Napas Mahasiswa dan Larangan ”Menuhankan” KPK

Citra Dara Trisna By Citra Dara Trisna
8 Min Read
Puluhan Ribu Mahasiswa saat berhadapan dengan Watter Canon (foto: Muhammad Ali/Jawa Pos)
Puluhan Ribu Mahasiswa saat berhadapan dengan Watter Canon (foto: Muhammad Ali/Jawa Pos)
- Advertisement -

Jurnalfaktual.id, – ”Panjang umur perlawanan,” kata Mahasiswa. Tapi, kobaran ”api” di Jakarta telah reda, meski belum sepenuhnya. Di pusat-pusat aksi, sudah tak tercium lagi bau brengsek gas air mata. Beberapa waktu terakhir ini suasana malam di Jakarta tak semencekam sebelumnya. 

Ingatan mengenai kedahsyatan serangkaian aksi mahasiswa yang perlahan namun pasti hampir pudar membuat saya jadi melankolik dan gamang. Kondisi ini membuat saya bekerja ekstra keras memupuk rasa percaya dalam diri agar tak berhenti percaya pada langkah mahasiswa hari ini.  

Mungkin puncak keyakinan saya pada mahasiswa ini tumbang ketika ritme aksi turun dan kekuasaan tetap berjalan seperti biasa. Ditambah lagi ketika aksi dijawab dengan konser musik. Bagi saya, ini adalah ludah busuk dari mulut penguasa yang muncrat di kepala peserta aksi. Kalau kata orang-orang tua: mahasiswa kalah matang dalam hitungan kuno. Apa benar demikian? Entahlah! 

Soal kalah-menang dalam konteks persoalan mahasiswa dan penguasa memang tidak jelas parameternya. Yang jelas tumpukan beragam peristiwa—baik yang rekayasa guna membiaskan informasi dan yang murni—membuat waktu seperti berjalan lamban. Di saat-saat genting seperti ini, waktu adalah sesuatu yang penting dan menentukan. Memang sudah banyak yang berubah dari perkiraan situasi perpolitikan. Tapi, tuntutan mahasiswa masih sama. Strategi mereka masih sama, pun kepolosan mereka. Meski dengan berat hati saya katakan: kaliber mereka dalam hal militansi memperjuangkan tuntutan masih jauh di bawah aktivis 98. 

Ad image

Seorang pengamat yang nakal berkata: aktivis sekarang kalah ngeyel dengan aktivis revormasi dan sialnya yang didemo sekarang adalah mantan aktivis 98 yang sudah matang dan tahu enaknya menumpang beli perhiasan istri dengan uang negara. Itu sebabnya ludah menjijikkan itu bisa sampai di ubun-ubun mahasiswa. Bahkan spontanitas punggawa pemerintah—yang nampak menggelikan, seperti: ”jangan tuhankan KPK”—juga tak dijawab dengan baik oleh aktivis hari ini. 

Saya benci mengakui kebenaran kata-kata itu. Tapi, demi menjaga kesehatan berpikir, saya paksa diri saya untuk menerimanya. Bagi saya, kata ”menuhankan KPK” adalah ayat yang perlu diterjemahkan dengan jernih sekaligus untuk kita bercermin. Mengapa kata-kata itu jadi penting?

Yang saya lihat, spontanitas itu lahir karena beberapa kemungkinan. Pertama, adalah rasa jenuh rezim lantaran diprotes terus menerus. Dan yang kedua, kata itu juga cerminan dari kondisi yang memang terjadi saat ini. 

Mungkin kata ”menuhankan” ini jadi sangat tepat apabila karena sebuah UU, mahasiswa jadi sedemikian ”marah”. Meski hal ini lumrah lantaran mahasiswa sebagai manifestasi dari (sebagian kecil) rakyat, sudah bosan dikorup uangnya. 

Lalu, yang ingin saya tanyakan adalah: apakah aktivis hari ini memahami dengan baik apa itu KPK? Apakah eksistensinya adalah sebagai lembaga negara atau lembaga pemerintahan? Bila lembaga negara, mengapa sebelumnya mahasiswa adem saja melihat kepala pemerintah—yang seharusnya adalah pihak yang seharusnya paling diawasi oleh KPK—melantik ketua KPK (sebagai lembaga negara)?

