Oleh: Nazwar, S. Fil. I., M. Phil.*
*Penulis Lepas Yogyakarta
أَعُوذُ بِاللَّهِ السَّمِيعِ الْعَلِيمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ
“A’uudzubillahi as-samii’i al-‘Aliimi mina asy-syaithooni ar-rojiimi min hamazihii wa nafkhihii wa nftsihi” artinya: “aku berlindung kepada Allah yang Maha Mendengar dari syetan yang terkutuk dari kegilaannya, kesombongannya dan nyanyiannya yang tercela” (H. R. Abu Daud 775).
Lafadz Ta’awudz, berikut berbagai varian selain tersebut sebagai pembuka ulasan di atas, sudah pernah dibahas penulis sebelumnya dalam artikel berjudul “Urgensi “Ta’awwudz” dalam Kehidupan Sehari-hari”. Perlindungan dari syetan dari berbagai macam “bentuknya” melalui berbagai arah. Berlindung dari itu semua hanya kepada Allah semata.
Maka pada kesempatan kali ini, tidak sedang hendak membahas dalil-dalil “nash” atau tekstual terkait musik yang sering kali dipertegangkan, namun penulis akan mengulas beberapa jalan yang sering kali ditempuh syetan untuk mempengaruhi manusia, baik melalui kegilaannya, kesombongannya, dan nyanyiannya yang tercela.
Nyanyian, sebagaimana terlantun dalam lafadz ta’awwudz (perlindungan) di atas secara literal tercantum dan digaris bawahi penulis sebagai jejak-jejaknya atau langkah-langkah syetan atau sebut istilah al-Qur’an dengan “khuthuwatisysyaithoon” yaitu melalui musik.
Pertama, hawa nafsu dan keinginan. Biasa jadi, niat awal seseorang sebelum terjerumus menjadi konsumen musik adalah keinginan, seperti rasa ingin tahu atau “curiosity” seperti ingin belajar sesuatu, praktik pelafalan bahasa Inggris, atau yang lainnya terus diikuti sehingga memunculkan rasa suka yang berkelanjutan dan menjelma hawa nafsu. Maka perlu berhati-hati.
Kedua, angan-angan kosong. Ini poin penting. Lantunan lirik diiringi musik, sebagaimana disampaikan pada poin sebelumnya dapat menarik perhatian dan membentuk gambaran-gambaran yang sejatinya hanya kekosongan belaka.
Poin ini dan beberapa poin lain baik sebelum atau sesudahnya akan dapat mudah dipahami jika menyimak ulasan penulis secara keseluruhan, terkhusus tentang ta’awwudz. Pembahasan tentang Islam, akhlak, dan dunia secara kesejatiannya akan membantu pembentukan pemahaman termasuk berkaitan dengan kekosongan angan-angan, yang tidak hanya merupakan keinginan pribadi yang sesungguhnya ada fitrahnya, namun juga hawa nafsu yang tidak lepas dari sebut istilah yang sering digunakan penulis dengan bisikan-bisikan.
Ketiga, ingatan masa lalu, sebagaimana pada langkah kedua, berupa angan-angan kosong, pada langkah ketiga ini berupa membangkitkan angan-angan kosong. Musik yang melankolis dipadukan dengan lirik-lirik menjadi satu ke satuan berupa nyanyian. Berisi kenangan pendengar yang menikmatinya seolah dibawa ke kehidupan di alam masa lalu, entah itu suatu kesakitan, perasaan sedih atau suatu penyesalan.
Jika manusia dapat lolos dari godaan pada poin dua, syetan akan berpacu dengan langkah ketiga ini. Perasaan rindu, atau sekedar ingin mengingat berbagai kejadian di masa lalu, yang bahkan mungkin tidak banyak memiliki makna dan bisa jadi jauh dari manfaat, bercampur aduk penuh emosi, itulah bagian dari angan-angan kosong. Dihadirkannya rasa senang cinta dan untuk senantiasa melakukan dan melakukannya lagi.
Sebenarnya, musik pada sisi lain dapat bersifat mengganggu ketenangan dan suasana kondusif dari suara-suaranya. Berbagai aktivitas dapat dilakukan dengan nyaman dengan tanpa ada gangguan suara. Maka nyanyian syetan akhirnya digolongkan tercela, selain bersifat mengganggu dan merupakan ekspresi gila atau kegilaan.
Sehingga, khususnya musik sering kali dijadikan alat untuk tujuan tertentu selain sebagaimana yang telah dijabarkan sebelumnya, sebagian lagi masih bersifat misterius; semisteri apa tujuan tersebut selain kehancuran, kerugian dan kebinasaan?!