Pemerintah Kembali Impor Garam

Rusdianto Samawa By Rusdianto Samawa
7 Min Read
Ilustrasi impor Garam (foto: geotimes.co.id)
Ilustrasi impor Garam (foto: geotimes.co.id)
- Advertisement -

jf.id – Pengelolaan garam di dalam negeri masih membutuhkan perbaikan untuk memberi keuntungan bagi petani tambak garam yang selama ini sering kali dirugikan lantaran harganya yang anjlok. Pemerintah seharusnya terus berupaya meningkatkan kualitas produk garam petani dan kesampingkan opsi impor yang saat ini masih dilakukan.

Pemerintah jangan bersikap acuh tak acuh, jangan bergembira diatas penderitaan petani garam. Jangan bersedih ketika petani garam miskin. Jangan juga pemerintah membiarkan petani garam tidak naik kelas. Pemerintah harus kerja semaksimal dalam pengambilan kebijakan agar petani garam mencapai kesejahteraanya.

Pemerintah sebenarnya ingin mengurangi impor garam, namun cara dan indikatornya masih bertolak belakang dengan keinginan para petani garam. Mestinya yang harus dilakukan yakni memperkuat industri garam nasional serta membuka akses pemberdayaan petani garam agar produksi garam meningkat.

Harga rata – rata garam di tingkat petani akibat kebijakan impor garam nasional sebesar 2,7 juta ton di tahun 2019 ini yaitu dibawah seribu rupiah per kilo. Karena impor garam saat ini sudah berjalan. “Stok garam kita tahun lalu sebesar 1,5 juta ton dan sisa itu secara ekonomis tidak bisa memenuhi ekspektasi pemerintah sehingga dilakukan impor.

Ad image

Pada tahun 2020, pemerintah memutuskan menambah jumlah serapan garam lokal oleh pelaku industri menjadi 1,5 juta ton. Adapun pada Agustus tahun 2019 lalu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menandatangani komitmen penyerapan garam rakyat baru untuk periode 2020 sebesar 1,1 juta ton.

Pemerintah beralasan: untuk menambah jumlah serapan garam bertujuan melindungi petambak garam di dalam negeri dan upaya naikkan harga garam. Kok bisa pemerintah menerapkan metode untuk menambah serapan garam lokal harus menaikkan jumlah impor?. Aneh. Kemudian, untuk menaikkan harga garam lokal, pemerintah harus impor juga. Cara berfikir dan kebijakan pemerintah ini, disclaimers. Tak sesuai keinginan petani garam. Pemerintah terjebak pada logikan mafia impor garam. Sementara petani garam tercekik.

Apalagi, dalam rapat terbatas (ratas) di Kementerian Koordinator Perekonomian bahwa jumlah serapan garam lokal kita naikkan dari 1,1 juta ton jadi 1,5 juta ton. Mestinya, upaya menaikkan harga garam dan serapan garam lokal. Mestinya menguranggi impor, bukan menambah jumlah kuota impor.

Aneh bin ajaibnya lagi, ketika garam impor dijadikan label garam lokal sebagai klaim yang bersumber dari hasil petani garam. Kok bisa dibalik logikanya: dari garam impor jadi garam lokal. Sehingga yang diharapkan, garam impor (jadi garam rakyat) ini akan dibeli oleh para pelaku industri di kisaran harga Rp 800 hingga Rp 900 per kilogram (kg).

Lebih fatal lagi, ketika pemerintah mengakui hanya ada 164 orang petani garam dan 11 pelaku industri yang terlibat dalam kesepakatan serapan garam. Tentu jumlah itu sangat sedikit, dari ratusan ribu petani garam diseluruh Indonesia.

Padahal kalau pemerintah objektif dan memiliki semangat nasionalisasi garam nasional, tentu harus melihat dari sisi harga garam saja di tahun 2020 yang sangat terpuruk itu. Mestinya dari problem harga garam yang terpuruk ini, pemerintah bisa ambil langkah pemberdayaan, perbaikan regulasi dan pembangunan infrastruktur petani. Coba saja kita amati harga garam di sentra Jawa Timur dipatok sebesar Rp 400 per kilogram (kg). Harga garam ini setara dengan semangat nasionalisme kita sebagai bangsa berdaulat. Jangan impor terus. Perkuat pelaku industri menyerap garam lokal. Jangan suka impor.

Sesak sekali dada petani garam, karena pemerintah memutuskan kembali impor garam industri tahun 2020 ini sebanyak 3,7 juta ton. Sementara harapan belum bisa direalisasikan untuk membuka lahan baru lebih dari 13 ribu hektare (ha) untuk memproduksi garam bagi industri yang kebutuhannya terus meningkat hingga 3,7 juta ton pertahun. Terus apa bentuk pembelaan pemerintah terhadap petani garam?.

Lambatnya produksi tambak garam lokal membuat harga melonjak tinggi. Itu juga disebabkan oleh pemerintah yang tidak memiliki komitmen untuk memandirikan petani garam. Walaupun terpenuhinya kebutuhan garam konsumsi 1,7 juta ton diproduksi dalam negeri (swasembada). Tetapi, bukanlah suaty kegembiraan, melainkan harus kerja – kerja untuk terus memandirikan petani garam nasional.

Ada beberapa hal yang perlu dijelaskan, adalah pertama: mengapa harus impor?. Pertanyaan ini tergantung sikap pejabat negara dan kadar nasionalisme apabila memenuhi kebutuhan rakyat dengan impor, maka kebanggaan kita terhadap garam nasional dipastikan tidak ada.

Pola importir garam ini merupakan sistem yang sudah lama di geluti oleh para kartel asing yang bekerjasama dengan pejabat yang merupakan penyalurnya. Alasan paling mendasar untuk impor adalah cuaca ekstrem (pen: Anomali Baru) yang menyebabkan kelangkaan garam. Padahal tidak seperti itu yang terjadi. Bukan karena cuaca. Namun, keterbatasan regulasi kontrol pemerintah yang tegas terhadap para kartel pebisnis garam yang selama ini menumpuk kekayaannya hasil rampok dari impor garam.

Dengan mudahnya, menyalahkan alam karena matahari kurang sahabat dan hujan. Hal ini bukanlah suatu alasan yang tepat bagi pemerintah menyalahkan alam. Harusnya pemerintah memperbaiki pola distribusi garam baik ditingkat petani maupun pasar. Pola distribusi ini yang sering membuat krisis garam karena pemerintah sendiri sering saling percayai kartel garam untuk impor.

Kedua, infrastruktur pengelolaan garam nasional belum memadai. Dari sejak 1942 hingga 2020 kondisi petani garam sangat susah untuk memodernisasi alat produksi garam maupun coldstorage garam (Gudang Garam).

Kalau pemerintah komitmen mengembangkan pengelolaan dan memusatkan kerja pelayanan untuk bantuan pembangunan infrastruktur garam, maka harus ada alokasi infrastruktur garam nasional yang memadai agar pemerintah tidak secara terus menerus mengimpor kembali garam.

Tentu, pemerintah berkewajiban memberi kesejahteraan kepada petani garam dengan cara tanpa impor garam. Apakah tanpa impor bisa? sangat bisa: tergantung Presiden.[]

Penulis: Rusdianto Samawa, Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI)

- Advertisement -
Share This Article