jfid – Tak juga jemu saya menguntit Paman Dhoplang dan kesehariannya yang jauh dari kemegahan kaum urban. Baginya, sepertinya hidup hanyalah pagelaran atau tontonan dalam terang Guy Debord di era kini. Semuanya seakan sudah digariskan, kita, para manusia, hanya diberikan sedikit ruang untuk berimprovisasi.
Dalam pagelaran wayang kulit, kiranya takdir tak berjalan sebagaimana jitabsara atau dalam istilah agama disebut “lauh mahfudz” mencatatkan reniknya. Sebab, Kresna, karena memiliki kemampuan untuk mengintip penulisan jitabsara, dapat menyiasati proses penulisannya dengan menjelma lanceng atau sejenis tawon dan menghapus nama kakaknya, Baladewa, yang mesti mati di padang Kurusetra melawan Anantareja, salah satu anak Bima yang terkenal sakti mandraguna. Semar pun, yang memiliki kemampuan yang sama dengan Kresna, sadar bahwa para anak Pandawa yang dilupakan oleh Arjuna dalam tapabratanya di gua Mintaraga, akan habis dibantai oleh para Kurawa. Sebab, dalam tapanya itu Arjuna yang telah menjadi Begawan Ciptaning dapat meminta apa saja pada para Dewa seandainya ia meminta.
Takdir dalam pagelaran wayang kulit tak pula sebagaimana pandangan awam yang memandang bahwa para wayang hanya seturut kuasa para dalangnya. Sebab, pada kenyataannya, bukanlah dalang yang sesungguhnya berkuasa atas pagelaran tersebut, tapi adalah yang menanggap atau si tuan rumah. Tanpa palilah yang menanggap keseluruhan pagelaran wayang tak akan terlaksana. Di sini kita menghadapi impersonalitas kekuasaan dimana dalang, wayang, blencong, pesinden, niyaga, hanyalah berbagai personalisasi yang menanggap. Dalam hal ini si tuan rumah atau yang menanggap hanya sekedar meminta digelarkan lakon Gandamana Sayembara, tapi mengenai renik perwujudannya terserah pada sang dalang dan timnya.
Paman Dhoplang hidup berdasarkan terang pemahaman yang demikian. Seandainya ia meletakkan dalang sebagaimana Tuhan, dimana takdir seperti berjalan lempang tanpa kelokan, tentu ia hanya menurut saja pada apa yang mencoba menipu, menekan atau mendiktenya. Apalagi seperti di waktu pemilihan politik hari ini dimana tekanan kerapkali tampil selaiknya jejaring Durga yang terkenal berani malu atau wani wirang, ia tak pula buta mata dan tuli telinganya, atau yang oleh kawan-kawan sebayanya di desa dikenal sebagai sikap politik “masturbasif” (Radikalisasi dari Bawah: Mengurai Jejaring Radikalisasi Keagamaan di Indonesia, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev). Memang, yang terkenal dari seorang Paman Dhoplang adalah sikap diamnya yang seolah bocah kemarin sore, padahal, barangkali, ia adalah segelintir orang yang telah membawa pesan-pesan purba: “Becik ketitik alane mambu” (Gabah den Interi: Antara yang Sampah dan yang Bertuah, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev).
Spiritualitas semu yang hari-hari ini begitu menjamur dan digandrungi banyak orang pun, yang jauh hari sudah dipersiapkan dan yang akan kentara begitu momen politik tiba, bagi Paman Dhoplang, hanyalah kemasan atas praktik yang jauh menyimpang dari tujuan yang seharusnya (Menguak Spiritualitas Semu di Balik Gerakan Op(l)osan, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev). Terkait dengan fenomena ini, Paman Dhoplang tak pernah bingung dan cukup memberikan sanepan: “Semut ngrubung gula ilang rasane” dan ujungnya seperti halnya “Gabah dumrajak karana dhasak.”
(Heru Harjo Hutomo: penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)