jfID – Park Chung Hee dikenang orang Korea Selatan sebagai presiden terbaik sepanjang sejarah mereka. Dialah Bapak Pembangunan Korea Selatan. Dan namanya bukan hanya terkenal di semenanjung Korea, tapi juga di seluruh dunia. Salah satu gagasan yang membuatnya dihormati di lingkungan negara-negara berkembang adalah Saemaul Undong, sebuah gerakan pembangunan desa yang mengedepankan prinsip gotong royong dan swadaya. Gerakan ini berusaha untuk mengatasi kemiskinan di pedesaan serta memperkecil jurang ketimpangan antara desa dengan kota. Kenapa Korea berhasil dengan industrialisasinya, salah satu jawabannya adalah karena mereka pertama-tama berhasil membangun pedesaan.
Sebagai pemimpin besar, yang juga memiliki musuh-musuh besar, Park berkali-kali menjadi target pembunuhan. Dua kali ia lolos dari percobaan pembunuhan, di mana salah satunya telah menewaskan isterinya. Ironisnya, sesudah dua kali lolos, Park kemudian justru tewas di tangan kepala intelijennya sendiri, Kim Jae-Gyu, yang merupakan orang kepercayaannya.
Pada 26 Oktober 1979, Park ditembak mati dalam sebuah acara jamuan makan malam di istananya sendiri. Dalam pembunuhan itu, seluruh pengawalnya, termasuk kepala pengawal kepresidenan, tewas. Sungguh tragis. Kepala badan intelijen negara yang seharusnya melindungi Park, justru menjadi algojonya.
Apa hubungannya dengan Pak Harto?
Kisah mengenai Park ini dikutip oleh Laksamana TNI (Purn) Soedomo ketika ia bertemu dengan Presiden Soeharto medio akhir 1980-an. Saya mendengar cerita ini dari salah satu orang dekat Pak Domo.
Ketika itu Pak Harto baru saja mencopot jabatan salah satu orang kepercayaannya, seorang panglima perang yang juga dikenal menguasai dunia intelijen. Orang kepercayaan ini diketahui tengah mengkonsolidasikan kekuatan untuk menggolkan ambisi politiknya. Melalui orang-orangnya, bekas orang kepercayaan ini membuat berbagai move politik dan kian terbuka menantang kekuasaan presiden.
Mendengar masukan Soedomo, Pak Harto sepertinya memperhatikan dengan serius risiko itu. Apalagi, sebagai orang Jawa, ia memang tak pernah mau terlibat konflik terbuka dengan lawan-lawan politiknya, atau bekas-bekas bawahan yang kemudian berani menunjukkan ambisi politiknya. Seorang bekas asisten pribadinya, misalnya, seorang jenderal yang dikenal sangat intelek, yang telah berani membuat intrik tingkat tinggi untuk menyingkirkan kawan-kawannya demi memuluskan karir politiknya, secara pelan-pelan berhasil disingkirkan Sang Presiden dari pusat kekuasaan. Kini, ia menghadapi kasus serupa. Tapi dengan tokoh yang kekuasaannya jauh lebih besar.
Kasus seperti Park Chung Hee mungkin tak akan pernah terjadi di Indonesia. Namun, kita tahu, Pak Harto akhirnya masih mempertahankan bekas orang kepercayaannya itu di jabatan yang lain, hingga lima tahun berikutnya. Tentu saja itu pilihan yang sangat berisiko. Sebab, sebagaimana terbukti belakangan, bekas orang kepercayaan itu telah menjadi beking dari musuh-musuh politik Soeharto yang bermunculan sepanjang awal dekade 1990-an.