jfID – TIDAK bisa dipungkiri bahwa Nahdlatul Ulama (NU) sangat penting artinya dalam setiap pergelaran Pemilihan Umum, khususnya dalam Pilkada 2020, Desember yang akan datang. Benar menurut proposisi Clifford Geert (1960) dalam penelitian sosio-antropologinya di Mojokuto (Pare), ada pembedaan sosial-keagamaan yakni kaum santri, kaum priyayi, dan kaum abangan. Kaum santri dibedakan 2 macam yakni santri kultural dan niaga. Santri kultural domain terwakili oleh kaum nahdliyin (NU). Santri kultural cenderung lebih moderat, dan permisif dalam balutan sosial-budaya etnik yang terwakili pesantren mayoritas. Sedang santri niaga terwakili oleh kaum Muhammadiyah yang cenderung menempati basis perniagaan dan pendidikan intelektual. Sedangkan kaum abangan terwakili oleh PKI yang berbasis proletariat, dan kaum priyayi terwakili oleh PNI yang nasionalis (baca : marhaenis).
Adalah wajar jika NU memiliki kedekatan secara kultur struktural terhadap kaum bawah terutama kaum nasionalis di dalam syiar agama (Islam). NU begitu lentur dan concern terhadap basis masyarakat tradisional ketimbang ormas islam lainnya. Karena NU merasa bahwa para ulama turut serta membidani lahirnya republik bahkan Pancasila.
Toleransi NU yang begitu kuat di basis-basis massa pedesaan inilah yang hingga kini tetap menjadi referensi calon pemimpin di daerah dalam berburu dukungan di berbagai pesta demokrasi. Boleh dikata, politisi (parpol) seakan rela "menyembah" kalangan ulama nahdliyin demi memperoleh dukungannya. Kenyataan di lapangan calon pemimpin yang tidak peduli terhadap kantung-kantung hijau NU niscaya akan mengalami kekalahan fatal.
Lupa Daratan
Sayangnya potret politik selalu halal untuk bermetamorfosa atau berubah-ubah. Ketika sang calon benar-benar jadi pemimpin justru memiliki keberpihakan kepada investor, yang (konon) dulu sebagai sponsornya (baca : penyandang dana) di kontestasi Pilkada. Fenomena tersebut sudah menjadi rahasia umum yang pada gilirannya melahirkan "pemimpin boneka" ( puppet leader ) di zaman demokratisasi politik saat ini. Alhasil yang seharusnya para penguasa selalu bergandeng tangan dengan NU dalam mengelola potensi di daerahnya, tetapi kemitraan dengan NU itu justru terbatas pada ikat primordial relegiusitas belaka. Kalau si pemimpin menghadapi goyangan dari parpol islam misalnya akan bergegas kembali sowan kiai, sementara jika ada dana investasi akan menyembah pada investor.
Akhirnya basis massa di pesantren dari waktu ke waktu tetap berbalut ketradisionalan dan seakan tidak ada angin perubahan (win of change) sebagai patner penggarap investasi. Lebih-lebih jika pemegang kekuasaan itu dulunya merupakan calon "drop-dropan" dari pusat, jelas akan membuat NU semakin termajinalisasi. Bagaimana?