Prawacana
jfID – James G. Kellas (1998) memaparkan bahwa sebagai sebuah ideologi, nasionalisme membangun kesadaran rakyat sebagai sebuah bangsa serta memberi seperangkat sikap dan program tindakan. Tingkah laku seorang nasionalis selalu didasarkan pada perasaan menjadi bagian dari suatu komunitas bangsa. Nasionalisme mendorong terjadinya sentimen dan gerakan.
Ben Anderson (2001), memahami kekuatan dan kontunuitas dari sentimen dan gerakan sebagai cikal bakal mewujudkan identitas nasional. Sebuah bangsa (nation) adalah sebuah konstruksi ideologis yang tampak sebagai bentuk garis antara atau definisi diri kelompok budaya dan state (negara). Keduanya membentuk sebuah komunitas abstrak berdasarkan perbedaan dari negara atau komunitas berdasar kekerabatan yang mendahului pembentukan mereka.
Agak berbeda, Kohn mendefinisikan nasionalisme sebagai suatu ‘state of mind an act of cossciousness’. Nasionalisme bagi Kohn, harus dilihat sebagai suatu “history of idea”, yang menempatkan ide, pikiran, motif dan kesadaran dalam sebuah keterkaitan dengan lingkungan yang nyata dari sebuah situasi sosial-historis. Nasionalisme bisa pula dipandang social soul atau mental masyarakat yang dibangun dari sejumlah perasaan dan ide-ide yang mendorong masyarakat untuk memiliki perasaan memiliki atau a sense of belonging.
Nasionalisme memiliki tiga aspek yaitu cognitive, value orientation, dan affective. Aspek cognitive merujuk pada adanya pemahaman mengenai situasi atau fenomena, misalnya situasi kolonial. Aspek value orientation menunjukkan keadaan yang dianggap berharga bagi pelakunya, misalnya cita-cita untuk merdeka, bersatu, keinginan bebas atau perasaan menjadi ratu adil. Sedangkan aspek affective adalah situasi yang diakibatkan dari tindakan kelompok.
Nasionalisme merupakan sebuah konsep gagasan yang bersentuhan dengan kebangsaan dan kenegaraan. Nasionalisme selalu bermuara pada penyebaran kesadaran berbangsa atau keinginan untuk membentuk sebuah negara atau nation state. Nasionalisme melahirkan upaya-upaya yang bertujuan membentuk bangunan kebangsaan dan negara. Upaya-upaya tersebut tersusun secara terencana dan sistematis untuk menanamkan kesadaran bahwa walaupun mungkin terdiri dari keanekaragaman ras, etnik, agama ataupun budaya, namun yakin bahwa mereka satu bangsa.
Nasionalisme bisa dipandang dari dua sisi, yaitu di satu sisi sebagai sebuah gagasan dan di sisi lain sebagai sebuah kebijakan. Pada sisi gagasan, nasionalime dipandang sebagai perwujudan kesadaran nasional dari anggota-anggota suatu bangsa. Adapun pada sisi kebijakan, nasionalisme dipahami sebagai sebuah strategi politik. Bertolak dari sisi gagasan, Ben Anderson menjelaskan konsep nasionalisme yang berkait dengan konsep bangsa. Bangsa, bagi Anderson (2011), adalah sesuatu yang imajiner karena para anggota bangsa tidak harus saling mengenal, namun di benak mereka ada keyakinan bahwa mereka memiliki cita-cita bersama yang harus diwujudkan.
