jfID – Kemandirian ekonomi sepertinya tak melulu fenomena masa kini. Di masa silam, di kalangan petani di pedesaan, acap remaja yang nasibnya kurang beruntung atau berasal dari keluarga yang tak mampu, entah yang yatim, tanpa bapak atau ibu, maupun yang yatim-piatu, tanpa bapak dan ibu, ikut pada sebuah keluarga yang dikenal mampu. Dahulu sering seorang petani juga memelihara hewan peliharaan atau ingon-ingon, yang merupakan sebentuk investasi keluarga tanpa modal yang besar, karena pakan atau makanan ingon-ingon itu banyak yang merupakan sisa panen padi untuk ingon-ingon sapi (damen) atau kedelai (titen) untuk ingon-ingon kambing.
Seorang remaja yang ikut pada sebuah keluarga yang dipandang mampu itu bertugas untuk memelihara ingon-ingon sang tuan rumah dengan adat kebiasaan akan memperoleh satu ekor anak sapi (pedhet) dalam jangka waktu dua tahun. Pekerjaan semacam ini lazim disebut sebagai pangon yang memiliki kata kerja angon atau menggembalakan. Adakalanya seorang remaja akan beralih dari satu tuan ke tuan lainnya untuk kembali memperoleh satu ekor pedhet, hingga ketika ia dewasa sapi-sapi yang ia terima sebagai upah akan menjadi modalnya untuk pergi meninggalkan desa untuk bekerja demi kehidupan yang lebih layak atau untuk menikah.
Tak sebagaimana nyantrik atau ngabdi dengan imbalan ilmu dan keahlian, menjadi seorang pangon dengan imbalan pedhet dididik untuk bertanggungjawab sepenuhnya pada sesuatu yang kelak akan menjadi miliknya. Dari sisi kemandirian ekonomi tentu dengan menjadi pangon terlihat lebih menjanjikan daripada menjadi cantrik atau abdi yang, demi ilmu dan keahlian yang tak terukur sifatnya, mesti lillahi ta’ala. Tentu dalam hal ini, kita dapat mempertanyakan teori nilai lebih Karl Marx lebih jauh.
Bagaimanakah mengukur jerih payah dan keringat seorang pekerja dengan imbalan ilmu dan barakah ketika hal itu sudah lebih dahulu dikategorikan Marx sebagai bagian dari wilayah yang tak determinan: suprastruktur? Ketika ternyata pada nantinya ilmu yang didapat seorang cantrik atau abdi mampu mengantarkannya menjadi seseorang, katakanlah modin atau kyai yang otomatis akan meningkatkan status sosial dan ekonominya, masihkah kerja dengan imbalan sesuatu yang dapat diukur seperti pangon menjadi faktor determinan? Adakah eksploitasi pada cara kerja seorang cantrik atau abdi dengan imbalan ilmu dan barakah? Saya kira Karl Marx melakukan lompatan logika di sini dengan mendamik budaya nyantrik ataupun ngabdi yang tak terpahami di Eropa dan Amerika sebagai sebentuk feodalisme. Dengan demikian, saya kira, akan sangat lucu ketika menerapkan parameter feodalisme Eropa dan Amerika pada feodalisme nusantara yang sudah dari sananya tak pernah meletakkan materi dan spirit secara oposisi biner. Bukankah kerja-kerja advokasi yang dikenal selama ini cenderung lebih pada kerja pengabdian daripada komersial yang sepadan dengan nyantrik atau ngabdi dan tak sebanding dengan pangon? Padahal, kearifan lokal nusantara sudah mewariskan budaya pangon (yang sudah pasti ikut pula membela martabat tuannya ketika tengah terancam) selain nyantrik ataupun ngabdi?
Lain pangon lain pamong, yang juga merupakan warisan kearifan lokal nusantara yang tak dapat diukur dengan perspektif marxisme maupun teori-teori kritis Barat lainnya. Pamong berakar kata among yang sepadan dengan istilah mengasuh. Letak dan nilai pamong lebih unik lagi seandainya dikaitkan dengan Paguyuban Sumarah, sebuah komunitas spiritual warisan Sang Warana, R. Ng. Soekinohartono. Pamong tak sekedar among atau ngemong para peserta pasujudan atau meditasi ala Sumarah sebagaimana seorang guru sekolah pada anak didiknya (Membidik Tanpa Hardik, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org). Seandainya para guru sekolah dituntut untuk membimbing dan menularkan ilmunya dengan disiplin dan sistematika yang sudah terpatok pada para anak didiknya, pamong justru dituntut untuk membimbing para anak asuhnya untuk menemukan dan mengembangkan ilmunya sendiri-sendiri yang sama sekali tak ada sistematikanya. Sebab jelas, guru terbaik adalah diri kita sendiri. Karena itu, yang diemong oleh sang pamong pada dasarnya adalah rasa si anak didik yang kelak akan membimbingnya sendiri ketika sudah terbuka. Asumsinya jelas, badan dan akal budi hanyalah perpanjangan tangan rasa. Dan hanya denga bermediakan rasa pula rasa tersebut dapat dibimbing.
Filosofi pamong dengan demikian adalah tak pernah mendidik selaiknya para guru sekolah yang berkaitan dengan disiplin diri, tapi lebih pada empati dimana keruh atau kocaknya rasa si anak asuh berpengaruh pada rasa sang pamong sendiri. Di sinilah kenapa para pamong dalam Paguyuban Sumarah lebih mengarahkan para anak asuhnya untuk menenangkan rasa-nya sendiri agar menjadi pepadhang hidupnya pribadi. Seperti seorang petani yang memiliki sapi dan mempercayakan pemeliharaannya pada sang pangon untuk kelak menerima si anak sapi yang akan ia besarkan sendiri.
(Heru Harjo Hutomo/ penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)