya adalah:
- Mengusir warga Palestina dari rumah dan tanah mereka secara paksa dan membangun permukiman Israel di atasnya.
- Memasukkan warga Israel ke wilayah pendudukan tanpa izin dari pihak Palestina.
- Merampas properti milik warga Palestina tanpa kompensasi atau perlindungan hukum.
- Mengabaikan resolusi PBB yang menuntut Israel untuk menghentikan kebijakan-kebijakan tersebut dan mengembalikan hak-hak warga Palestina.
Konvensi Jenewa ini telah mendapat dukungan dari banyak negara di dunia, termasuk dari Dewan Keamanan PBB yang merupakan badan tertinggi PBB. Namun, Israel masih bisa lolos dari sanksi karena memiliki sekutu kuat yaitu Amerika Serikat, yang memiliki hak veto di Dewan Keamanan PBB.
Hak veto ini berarti Amerika Serikat bisa menolak atau membatalkan resolusi apapun yang tidak sesuai dengan kepentingannya, termasuk yang berkaitan dengan Israel dan Palestina.
Hak veto ini merupakan warisan dari Perang Dunia II, ketika lima negara pemenang perang (Amerika Serikat, Rusia, China, Prancis, dan Inggris) membentuk PBB dan memberikan diri mereka hak istimewa untuk mengatur urusan dunia.
Hak veto ini sering dikritik sebagai tidak demokratis dan tidak adil, karena memberikan kekuasaan berlebih kepada lima negara tersebut dan mengorbankan kepentingan negara-negara lain.
Sampai sekarang, banyak orang yang tidak setuju dengan hak veto yang dimiliki oleh lima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Mereka merasa bahwa hak veto itu tidak adil dan bisa menghalangi upaya menciptakan perdamaian dunia. Misalnya, jika salah satu dari lima negara itu tidak suka dengan keputusan Majelis Umum PBB tentang masalah perdamaian, mereka bisa menolaknya dengan mudah.
Salah satu contoh penggunaan hak veto adalah pada Desember 2016, ketika PBB mengeluarkan resolusi yang meminta Israel untuk menghentikan pembangunan permukiman di wilayah Palestina. Resolusi itu sebenarnya disetujui oleh semua negara anggota PBB, kecuali Amerika Serikat.
Namun, Amerika Serikat tidak berani menggunakan hak vetonya untuk menolak resolusi itu, karena mereka tahu bahwa Israel telah melanggar hukum internasional dengan cara yang sangat jelas. Jadi, Amerika Serikat hanya memilih abstain atau tidak ikut memberikan suara.
Namun, pada tahun ini, yaitu 18 Oktober 2023, Amerika Serikat menggunakan hak vetonya untuk menolak resolusi PBB lain yang berkaitan dengan konflik Israel-Palestina.
Resolusi itu mengutuk semua bentuk kekerasan terhadap warga sipil di tengah perang antara Israel dan Hamas, dan juga mendesak agar bantuan kemanusiaan diberikan kepada warga Palestina di Gaza.
Alasan Amerika Serikat menolak resolusi itu adalah karena mereka merasa bahwa resolusi itu tidak memperhatikan hak Israel untuk membela diri setelah diserang oleh Hamas pada 7 Oktober 2023.
Padahal, resolusi itu didukung oleh 12 negara anggota PBB lainnya, dan hanya ditentang oleh Amerika Serikat. Rusia dan China juga tidak setuju dengan resolusi itu, tetapi mereka hanya abstain.
PBB sendiri memiliki 15 negara anggota di Dewan Keamanannya. Lima negara anggota tetap adalah Amerika Serikat, Rusia, China, Inggris, dan Prancis. Mereka memiliki hak veto. Sementara itu, sepuluh negara anggota tidak tetap tidak memiliki hak veto dan hanya menjadi anggota selama satu tahun.
Setelah itu, mereka digantikan oleh sepuluh negara lain. Saat ini, sepuluh negara anggota tidak tetap PBB adalah Albania, Brasil, Ekuador, Gabon, Ghana, Jepang, Malta, Mozambik, Swiss, dan Uni Emirat Arab.
Jadi, jika kita lihat peta sejarah Palestina dari tahun 1946 sampai sekarang, kita bisa melihat bahwa wilayah Palestina semakin menyusut karena direbut oleh Israel. Pada tahun 1946, Palestina masih berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Ottoman dan memiliki wilayah seluas 100%.
Namun, pada tahun 1947, PBB membagi wilayah Palestina menjadi dua bagian, yaitu Palestina dan Israel. Palestina hanya mendapatkan 45% dari wilayahnya.