Awal perkembangan nasionalisme di Indonesia adalah kesadaran terhadap situasi ketertindasan yang melahirkan keinginan untuk hidup bebas dan merdeka. Kesadaran tersebut melahirkan gerakan-gerakan, yang uniknya justru bermula dari rasa primordial, baik kesukuan atau kelas sosial (seperti Jong Java, Boedhi Oetama, Jong Islam, Sarekat Islam, Indeche Partay, dll) yang kemudian mengkristal menjadi gerakan yang mengacu pada identitas bangsa. Pengkristalan itu memuncak pada saat dicetuskan Sumpah Pemuda, pada tanggal 28 Oktober 1928. Kenyataan sejarah itu menunjukkan bahwa nasionalisme Indonesia tumbuh dari perasaan etnis yang berkembang kepada kesadaran identitas nasional. Kesadaran etnik yang mengubah diri menjadi identitas nasional ini muncul karena adanya beberapa pemikiran pokok yaitu (1) pentingnya persatuan dan kesatuan nasional, (2) solidaritas bersama, (3) non koperatif dalam melawan kolonialisme, dan (4) swadaya atau kekuatan sendiri.
Pencapaian identitas nasional mencapai puncaknya pada momentum proklamasi kemerdekaan, yang berarti telah terbentuknnya sebuah negara-bangsa, namun itu bukan berarti nasionalime pupus. Nasionalisme Indonesia bermetamorfosis atau berubah bentuk menjadi tak sekedar menjadi perlawanan terhadap bentuk kolonialisme, namun muncul dalam komitmen untuk mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara untuk memuwujudkan cita-cita kesejahteraan bersama.
Tarik-menarik Nasionalisme-Globalisasi- Etnonasionalisme-Primordialisme
Nasionalisme menghadapi tantangan besar dari pusaran globalisasi. Nasionalisme sebagai basic drive bangsa Indonesia sedang diuji ketangguhan dan fleksibilitasnya, dalam arti kemampuannya untuk berubah atau beradaptasi sehingga tetap akurat dalam menghadapi tantangan zaman. Nasionalisme dituntut untuk bermetamorfosis saat globalisasi memaksa individu-individu melepaskan diri dari keterikatannya dengan nation state.
Globalisasi telah melahirkan proses deteritorialisasi yang menghapus keterikatan individu dengan wilayah dan negaranya. Identitas budaya yang bisa menjadi perangkai identitas komunal yang merekat keterikatan dengan negara-bangsa telah retas karena muncul kebudayaan baru yang tidak lagi berangkat dari identitas sendiri. Setiap individu menjadi dan mengonsumsi identitas yang lain, sehingga identitas nasional menjadi kabur. Nasionalisme pun sebagai sebuah ideologi menjadi sangat kabur sejalan mengaburnya identitas nasional digantikan identitas global. Boleh dikatakan telah muncul nasionalisme global yang tak lagi dibatasi teritorial bangsa-negara.
Uniknya, di tengah proses mengglobal ini muncullah kesadaran baru yang berlawanan bahkan antitesis dengan proses mengglobal ini, yaitu penguatan identitas lokal yang semakin intensif. Muncullah nasionalisme baru yang merupakan tandingan atau perlawanan terhadap nasionalisme global, yaitu etnonasionalisme-primordialisme. Etnonasionalisme-primordialisme ini muncul sebagai kesadaran lokal yang mengarusutamakan kepentingan lokal dibanding kepentingan nasional. Etnonasionalisme-primordialisme ini semakin mencuat saat dipergunakannya politik identitas dalam praktik berpolitik. Etnonasionalisme mencuatkan kepentingan kesukuan dan kedaerahan (misalnya gerakan Papua Merdeka), sedangkan primordialisme bisa muncul dalam bentuk radikalisme beragama.
Situasi ketegangan dan tarik menarik ini tentu saja memiliki resiko tercabiknya kehidupan berbangsa dan negara. Namun fenomena tersebut tak dapat dihindari dan harus dihadapi oleh semua bangsa, pun tak terkecuali Indonesia.
Perlu disadari bahwa nasionalisme global dan etnonasionalisme-primordialisme tak dapat dihindari sebagai dampak dunia global karena merupakan proses sejarah yang tak terelakkan. Nasionalime Indonesia baru, tak bisa memaksakan diri memilih di antara keduanya. Yang bisa dilakukan adalah menjaga nasionalisme agar tidak tercabik dalam tarikan ekstrem tersebut.
