jfID – Sebermulanya ia adalah seorang pejabat di lingkungan Pura Pakualaman. Jabatan terakhirnya adalah seorang Panji yang membawahi wilayah Godean. Syahdan, ketika ia sedang rapat, seorang pengemis konon meminta untuk berjumpa dengannya. Tapi Natarata bersikukuh untuk memilih menyelesaikan pekerjaannya. Karena itu, ia pun telat, seusai pekerjaannya ternyata pengemis itu telah mati. Setiba di lokasi dimana pengemis itu menghembuskan nafas terakhirnya, Natarata menemukan sebuah keganjilan. Secara pelahan jasad pengemis itu menyusut dan mengecil yang kemudian berubah menjadi setetes air yang akhirnya menguap.
Ada yang mengatakan bahwa pengemis itu adalah seorang keturunan Prabu Brawijaya di Majapahit. Sementara pendapat lain mengatakannya sebagai seorang kyai dari Kediri. Tak jelas punya hubungan apa antara Natarata dan pengemis yang mukswa, yang terang seusai peristiwa itu Natarata mengalami titik-balik kehidupan. Ia bersikeras untuk belajar mati. Karena itu pekerjaan, jabatan, rumah, isteri dan kedua anak perempuannya ditinggalkannya.
Tapi ada pendapat yang mengatakan bahwa Natarata tak begitu disukai oleh kolega dan junjungannya karena kecerdasannya. Dalam pengembaraannya untuk belajar mati, Natarata, yang memiliki nama pena Sasrawijaya, banyak singgah di daerah yang ia pandang dapat memberikannya pepadhang. Selain pulau Bangka, pulau Bali pun pernah ia singgahi dan ia abadikan dalam Serat Purwacarita Bali. Sedangkan Serat Bayanulah yang membuat namanya melambung dalam jagat kesusastraan dan spiritualitas Jawa mengetengahkan pula catatan persinggahannya di Betawi bersama Sayid Oidrus, Sidacerma Surabaya (untuk belajar ilmu-ilmu syariat sembari belajar mati pada Kyai Abdullah), dan juga Pacitan serta Ponorogo yang dalam catatan Serat Wedhatama terkenal dengan istilah Santri Dul-nya. Tampaknya, secara spiritual, hanya Sayid Oidrus dan Kyai Abdullah yang memuaskan dahaga spiritual Natarata.
Tak sebagaimana Serat Kancil Kridhamartana, yang merupakan salah satu rujukan pertunjukan wayang kancil, dan Serat Seh Siti Jenar, Serat Bayanulah merupakan sebentuk teologi negatif Natarata yang banyak disalahpahami orang. Seluruh konsep teologi yang Natarata temui dalam kembaranya ia pertanyakan dan gugat, sementara Natarata sendiri tak satu pun menyuguhkan alternatif. Sehingga tampak bahwa Natarata secara sekilas laiknya seorang nihilis.
Tak banyak orang paham bahwa ada tiga macam pendekatan teologi yang secara filsafati dan ilmiah dianggap sah: pendekatan via analogia, via negativa, dan via purgativa. Kesemua bentuk pendekatan ini memiliki dasar bahwa Tuhan bersifat transenden, mengatasi ruang-waktu, dan bahkan di seberang bahasa manusia. Karena itulah untuk memperbincangkannya hanya dapat dilakukan secara analogis atau tak langsung, melalui kiyas dan perumpamaan. Pendekatan analogis ini tak urung menyisakan sebuah tanya, sebab Tuhan dan hal-hal yang digunakan sebagai perumpamaan dan pembandingan adalah dua hal yang berbeda. Dengan kata lain, Tuhan tetap saja mengelak dari upaya perumusan manusia. Dan manusia tetap saja tak puas alias gelisah, omong berjilid-jilid tak ada habisnya hingga seakan sekedar melihat sebuah seni pertunjukan.
Pendekatan negasi kemudian lahir untuk menjawab kegelisahan tersebut. Satu-satunya cara memperbincangkan Tuhan yang mungkin adalah dengan cara penolakan: “bukan Tuhan.” Dengan kata lain, teologi negatif pada akhirnya adalah sebuah upaya untuk menisbikan kemampuan manusia dalam rangka membuka ruang bagi Tuhan itu sendiri untuk menyatakan dirinya sendiri, tanpa perlu diwakili. Hasil teologi negatif ini adalah teologi via purgativa atau jalan laku. Seperti yang dialami oleh Natarata sendiri dalam upayanya untuk belajar mati: ketika ingin belajar hidup belajarlah pada orang hidup, dan ketika ingin mati belajarlah pada orang mati.
(Heru Harjo Hutomo/ penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)