Kemudian, ditekankan bahwa kemitraan seperti itu adalah dosa dan karenanya tidak diberkati. Keputusan ini menimbulkan kekecewaan dan protes dari banyak orang, termasuk sejumlah uskup dan pastor di negara-negara seperti Belgia, Jerman, dan Austria, yang telah mulai memberkati pasangan sesama jenis.
Paus Fransiskus sendiri mengakui bahwa ada “perselisihan” dan “perbedaan pendapat” di dalam Gereja mengenai isu-isu seperti ini.
Dia mengatakan bahwa dia menghormati semua pandangan, tetapi juga mengingatkan bahwa Gereja harus tetap setia pada ajaran-ajarannya. Dia juga mengatakan bahwa dia tidak ingin mengubah Gereja menjadi “museum”, tetapi juga tidak ingin mengubahnya menjadi “organisasi non-pemerintah”.
Paus Fransiskus menghadapi dilema yang sulit: bagaimana menjaga keseimbangan antara tradisi dan perubahan, antara doktrin dan kepastoran, antara otoritas dan dialog, antara pemberkatan dan penolakan.
Apakah dia akan mampu memimpin Gereja Katolik ke arah yang lebih inklusif, damai, dan harmonis, atau justru menimbulkan perpecahan, konflik, dan krisis? Hanya waktu yang akan menjawab.
