jfID – Saya menjadi saksi mata bagaimana tidak semua narapidana kembali ke jalan benar dan juga sebaliknya. Saya juga menjadi saksi bagaimana tidak sedikit masyarakat yang memandang narapidana sebagai sampah masyarakat yang patut dicurigai dan tentu juga dihindari. Bahkan ketika ada suatu tindak kriminal di sekitar lingkungannya, mantan narapidana menjadi orang yang paling tertuduh. Celakanya, hal itu juga berlaku bagi istri dan anak-anaknya yang tidak jarang mendapat tekanan psikis dari masyarakat sekitar. Itulah realita.
Darimana saya tahu? Dari teman saya mantan napi dan beberapa teman napi lainya. Beberapa dari mereka memiliki keluh kesah yang sama: dikucilkan, dihindari dan dicurigai. Mereka yang mendapatkan berkah asimilasi Covid-19 misalnya, mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari tetangga mereka. Ada yang menjadi bahan gunjingan bahkan anak mereka juga tidak luput dari perundungan. Bagi anak-anak, ketika dicaci anak seumuran sebagai anak maling dan sejenisnya, bukan yang mencaci yang dibenci, tapi bapaknya yang dibenci.
Itulah ujian terberat bagi mantan napi selepas keluar dari jeruji besi. Ada yang akhirnya berhasil melewati ujian itu dan ada pula yang tidak mampu melewatinya. Di saat seperti itu, Tuhan kembali menguji dengan begitu halus. Datanglah kawan-kawan lama napi itu dengan tangan terbuka. Menjadi pihak yang paling mau menerima segala masa lalunya. Di sinilah titik di mana para mantan napi akan goyah. Kawan-kawan lamanya datang memberikan dukungan yang diselubungi niat tidak baik: mengajak kembali melakukan tindak kriminal.
Situasi seperti ini sama seperti segelintir orang yang memandang sinis orang lain yang tiba-tiba saja nongol di masjid.
“Eh, ada angin apa tuh orang ke masjid? Jangan-jangan…,”
Sampai sini saya memahami bahwa godaan terberat mantan napi untuk berubah adalah pengucilan dari masyarakat sekitarnya. Ya. Pengucilan ini akan berdampak luar biasa pada psikis mereka. Hingga muncullah pemahaman: sudah terlanjur hitam, yasudah hitam sekalian saja.
Bukankah setiap manusia itu akan ada dorongan untuk membuktikan perubahannya kepada orang lain? Saat pembuktian itu tidak berhasil dan justru dianggap sebagai sebuah ‘topeng’, akhirnya muncul bisikan: sudah, percuma kau berubah menjadi baik, orang lain tetap akan menganggapmu sebagai orang yang sama seperti masa lalumu.
Bisikan demi bisikan itu semakin lama semakin keras terdengar. Menggedor-gedor jiwa, perlahan meruntuhkan iman di dada. Dan…, Ah. Jadilah mantan napi itu kembali berulah.
Sampai di sini saya paham, terkadang tindak kejahatan itu lahir dari ketidakpekaan masyarakat terhadap orang di sekitarnya. Tabik!