Namun, pada tahun 1967, terjadi perang lagi antara Israel dan tiga negara Arab lainnya, yaitu Mesir, Yordania, dan Suriah. Perang itu berlangsung selama enam hari dan diakhiri dengan gencatan senjata yang ditengahi oleh PBB.
Dalam perang itu, Israel berhasil mengalahkan tiga negara Arab tersebut dan merebut wilayah-wilayah yang sebelumnya dimiliki oleh Palestina. Akibatnya, Palestina hanya memiliki sedikit wilayah yang tersisa di Tepi Barat dan Jalur Gaza, yaitu 8% saja!
Akibat dari pembangunan pemukiman ilegal yang dilakukan oleh Israel di wilayah Palestina, banyak lahan pertanian yang menjadi rusak dan hilang. Pembakaran dan pembabatan tanah-tanah yang subur dan bersejarah, seperti ladang-ladang gandum dan kebun-kebun zaitun yang sudah berumur ratusan tahun, telah menghancurkan sumber mata pencaharian dan warisan budaya rakyat Palestina.
Selain itu, Israel juga melakukan tindakan-tindakan brutal terhadap warga Palestina, seperti mengusir mereka dari rumah-rumah mereka, merobohkan bangunan-bangunan dengan bulldozer, dan menangkap mereka secara sewenang-wenang. Hal-hal ini telah menyebabkan penderitaan dan ketidakadilan yang sangat besar bagi rakyat Palestina yang hanya ingin hidup damai di tanah air mereka.
Sejak 7 Oktober 2023, jumlah tahanan Palestina yang ditangkap oleh Israel meningkat drastis. Menurut beberapa sumber, ada sekitar 5.000 tahanan baru yang ditambahkan ke 5.000 tahanan sebelumnya.
Namun, ada juga sumber yang mengatakan bahwa penambahan tahanan baru hanya sekitar 2.760 orang, tidak termasuk ribuan pekerja Gaza yang juga ditahan setelah 7 Oktober.
Yang menjadi masalah adalah bahwa banyak tahanan Palestina yang ditangkap tanpa alasan yang jelas dan tanpa proses pengadilan yang adil. Mereka hanya menjadi korban dari penahanan administratif yang sewenang-wenang dan tidak transparan.
Selain itu, Israel juga melakukan pelanggaran hak asasi manusia dengan menyerang tempat-tempat ibadah seperti masjid dan gereja di Tepi Barat. Ini menunjukkan betapa buruknya situasi di sana.
Gaza adalah wilayah yang mengalami penderitaan akibat blokade Israel sejak tahun 2006. Gaza dikelilingi oleh pagar kawat beri yang dipasangi berbagai sensor dan alat pengawas, sehingga Gaza bisa disebut sebagai “penjara terbuka terbesar di dunia”.
Gaza seperti orang-orang yang dipenjara, yang harus meminta izin Israel untuk keluar masuk, dan izin itu sangat sulit didapatkan, bahkan kadang-kadang tidak diberikan sama sekali.
Blokade ini terjadi karena pada tahun 2006, ada pemilu yang diadakan secara demokratis dan diawasi oleh pengamat internasional, salah satunya adalah mantan presiden Amerika ke-39, Jimmy Carter. Jimmy Carter yang sudah pensiun dari jabatan presiden, datang untuk mengawasi pemilu dan dia menyatakan bahwa pemilu ini sangat jujur, tidak ada kecurangan, sehingga hasilnya bisa diterima, yaitu Hamas menang 77%.
Ini adalah pemilu untuk parlemen, di mana Hamas menang 77% baik di Gaza maupun di Tepi Barat, padahal sebelumnya yang berkuasa adalah partai Fatah (partai terbesar dalam PLO), yang dulunya dipimpin oleh Yasser Arafat, dan sekarang oleh Mahmoud Abbas.
Hamas adalah sebuah partai politik yang juga memiliki sayap militer. Partai ini menang dalam pemilu parlemen Palestina pada tahun 2006, tetapi tidak diakui oleh Fatah, partai lain yang terlibat dalam perjanjian Oslo dengan Israel. Perjanjian Oslo mengharuskan Fatah untuk menekan perlawanan bersenjata Palestina, sementara Hamas masih mendukung perjuangan bersenjata.
Menurut Jimmy Carter, mantan presiden AS, Hamas sudah bersedia untuk mengubah sikapnya pada tahun 2006. Hamas mau mengikuti proses demokrasi dan menerima pembagian wilayah berdasarkan kesepakatan tahun 1967, yaitu Tepi Barat dan Gaza. Ini berarti posisi politik Hamas sudah sama dengan Fatah.
Namun, Hamas tetap menyatakan bahwa mereka akan terus berjuang dengan senjata selama masih dijajah oleh Israel. Israel sendiri tidak menghormati perjanjian Oslo dan Konvensi Jenewa, dan melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak rakyat Palestina.
