Michel Foucault dan Teori Diskursus

Faidi Ansori By Faidi Ansori
8 Min Read
- Advertisement -

jfID – Mengingat lagi apa yang seringkali kita bicarakan diwarung-warung kopi, di ruang kelas-kelas kemahasiswaan, acara-acara seminar, dan diklat tentang perkataan diskursus. Benarkah kita benar-benar mengetahui apa sebenarnya kata tersebut dan bagaimana seharusnya kita pakai untuk keperluan tindakan kita selanjutnya.

Kata diskursus mula-mula merupakan asal kata serapan dari bahasa Inggris discourse. Discourse juga terdapat banyak yang menerjemahkan sebagai analisis wacana kedalam bahasa Indonesia. Kata discourse juga sebenarnya berasal dari bahasa Latin discursus yang berarti ‘lari kian kemari’.

Sedangkan penulis memperkuat alasan penerjemahan ini dengan mengacu pada terjemahan kata discourse dari saudara Inyak Ridwan Muzir yang menerjemahkan discourse kedalam bahasa Indonesia menjadi diskursus. Penerjemahan ini termaktub dalam buku karya Michel Foucault sendiri ‘Arkeologi Pengetahuan’ (2012) yang diterbitkan IRCiSoD Jokjakarta.

Kata discourse memang banyak penerjemah yang menerjemahkan dengan terjemahan lain. Ada banyak kata discourse diterjemahkan dengan arti kata wacana, namun penulis lebih mengacu pada hasil terjemahan dari saudara Inyak Ridwan Muzir yang menerjemahkan discourse kedalam bahasa Indonesia menjadi diskursus.

Ad image

Sebagaimana yang telah di kutip oleh Asliah Zainal dari Mudji Sutrisno dan Hendra Putranto dalam artikel berjudul “Diskursus Religiusitas Sang Kiyai” di dalam artikel tersebut ia mengatakan, bahwa diskursus dipahami sebagai penjelasan terkait pemikiran seseorang. Diskursus secara luas dipahami sebagai penjelasan, pendefinisian, dan pemikiran tentang orang, pengetahuan, sistem-sistem abstrak pemikiran (Zainal, 2014: 23).

Kata discourse atau diskursus sebagaimana Asliah Zainal tuliskan sebagai upaya dalam ruang lingkup diskursus teori Foucault. Akan tetapi, Foucault memfokuskan diskursus (discourse) bukan pada teks ataupun pencipta tetapi pada relasi kuasa, hubungan antara diskursus itu sendiri dengan praktek sosial (Bullock, dkk, 1977: 232). Namun yang dimaksudkan adalah diskursus teori. Dengan konsep itulah diskursus yang dimaksudkan adalah diskursus tentang teori Foucault.

Diskursus tidak bisa dilepaskan dari tokoh posmodern Michel Foucault. Diskursus yang ditulis oleh Foucault menjadi penggunaan konsep dikontinuitas, ambang batas, retakan, batasan, tranformasi, dan serangkaian dalam menghadapi analisa sejarah yang tidak hanya disandarkan pada persoalan prosedur yang harus ditimpuh oleh seseorang, namun juga dijadikan acuan untuk diselesaikan dalam persoalan kurumitan-kerumitan masalah-masalah teoritis yang dihadapi.

Disamping itu, masalah-masalah teoritis hanya dapat dibicarakan pada wilayah-wilayah yang terbatas seperti disiplin-disiplin yang oleh Foucault sendiri dijelaskan dalam sejarah ide, pemikiran, dan sains atau pun pengetahuan.

Untuk dapat lebih bisa memahami pemikiran dari kesatuan-kesatuan diskursus Foucault, misalnya ini memberikan status temporal tertentu bagi sekumpulan fenomina yang silih berganti dan identik (atau paling tidak serupa) (Foucault, 2012: 48).

Dalam hal ini, tradisi yang dibangun oleh Foucault, sebenarnya untuk memikirkan kembali dispersi dalam bentuk kesamaan sehingga bisa cenderung menjadi satu yang sama dengan sebelumnya atau; cenderung mereduksi perbedaan-perbedaan yang muncul menjadi sesuatu yang harus sama dengan apa yang muncul dari awal (Foucault, 2012: 48).

Tidak hanya itu, pengetahuan juga termasuk di dalam pembahasan kali ini. Pengetahuan adalah, A; kumpulan komponen yang terformat secara sistematis dari praktek diskursus, yang merupakan komponen penting formasi suatu ilmu (Sanusi, 2010: 997).

Diskurus ini juga harus dipahami sebagai konsep tentang pengaruh oleh Foucault disebut sebagai influence dengan memberikan pandangan dukungan untuk memudahkan analisa dan proses penyebaran komunikasi.

