Dhedhep tidhem prabawaning ratri
Sasadara wus manjer kawuryan
Tan kuciwa memanise
Menggep srinateng ndalu
Siniwaka sanggya pra dasih
Aglar neng cakrawala
Winulat ngelangut
Prandene paksa kebegan
Saking kehing taranggana kang sumiwi
Warata tanpa sela
—Dhandhanggula
Lanskap langit ketika malam dan di tengah musim kemarau cukup berserak dengan nyala dan seperti sepenggal momen khusus dalam khazanah kesusastraan Jawa klasik. Apalagi sehabis tengah malam, di atas jam 12, berbarengan dengan apa yang lazim disebut di pedesaan sebagai bedhidhing, hawa dingin yang akrab dirasakan di pertengahan kemarau. Pada saat itu seluruh indera manusia benar-benar berfungsi: mata menatap langit, hidung menghidu wangi kembang pandhan, peraba merasakan dingin yang menusuk, dan kuping hingar oleh derik jengkerik.
Kesusastraan Jawa klasik saya kira begitu kuat dan detail ketika melukiskan alam dan bahkan terkesan hiperrealistis. Sebagaimana juga sastra pedalangan, deskripsi tentang alam setidaknya membutuhkan waktu sekitar 15 menitan untuk sang dalang men-jantur-nya. Barangkali, untuk ukuran kesusastraan dan dramaturgi modern, hal itu terlalu menghambur-hamburkan waktu yang dapat mengurangi suasana dramatiknya. Tapi saya kira tak demikian, deskripsi alam dalam kesusastraan Jawa dan sastra pedalangan klasik tak semata mengetengahkan sebuah seting lokasi.
Seperti se-pupuh tembang dhandhanggula di awal esai ini, lanskap dan suasana alam semacam itu seolah dipandang sebagai olah “kerinduan” pada suasana yang purba. Di masa silam ada sebuah laku yang diambil para simbah ketika dalam kondisi gelisah: tumengeng tawang. Tumengeng merupakan tembung garba dari kata “tumenga” atau menengadah dan sufiks “ing” atau “di” dan “tawang” yang berarti langit.
Hening suasana malam
Rembulan menggantung di langit
Keindahannya tak mengecewakan
Seakan raja malam
Yang dihadap oleh para awam
Bertebaran di cakrawala
Terlihat tak bertepi
Tapi penuh berisi
Saking banyaknya bintang yang hadir
Rata tanpa sela
Se-pupuh tembang dhandhanggula itu lazim ditembangkan dengan memakai tangga nada slendro barang miring, dimana dalam pagelaran wayang kulit digunakan untuk menandai pathet 9 ketika waktu menginjak jam 12 malam. Sang dalang membubuhkan pula lukisan yang sekilas hiperbolis, “Samirana datan lumampah, ron-ronan datan ebah (angin tak berarak, dedaunan tak bergerak).” Pada saat-saat inilah dipercaya lagi bahwa para Dewa tengah nganglang jagat (mengudara seperti sinterklas), membawa bokor (wadah yang terbuat dari kuningan) yang berisi doa-doa tolak balak, sandang dan juga pangan.
Aja turu sore kaki
Ana Dewa nganglang jagat
Nyangking bokor kencanane
Isine donga tetulak
Sandhang kalawan pangan
Ya iku bageanipun
Wong sabar lan nrima
Dari tembang ber-pupuh asmarandana itu secara tersirat terdapat pagebluk yang berbarengan dengan paceklik. Dalam kesusastraan Jawa, khususnya pada pewayangannya, kedua bentuk “bencana” itu memang sering datang bergandengan. Pagebluk berkaitan dengan wabah dan paceklik berkaitan dengan kelangkaan pangan. Taruhlah wabah semacam corona yang merupakan sebentuk pagebluk yang dilukiskan oleh para dalang saat adegan gara-gara tiba: “Para kawula esuk lara sore mati.” Pada dasarnya adalah juga mengakibatkan paceklik dimana aktivitas ekonomi nyaris mati yang otomatis mengakibatkan kehidupan tak berjalan sebagaimana biasanya. Di masa lalu paceklik memang sering dilukiskan sebagai sebentuk gagal panen karena mayoritas masyarakat Jawa ketika itu adalah petani atau orang-orang yang mengandalkan sawah sebagai sumber penghidupan. Maka dari itu, kini pun paceklik sebenarnya telah pula hadir sebagai akibat dari pagebluk corona. Tanaman seperti padi dan sebagainya di masa lalu hanya bernilai simbolik ketika diterapkan pada masa kini dimana pertanian bukan lagi menjadi sumber penghidupan yang dominan pada corak masyarakat kontemporer. Efek paceklik di masa lalu pada dasarnya serupa dengan efek resesi atau bahkan krisis ekonomi di hari ini.
(Heru Harjo Hutomo: penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)