Karena itu, Israel menyebut Hamas sebagai organisasi teroris dan tidak mau menerima kemenangan Hamas dalam pemilu. Israel kemudian memblokade Gaza secara sepihak hingga sekarang. Hamas mencoba melakukan perlawanan dengan melemparkan roket-roket buatan sendiri ke Israel, tetapi dibalas dengan serangan yang jauh lebih dahsyat oleh Israel.
Itulah sebabnya Sekjen PBB, Antonio Guterres, mengatakan bahwa serangan Hamas pada 7 Oktober itu tidak terjadi begitu saja, tetapi ada latar belakang sejarah dan politik yang membuat Hamas melakukan perlawanan yang lebih besar daripada tahun-tahun sebelumnya.
Serangan ini mungkin lebih dahsyat daripada sebelumnya, karena Hamas telah menumpuk senjata dan mendapat dukungan dari negara-negara yang peduli dengan nasib Palestina.
Seorang dokter asal Norwegia yang sudah 16 tahun bertugas di Rumah Sakit itu berkata, “Saya sudah 16 tahun bekerja di rumah sakit ini, tapi saya tidak pernah melihat ada aktivitas Hamas di sini. Kalau memang rumah sakit ini adalah markas Hamas, mana buktinya? Israel kan punya teknologi canggih, bisa memantau dari satelit dan segala macam. Harusnya ada bukti yang kuat kalau memang di rumah sakit ini ada basis militer Hamas.” Twitter: @DrMadsGilbert
Kalau bicara soal hukum internasional, kita biasanya mengutip kata demi kata. Di Konvensi Jenewa itu disebut “with the intent to destroy” yang artinya adalah “dengan niat untuk menghancurkan”
Nah, kata-kata “dengan niat” itu sebenarnya sudah terucap juga dari mulut pejabat-pejabat Israel seperti misalnya Menteri Pertahanan Israel yang bilang, “Kami akan memutus pasokan air, listrik dan makanan ke Gaza secara total” di mana tentu saja kalau tidak ada listrik, tidak ada makanan, tidak ada air, ini sama saja dengan mau menghabisi satu kelompok, satu bangsa alias semua orang Gaza.
Karena dengan memutus pasokan itu, tentu saja Israel tidak bisa membedakan siapa yang mati itu apakah Hamas atau orang biasa. Inilah mengapa aksi Israel ini dinilai banyak orang sampai ahli-ahli hukum di luar negeri sana, sudah termasuk dalam definisi genosida.
Soal Hamas, Hamas diberitakan oleh media-media yang beredar bahwa telah melakukan kekejaman yang luar biasa, memerkosa bahkan membantai 1400 orang dan lain-lain, kemudian juga Hamas sejak awal berdirinya itu memang benci Yahudi. Intinya dunia dibuat percaya bahwa seolah-olah Hamas dan Israel ini adalah dua pihak yang seimbang
Banyak hoaks yang beredar di media. Salah satu hoaks yang paling mengejutkan adalah tentang “Hamas membunuh warga sipil Yahudi”. Padahal, kenyataannya adalah tentara Israel yang menembak sembarangan dan membunuh orang-orang di sana, termasuk orang Israel sendiri. Saksi mata yang diwawancara oleh media Israel sendiri mengakuinya.
Hoaks lain yang sangat mengerikan adalah tentang “40 bayi yang dipenggal oleh Hamas”. Bahkan Joe Biden sempat menyebutnya. Tapi ternyata, berita itu tidak punya sumber yang jelas dan tidak bisa diverifikasi. Reporter i24 yang pertama kali menyebarkan tuduhan itu mengaku hanya mendengarnya dari tentara Israel, tanpa bukti.
Militer Israel sendiri tidak bisa mengonfirmasi klaim itu. Beberapa jurnalis internasional yang ada di lokasi juga membantah klaim itu. Mereka memposting di X bahwa berita itu adalah bohong. Ini menunjukkan betapa bahayanya misinformasi yang tersebar di media sosial.
Aren Ziv, seorang jurnalis foto Israel, juga mengatakan bahwa dia tidak melihat bukti pemenggalan kepala bayi. Baik tentara maupun juru bicara Israel juga tidak menyebutkan ada insiden semacam itu. “Selama tur, jurnalis diperbolehkan berbicara dengan ratusan tentara di lokasi, tanpa pengawasan tim juru bicara militer. Reporter i24 mengatakan dia mendengarnya, dari tentara. Tentara yang saya ajak bicara di Kfar Aza kemarin tidak menyebutkan bayi yang dipenggal. Juru bicara militer menyatakan, ‘Kami tidak dapat memastikannya pada saat ini.
