Penulis: Rusdianto Samawa, Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI)
jf.id – Pemerintah segera menata ulang regulasi dan ratifikasi ILO 188 agar ada pengertian yang mendasar pemisahan diksi buruh migran, pelaut, ABK dan Nelayan. Sehingga skema regulasi tidak tumpang tindih antara satu dengan lainnya. Hal ini untuk permudah menyelsaikan seluruh persoalan hubungan antara pelaut dengan industri, nelayan dengan industri dan ABK sebagai pekerja kapal. Karena kerapkali mereka mendapat ketidakadilan dan perbudakan yang masih terjadi.
Maka, kemarin, di Hotel Merisse Jalan Wahid Hasyim, Kebon Sirih Jakarta Pusat. Ada FGD IMO (International Maritime Organisation). Saya ikut mendengar. Peserta dipastikan tak ada dari lembaga atau personalitas aktivis lingkungan. Ya karena tak ada hubungan.
Namun, saat ngopi santai dilantai bawah Hotel Morisse, berkembang diskusi diantara pengusaha kapal ikan, organisasi pelaut, organisasi buruh migran, bahwa: “selama ini di Kementerian Kelautan dan Perikanan berkembang mazhab baru: “doktrin lingkungan” sebagai arus utama sehingga berdampak pada semua hal ihwal usaha disektor Maritim, Kelautan dan Perikanan dilarang, seperti batasanngross ton kapal, kewajiban pelaut, ABK, pekerja industri perikanan.
Bahkan alat tangkap nelayan dilarang yang berdampak pada rusaknya hukum penawaran ekonomi dan distribusi hasil tangkapan nelayan. Apalagi hubungan dengan industri, berupa gaji, tunjangan, reward dan karir, sudah jelas berpengaruh. Itu yang saya maksud dalam berbagai tulisan saya, bahwa: kelautan dan perikanan zaman Susi Pudjiastuti hancur lebur.
Disektor Kelautan dan Perikanan: malah kampanye lingkungan dengan alasan konservasi dan lainnya. Memang kita tidak sedang pertentangan antara lingkungan dan Kelautan-perikanan. Tetapi, kebijakan itu janganlah bersifat melarang atas doktrin lingkungan. Karena menyebabkan seluruh rantai ekonomi Industri Kelautan-Perikanan hancur. Bahkan, para pekerjanya menjadi pengangguran.
Tentu diskusi FGD IMO kemarin itu membuka tabir baru, bahwa pemerintah selama ini mengabaikan hak-hak para pelaut, ABK, Nelayan dan Pekerja Industri perikanan.
Saya banyak menerima pesan dari berbagai kalangan seperti pelaut, ABK, pekerja industri perikanan dan Nelayan itu sendiri, mereka mengadu atas bermasalah yang sering menimpa mereka, baik di luar negeri maupun dalam negeri. Masalah itu yang muncul dan sulit penyelesaiannya dari pekerja-pekerja diluar negeri.
Pengaduan itu datang kepada saya, karena keseringan pelaut, ABK, nelayan dan Pekerja industri melapor kepada kementerian tertentu seperti KKP, Kemenlu, Menakertrans, Menkomaritim, dan Perhubungan, sangat jarang direspon. Hanya sekedarnya saja. Sementara mereka membutuhkan perlindungan hukum. Walaupun secara prosedur mereka harus melaporkan setiap masalah kepada Kementerian Luar Negeri RI setelah menerima laporan dari KBRI/KBJRI di beberapa negara.
Pemerintah harus benar-benar menyelsaikan setiap masalah yang dihadapi para pelaut, ABK, Pekerja dan Nelayan itu sendiri dalam menghadapi masalah. Karena kebanyakan perusahaan tempat kerjanya tidak terlacak dan bahkan tidak dapat diselesaikan secara baik.
Atas masalah seperti itu, berdampak pada terbatasnya bantuan hukum karena ketidakjelasan status kerja maupun identitas perusahaan yang mempekerjakannya. Maka, pemerintah harus segera menerbitkan regulasi nasional sebagai implementasi konvensi ILO tentang MLC (Maritime Labour Convention) yang telah diratifikasi dengan UU No. 15/2016. Diharapkan regulasi ini dapat harmoniskan hubungan antara pemerintah dengan pelaut, ABK, nelayan dan pekerja industri bisa mendapat keadilan hukum.
Harapannya, tentu semua kasus harus bisa selesai melalui diplomasi pemerintah. Paling tepat regulasi baru ini berupa Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres) sehingga dapat diterapkan secara nasional, sekaligus mencegah munculnya ego sektoral di antara kementerian terkait.
Karena problem terbesar yakni banyak perusahaan penangkapan ikan dan perusahaan pelayaran sering mengabaikan ketentuan regulasi yang telah ditetapkan, baik dalam pemenuhan dan perawatan alat-alat keselamatan serta kelayakan kapal berlayar.
Pemerintah harus segera membuat aturan turunan dari Undang – Undang No. 15 tahun 2016 sesuai ratifikasi MLC 2006 yang disahkan melalui undang-undang. Selain itu harus mengatur standarisasi perlindungan dan kesejahteraan pelaut Indonesia yang bekerja di kapal-kapal berbendera Indonesia, baik yang beroperasi di perairan domestik Indonesia maupun foreign going.
Pemerintah juga jangan abai terhadap pengawasan, dalam hal ini Kementerian Perhubungan (Kemhub) lemah, sehingga operator kapal bertindak semaunya, tidak mematuhi aturan keamanan dan keselamatan pelayaran. Pengawasan dan penegakan hukum harus diperkuat. Perusahaan dan industri harus kedepan pelayaran dan penangkapan ikan yang tidak melanggar sehingga tetap menjaga ketegasan sesuai aturan yang berlaku.[]