Munculnya diskurus-diskursus yang konsep-konsep tentang pengaruh memberikan dukungan dalam upaya memudahkan penganalisaan terhadap proses penyebaran dan komunikasi yang akan dilakukan. Yang menunjukkan fenomena kemiripan atau pengulangan kepada proses kausalitas yang jelas terlihat meskipun tidak memiliki batasan yang jelas atau definisi teoritis; yang menghubungkan, dalam kerangka ruang dan waktu, ˗˗˗seolah-olah ada mediasi dari suatu medium penyebaran˗˗˗ antara berbagai kesatuan-kesatuan definitif, seperti individu ouevres, konsep atau teori-teori (Foucault, 2012: 48).

Penjelasan diatas sebenarnya menunjukkan dengan kata lain yaitu mencoba menghubungkan atau menyamakan peristiwa satu dengan lainnya berdasarkan kesamaan prinsip dari tokoh yang ada.

Foucault cukup lugas menjelaskan diskursus di atas, namun yang perlu diketahui adalah bagaimana ia memasukkan diskursus dalam eksemplar-eksemplar kekuatan hidup, seperti mempertahankan hubungan-hubungan antara elemen berbeda, inovasi, varian, bahkan asimilasi, dan pertukaran.

Pada kontek yang lain, Foucault memberikan pertanyaan-pernyataan. Pertanyaan yang diberikan analisa bahasa terhadap fakta-fakta diskurtif atau lainnya selalu berbunyi, “Atas aturan-aturan apa pertanyaan-pertanyaan tertentu dibuat?” dan konsekuensinya, “Atas aturan-aturan seperti apa pula pertanyaan-pertanyaan yang sama dibuat,” Sedangkan deskripsi peristiwa-peristiwa diskursif mengajukan pertanyaan dengan nada berbeda; “Bagaimana sebuah pernyataan tertentu bisa muncul ketimbang pernyataan-pernyataan lain (Foucault, 2012: 59).

Sungguh jelas jika kemudian diskursus disandarkan lagi dengan apa yang dikatakan Foucault, yaitu deskripsi diskursus berada di dalam posisi yang berhadap-hadapan dengan apa yang dikatakan dengan sejarah pemikiran.

Jadi amat jelas kalau kemudian diskursus Foucault diartikan dan dijelaskan sebagai suatu posisi yang berhadap-hadapan dengan sejarah pemikiran atau seperti statement ia sendiri di halaman-halam dalam penjelasan sebelumnya.

Tentu ada juga satu sistem pemikiran yang hanya bisa direkonstruksi berdasarkan satu totalitas diskurtif yang terbatas, namun totalitas ini ditangani dengan cara tertentu, yakni seseorang mencoba menemukan di balik pertanyaan-pertanyaan maksud dan tujuan, aktivitas, sadar, apa yang dimaksudkan atau aktivitas bawah sadar yang terdapat dalam apa yang dibicarakan atau dalam bentuk patahan-patahan yang sangat sulit dipamahi dari kata-kata aktual subyek yang berbicara (speaking subject) (Foucault, 2012: 60).

Tidak hanya itu, Foucault juga menjelaskan bahwa, dirasa tidak mungkin jika mendeskripsikan seluruh relasi yang telah tercipta jikalau tanpa adanya kisi-kisi tertentu.

Kisi-kisi tertentu itulah yang akan diterangkan disini. Tapi bagaimana kita membatasi daerah ini? Di satu sisi, kita harus memilih secara empiris satu wilayah tempat relasi-relasi terlihat seolah-olah sangat banyak, mencair dan mudah dideskripsikan; artinya, daerah-daerah lain seperti apakah peristiwa-peristiwa diskurtif dapat muncul lebih dekat satu sama lain dan muncul dengan relasi-relasi lebih mudah dikenal ketimbang daerah yang dikenal sebagai sains (Foucault, 2012: 63-64).

Maka cukup jelas apa yang telah diterangkan oleh Foucault dalam persoalan diskursus satu dengan lainnya terdapat relasi-relasi, mulai dari diskursus “yang awal” sampai “yang baru” itu lahir.

Sumber Bacaan

Foucault, Michel. (2012). Arkeologi Pengetahuan (Inyak Ridwan Muzir), Penerjemah). Jokjakarta: IRCiSoD.

Bullock, dkk. (1977). The Fontana Dictiory of Modern Thought. London: Fontana Press.

Sanusi, Irfan. (2010). Membedah Diskursus Dan Berkreasi Dalam Ranah Prularitas: Rereading Arkeologi Pengetahuan. Bandung: Jurnal Ilmu Dakwah Vo. 04. Dosen UIN SGD.

Zainal, Asliah. (2014). Diskursus Religuitas Sang Kiyai. Kendari: Sekolah Tinggi Agama Islam Sultan Qoimuddin.

- Advertisement -
Share This Article