Ketidakjelasan posisi KPK di kepala kita bersama membuat saya teringat dengan sebuah SMS yang diterima Busro Muqodas, mantan Ketua KPK di periode SBY. Di pesan pendek itu, Busro disebut sebagai anjing yang ”menggigit” tuannya yang telah memberi makan. Bagi saya, rasa marah ini adalah puncak ketololan ketika punggawa pemerintah nampak begitu polos lantaran menganggap KPK adalah lembaga pemerintah. Tapi, waktu pelantikan itu, tak banyak yang buka suara dan mendemo. 

Kalau dulu pelantikan ketua itu berjalan tanpa protes, lalu untuk apa mahasiswa bergerak dan merasa perlu menyelamatkan KPK dari pelemahan? Kesalahan cara pandang kita pada KPK secara tidak langsung sudah melemahkan KPK itu sendiri. Lalu, mengapa sekarang merasa perlu marah hanya karena Surpres? Bila mahasiswa menganggap KPK adalah salah satu manifestasi revormasi, lalu mengapa tidak mengawal secara serius sejak awal KPK berdiri? Mungkin menuhankan sesuatu yang tidak tepat adalah sebuah kecerobohan. 

Kalau boleh membayangkan, seandainya tuntutan perihal KPK itu benar-benar direalisasikan, bisakah mahasiswa memberikan jaminan bila kesalahan di masa silam membuat KPK bisa bekerja seperti yang diharapkan. Mahasiswa juga tak boleh menutup mata bila sejak dulu KPK hampir tak jauh berbeda dengan polisi: tebang pilih dalam menangkap maling. Mungkin kompleksitas penegakan hukum pada kasus-kasus korupsi perlu dilihat secara lebih menyeluruh sebelum mahasiswa merasa perlu untuk membela agar tidak lahir kekecewaan demi kekecewaan. 

Mari kita buat simulasi sendiri. Sebuah kasus korupsi tidak pernah berdiri sendiri. Selalu melibatkan banyak pihak. Tapi, mengapa pada praktiknya pihak yang tertangkap hanya beberapa? Sebagian lainnya tetap bisa merasa tenang berapa banyak tersangka yang terlibat? Tapi, pada praktiknya, tidak semua orang yang terlibat bisa dijerat. 

Sementara dari sudut pandang yang lain, saya pikir pemerintah belum siap dengan adanya KPK. Karena di era revormasi ini, semua punggawa pemerintah ingin jadi Soeharto. Dan adanya KPK—yang sebenarnya sudah lemah sejak awal—mengganggu eksistensi mereka dalam berkreasi menilap uang negara. Selain itu, saya pikir mantan aktivis 98 di lingkaran pemerintahan memang terbukti punya kewaskitaan dalam melihat sesuatu. Karena kalau KPK benar-benar mampu bekerja serius, maka apa jadinya negara ini? Pemerintahan akan kosong, karena hampir semuanya pindah ke penjara. 

Mungkin itu sebabnya muncul nasihat (agak tolol) agar jangan sampai menuhankan KPK. Terlebih, menuhankan sesuatu yang memang lemah karena salah di awal. 

Soal hitungan: penguasa berani menyelenggarakan pesta karena mereka tahu persis, mahasiswa yang turun ke jalan hari ini tidak menghitung persoalan dari akarnya. Dan kemampuan pemerintah menakar mahasiswa inilah yang membuat mereka jadi punya hitungan yang jelas bakal sejauh mana aksi mahasiswa. Pemerintah tahu betul bila watak orang Indonesia itu adalah amuk. Aksi ini adalah parade amuk. Dan pemerintah punya hitungan yang jelas tentang seberapa kuat mereka melakukan amuk; mampu menakar sepanjang apa napas generasi mudanya mengawal KPK. 

Mungkin itu sebabnya peserta aksi menghibur diri dengan mengatakan panjang umur perlawanan, karena di dalam jiwa mereka ada semacam kesadaran perlawanan mereka ada masanya dan makin lama makin kendor. Massa aksi hari ini adalah sekumpulan pelari cepat bersumbu pendek, padahal untuk mengawal Indonesia dibutuhkan pelari maraton. Pelari yang sanggup terus memacu langkah bahkan ketika tahu napasnya telah putus. Dan ketika Indonesia Indonesia sedang menjalani nasib sebagai bola mainan di tangan dukun tiban, napas lebih panjang itu lebih diperlukan ketimbang sekedar jargon untuk membohongi diri: panjang umur perlawanan. 

Citra D. Vresti Trisna

Jakarta, September 2019

Tentang Penulis: Citra D. Vresti Trisna, Esais Indonesia dan aktif bekerja sebagai Jurnalis lepas.

- Advertisement -
Share This Article