Aren Ziv ini pun menambahkan bahwa Israel menggunakan klaim palsu untuk mengintensifkan pengeboman di Gaza dan membenarkan kejahatan perangnya.
Karena misinformasi ini, reporter CNN Sarah Sidner sempat menuliskan di twitternya terkait 40 bayi itu, bahwasanya dia harus lebih berhati-hati ke depannya dalam menulis pemberitaan yang belum jelas faktanya dan “saya minta maaf”.
Namun, sekali sebuah hoax tersebar, dimana hoax-hoax ini juga yang terjadi di sepanjang 12 tahun perang Suriah, berita-berita hoax ini sulit ditake down dari internet, jadi berita versi awalnya CNN yang disampaikan oleh Sara masih ada karena sudah viral disebarkan dan sulit ditakedown, yang tentu saja bisa terus dibaca oleh siapapun meskipun Sara sudah minta maaf dan kemudian juga ada klarifikasi, belum tentu viral juga kan klarifikasinya?
Lalu apakah benar Hamas itu memang ingin membunuh semua Yahudi di dunia seperti yang disampaikan oleh seorang Bapak di sebuah podcast yang mengaku sudah membaca dokumen Hamas.
Di dokumen Hamas hanyalah ada pernyataan bahwa “yang kami lawan adalah Zionisme bukan Yahudi, kami nggak ada masalah dengan Yahudi”
Ini adalah sebuah paragraf panjang dengan nada santai yang ditulis ulang dari kata kunci yang diberikan. Paragraf ini menjelaskan tentang isu pemenggalan kepala bayi oleh Hamas yang diklaim oleh Israel dan media CNN, tetapi dibantah oleh jurnalis foto Israel sendiri.
Paragraf ini juga membahas tentang dokumen Hamas yang menyatakan bahwa mereka tidak bermusuhan dengan Yahudi, tetapi dengan Zionisme. Paragraf ini bertujuan untuk memberikan informasi yang lebih akurat dan objektif tentang konflik Israel-Palestina.
Yang menjadi masalahnya, Zionisme itu mengklaim dia itu Yahudi. Mengklaim dia itu didasarkan oleh ajaran Yahudi, padahal ajaran Yahudi yang asli itu adalah ajaran yang tidak memperbolehkan kekerasan apalagi mencuri.
Lanjutan dari pernyataan Hamas “jadi yang kami lawan adalah Project Zionis yang melakukan pengusiran dan penjajahan terhadap kami”
Syekh Ahmad Yasin, yang merupakan pendiri Hamas, masih memiliki video yang bisa kita lihat sampai sekarang di internet.
Dia pernah berkata, “Saya tidak membenci Yahudi, saya tidak berperang melawan Yahudi, Yahudi yang saya lawan adalah mereka yang mengambil rumah saya, jadi jika itu adalah saudara saya sendiri yang melakukan hal itu, saya akan melawan juga”
Jadi, tuduhan bahwa Hamas membenci agama lain sebenarnya sudah bisa diklarifikasi jika kita mau membaca dokumen Hamas dengan teliti, termasuk mendengarkan pidato-pidato dari para pendirinya, tapi sayangnya informasi ini tidak banyak diketahui orang.
Selain itu, yang perlu kita ingat adalah politik itu selalu berubah-ubah, dan sikap Hamas di tahun 2006 juga mau berubah sesuai dengan situasi, dimana mereka merasa sudah tidak mungkin lagi menuntut seluruh Palestina kembali, sehingga Hamas berkata, “Baiklah, kami terima jika memang kesepakatannya adalah pembagian wilayah di tahun ’67 dimana wilayah Palestina hanya Gaza dan Tepi Barat saja, yang penting kami bisa berdaulat dan merdeka dan tidak lagi diblokade atau diduduki di wilayah Tepi Barat”
Nah, masalahnya sekarang adalah kenapa kok belum ada kesepakatan juga? Jadi sebenarnya siapa yang tidak mau kompromi?
Karena pihak Palestina baik Hamas maupun Fattah sudah menyatakan bersedia kan? “Yang penting kami merdeka, kami tidak diserang lagi”
Nah, yang jadi masalah adalah Israel yang masih terus memblokade Gaza dan masih terus menyerang dan mengusir warga Palestina di Tepi Barat.
Jadi jika memang PBB dan semua negara yang mendukung resolusi itu benar-benar mau menerapkan resolusi “Two State Solution”, berarti kan harusnya Tepi Barat dibebaskan dari tentara Israel, karena itu kan wilayahnya Palestina dan secara hukum internasional, pemukiman-pemukiman Israel itu sudah melanggar hukum internasional, karena kan memang