Moderasi Beragama sebagai Upaya Merajut Nasionalisme
Untuk menjaga nasionalisme agar tidak berada dalam tarikan ekstrem globalisasi- etnonasionalisme-primordialisme bisa diupayakan dengan berbagai hal. Di antaranya melalui gerakan moderasi beragama. Gerakan moderasi beragama bisa menjadi upaya merajut nasionalisme bukanlah sebuah utopia. Gerakan moderasi bergama sangat dimungkinkan karena spirit ketuhanan telah menjadi bagian yang utuh sejak awal pertumbuhan bangsa Indonesia.
Pancasila sebagai dasar negara dilandasi oleh kesadaran berketuhanan, yang dikatakan oleh Soekarno sebagai ‘menyusun Indonesia merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa’. Soekarno mengatakan,” Prinsip ketuhanan…Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara leluasa. Segenap rakyatnya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada egoisme agama. Hendaknya negara Indonesia adalah satu negara yang ber-Tuhan! Marilah kita amalkan jalan agama, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain.”
Pernyataan Soekarno hampir seabad silam itu, perlu digaungkan kembali, karena pada realitanya saat ini bangsa Indonesia sedang mengalami krisis prinsip hormat-menghormati. Pilar-pilar kesatuan mengalami pelapukan bahkan pengeroposan. Kebersamaan bangsa robek dan terluka oleh berbagai sikap radikal dan intoleran. Media sosial yang semestinya menjadi benang perajut persatuan bangsa justru ternyata telah menjadi media menyebarkan cibir, curiga, kebencian, amarah, fitnah, teror, bahkan ajang pembunuhan karakter.
Konsep moderasi bisa dilekatkan pada semua basis agama. Istilah moderasi itu sendiri berasal dari Bahasa Latin moderatio yang secara leksikal bermakna “kesedangan” (tidak berkelebihan dan tidak kekurangan). Secara luas mempunyai arti penguasaan diri dari sikap sangat kelebihan dan kekurangan (Litbang Kemenag, 2019).
Moderasi beragama harus bertumpu pada prinsip (1) humanisme, (2) inklusif, (3) adil, dan (4) toleransi. Prinsip humanisme artinya dalam menanamkan moderasi beragama harus berbasis nilai-nilai kemanusiaan (humanitas) yang bersifat universal, yang lintas religi, lintas masyarakat, dan lintas kultural. Prinsip inklusif artinya menempatkan diri dalam sudut pandang orang lain atau kelompok lain, itu berarti menghormati dan menghargai berbagai arus pemikiran dan pandangan dalam memandang sebuah persoalan. Prinsip toleransi adalah sikap untuk saling memberikan ruang tanpa mengganggu hak orang lain. Toleransi mengacu pada karakter saling menghormati, terbuka, sukarela, lapang dada dan kelembutan dalam menerima perbedaan.
Upaya moderasi beragama bukanlah sesuatu yang mudah, diperlukan kerja besar, bertahap dan berkesinambungan. Moderasi beragama bisa menjadi salah satu solusi strategis untuk merajut kembali nasionalisme ****
DAFTAR BACAAN
Anderson, Benedict. 2001. Imagined Communities; Komunitas-Komunitas Terbayang.Yogya: Pustaka Pelajar
Arief, Syaiful.2018. Islam, Pancasila, dan Deradikalisasi, Meneguhkan Nilai Keindonesiaan.Jakarta: Gramedia
Aziz, Munawir.2017. Merawat Kebinekaan: Pancasila, Agama dan Renungan Perdamaian. Jakarta: Gramedia
G.Kelass, James.(tanpa tahun). Pasang Surut Nasionalisme. Jakarta: –
Mohamad, Goenawan.2017.Pada Masa Intoleransi.Yogya: Ircisod
Latif, Yudi. 2009. Menyemai Karakter Bangsa.Jakarta: Kompas
Yasid, Abu.2014. Islam Moderat. Jakarta: Airlangga
Widarmanto, Tjahjono.2011.Nasionalisme Sastra.Surabaya:Satukata
Qardawi, Yusuf.2017.Islam Jalan Tengah.Terj. Alwi.A.M. Jakarta:Mizan