Onani Politik, Pilkada antara Pesta, Syukuran dan Kibul Kibul

Rasyiqi By Rasyiqi - Writer, Saintific Enthusiast
5 Min Read
- Advertisement -

jfid – Sesuatu yang kehadirannya dianggap akan mendatangkan kegembiraan, biasanya akan disambut dengan sikap suka cita oleh warga masyarakat. Ekspresi rasa suka cita, dalam tradisi masyarakat, biasanya diwujudkan secara tidak seragam antara satu kelompok dengan kelompok yang lainnya. Sebagian menyebutnya pesta, dan sebagian lainnya menyebutnya dengan syukuran.

Pesta dan syukuran memiliki karakter yang berbeda, serta dilakukan oleh kalangan yang derajat kebudayaannya juga berbeda. Bagi kaum yang dominan tradisi ketimuran, akan menyebutnya syukuran, sedangkan yang dominan tradisi Sekulerisme akan menyebutnya pesta.

Apa bedanya? Bagi saya, pada kata Pesta melekat adanya unsur foya-foya, sumringah, ngalor-ngidul, dan bebas ngibul-ngibul. Semuanya seolah-olah sah-sah saja dan tidak ada Tuhan. Sedangkan pada kata syukuran, lebih tampak suasana senyap akan tetapi penuh dengan nuansa hikmad, sungguh-sungguh, dan sakral, yaitu disertai dengan adanya bacaan-bacaan yang sarat dengan puji-pujian terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Tidak ada referensi apapun yang saya pakai dalam membuat terminologi ini. Semuanya hanya berasal dari sudut pandang saya yang saya tarik berdasarkan realitas yang hidup ditengah-tengah masyarakat. Pendeknya, pesta memiliki kesan sebagai ekspresi berperilaku bebas tanpa batas. Sedangkan pada syukuran, mengandung kesan adanya kejujuran dan kesungguhan.

Ad image

Dibawah pengertian tersebut diatas akan dicoba dipahami kenapa suksesi peralihan kepemimpinan politik, baik Pemilu, Pemilukada dan bahkan Pilkades, sering dan jamak dianalogikan sebagai Momentum Pesta, yaitu dengan sebutan Pesta Demokrasi dan bukan sebagai Syukuran Demokrasi?

Bukankah sebagai pesta, berarti suksesi peralihan kepemimpinan politik tersebut telah dan hanya dipahami sebagai momentum akan hadirnya arus uang nomplok? Juga momentum kebebasan untuk ngibul-ngibul?

Tapi eiittttsss! Benarkah momentum Pilkada merupakan momentum datangnya rejeki nomplok? Berasal darimana uangnya?

Ya iyalah. Sepertinya Pilkada memang merupakan pintu masuk datangnya arus uang. Darimana uangnya? Ya bisa dari penyelenggara, bisa juga dari pasangan calon, bisa juga dari penumpang Gelap! Bagaimana rumusannya?

Begini. Bagi saya, cermin Pemilu/Pemilukada sebagai momentum masuknya arus uang besar sangat tampak dari anggaran pelaksanaannya yang sangat besar. Penyelenggara saja, mulai dari tingkat kabupaten sampai TPS, baik yang dibawah garis KPU maupun Bawaslu, semuanya bergaji. Belum lagi atas nama biaya operasional. Bukan tidak mungkin ada banyak anggaran-anggaran “siluman”. Belum lagi yang atas nama Tips-tips politik.

Selain mengalir ke kantong penyelenggara, uang juga menciprat kemana-mana. Belum lagi uang yang berasal dari Pasangan Calon (Paslon), dan belum lagi uang yang berasal dari Penumpang Gelap. Uang tersebut mengalir deras ke berbagai pihak, antara lain ke Pengusaha, ke aktivis, ke wartawan, maupun ke segmen-segmen lain dalam berbagai rupa kegiatan, termasuk dan tidak terbatas kepada masyarakat pemilih.

Khusus yang disebut terakhir tadi, arus uang ke masyarakat pemilih, tampaknya yang paling dominan dan paling besar. Ada yang disebut uang saku, ada yang menyebutnya uang jajan di TPS, dan ada juga yang menyebutnya “money politik”. Intinya, Pemilu/Pemilukada, memang cukup identik dengan banyaknya arus uang di masyarakat.

Jadi, menyambut Pemilu/Pemilukada, bahagia itu ada pada Penyelenggara, ada pada pengusaha, ada pada aktivis, dan jago ngibul-ngibul. Maka tak jarang, pasca Pemilu/Pemilukada, konon ada banyak Orang Kaya Baru (OKB), termasuk akan tetapi tidak terbatas, Penyelenggara Pemilu. Terutama kalangan yang jago ngibul-ngibul.

Masyarakat pemilih tak seberapa. Hanya dapat uang jajan saja. Tapi karena yang dapat hampir merata, maka suasana gembira sangat tampak, terutama dalam obrolan warung kopi. Semuanya ngopi dan jajan dengan membayar uang cash. Yach, cash! Tidak ngutang.

Tapi Pemilu/Pemilukada bukanlah pesta biasa. Tapi Pesta Demokrasi. Jadi, meskipun berkepala pesta, akan tetapi karena berekor Demokrasi, maka dua kata tersebut telah menciptakan makna tersendiri, yaitu tidak sekadar ada arus uang, melainkan juga harus ada nilai-nilai demokrasi.

Tapi maknanya bagaimana ya? Kira-kira begini. Boleh ngambil uang dari Paslon, ploroti uangnya sebanyak mungkin, tapi kalau Paslon tersebut tidak cocok, jangan dipilih. Jangan didukung. Itulah kira-kira makna pesta demokrasi. Bebas sebebas-bebasnya untuk menentukan siapa calon pemimpinnya. Bahkan, Golput pun, ya tidak masalah. Toch, Pilkada ini hanya momentum uang dan bersenang-senang.

Tapi benarkah perilaku yang demikian? Saya tidak tau pasti. Sekali ini, khusus mengenai arti Pesta Demokrasi yang sesungguhnya, saya tidak bisa membahas tuntas. Harus bersambung di edisi dan pada topik berikutnya.

- Advertisement -
TAGGED:
Share This Article