Oleh : Sabarnuddin
(Mahasiswa Departemen Sejarah Universitas Negeri Padang)
jfid – Hukum adalah produk politik yang akan menjadi salah arti jika didasarkan pada das sollen atau hukum tidak diartikan sebagai Undang-Undang. Sedangkan hukum dan politik didasarkan pada pandangan das sollen (keinginan yang di bayangkan) atas das sein (kenyataan yang terlihat). Apabila menggunakan das sollen adanya hukum sebagai dasar mencari kebenaran ilmiah dan memberi arti hukum di luar Undang-Undang maka pernyataan hukum merupakan produk politik belum tentu benar. Bahkan pada asumsi indeterminasi hukum dan politik. Asumsi ini menyatakan bahwa hukum dan politik saling mempengaruhi , sebab “politik tanpa hukum itu zhalim” sedangkan “politik tanpa hukum itu lumpuh”.
Hal yang sama juga berlaku pada pejabat negara yang terjerat kasus pada saat menjabat, pada saat mengemban amanah ia disumpah tidak akan korupsi dan perbuatan melanggar hukum lainnya sebagai zina integritas. Namun realitanya sumpah yang telah diucapkan di langgar dan dengan bangganya melemparkan tawa bahagianya di hadapan publik.
Berdasarkan Undang-Undang (UU) No.7 Tahun 2017 Pasal 240(1) G tentang Pemilihan Umum disebutkan, tidak adanya larangan khusus bagi mantan narapidana kasus korupsi untuk mendaftar. Pada poin ini dijelaskan bahwa calon tidak pernah dipidana penjara berdasrkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana 5 (lima) tahun atau lebih. Kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana.
Pemaparan menarik disampaikan oleh ahli hukum tata negara dan hukum administrasi negara Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Dr Catur Wido haruni, S.H., M.Si.,M.Hum. Ia menjelaskan bahwa tidak ada yang salah dengan aturannya. Menurutnya yang salah adalah mereka membuat aturannya. “ Tentunya banyak mantan narapidana kasus korupsi yang ingin kembali berkecimpung di dunia politik. Kemudian dengan banyak siasat lahirlah peraturan ini karena kepentingan politik” tuturnya.
Berdasarkan data yang dirilis oleh KPU RI, terdapat 67 mantan narapidana jadi bacaleg DPR dan DPD. Dengan persebaran 52 bacaleg DPR dan 15 bakal calon anggota DPD. Hampir tersebar di seluruh partai politik kecuali Gelora, PKN, Dan PBB. Hal ini seharusnya tidak terjadi atas nama hak konstutisional warga negara namun mengabaikan nilai moral sebagai penegak nilai kedaulatan atas rakyat. dalam hal ini sesuatu yang tidak terlarang dalam hukum namun masih ada nilai norma yang mengikat bagi calon yang melaju dalam konstestasi politik.
Polemik mengemuka dengan berlakunya Peraturan Komisi Pemilihan Umum No.20 tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR,DPRD Provinsi Dan Kabupaten/Kota (PKPU), yakni terkait ketentuan pasal 4 ayat (3) dan pasal 7 huruf (g) PKPU yang menegaskan keharusan dalam seleksi bakal calon anggota legislatif tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba,kejatan seksual terhadap anak, dan korupsi. Berbagai pihak menilai sangat baik dan mengapresiasi aturan tersebut demi mewujudkan parlemen yang berintegritas dan bersih dari para oknum yang punya rekam jejak yang buruk. Namun, ada pula pihak yang mempersoalkan PKPU tersebut harus didukung landasan yuridis yang kuat.
Pada kelanjutannya, MA membatalkan PKPU pasal 4 ayat (3) nomor 20 tahun 2018 tersebut karena bertenatangan dengan Undang-Undang No.7 Tahun 2017 tentang pemilu. Serta pasal 28 huruf D UUD Negara Republik Indonesia Tahu 1945. Diantara alasan mengapa bisa adanya pembatalan aturan PKPU tersebut menurut penulis ialah legitimasi yang mencuat di permukaan meingat putusan MK bersifat kontitusional terhadap calon legislatif apalagi memiliki pengalaman sampai dieksekusi putusan inkrah oleh pengadilan.
Rakyat Harus Cerdas Memilih
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan Daftar Pemilih Tetap Pemilu 2024 sebanyak 204.807.222 pemilih. Dengan pemilih muda 17-39 tahun mencapai 60% atau sekitar 107 juta dari total pemilih Indonesia. Dengan lebih besarnya persentase pemilih muda atau generasi milenial maka akan berdampak positif bagi kesehatan demokrasi. Namun dibalik itu, arus informasi yang dengan cepat bergulir di media bagi sebagian para pemuda sulit untuk menyaring berita yang baik dan buruk dalam arus informasi politik. Kehebatan para calon yang mampu mengelola media dengan baik serta mengarahkan opini publik akan mendapatakan pendukung yang lebih besar dari pada para calon yang yang hanya menacari dukungan di lapangan.
Dalam hal ini latar belakang seorang calon legislatif dari mantan narapidana akan menjadi citra buruk bagi perjalanan kampanyenya nanti, namun akrena berdasrkan keputusan yang telah berlaku tidak ada larangan untuk mereka mencalonkan diri dan kembali pada niat mengabdi pada negara. Sebagai pemilih yang ingin mendapatkan wakil yang benar-benar merepresentasikan suara mereka di parlemen maka dibutuhkan pemilih yang sehat secara akal dan jasmani. Bila masih mampu disuap dengan uang dan sebagainya maka kembali terpilih para calon yang sangat berpengalaman untuk melanggar sumpahnya sendiri. Pemukatan yang telah diikrarkan sebelum mencalonkan adalah janji yang pasti ditepati para calon dengan para sponsor dana kampanye mereka.
Evaluasi Kinerja DPR
Selama ini yang masyarakat saksikan DPR RI selalu membuat kegaduhan baik sesama anggota atau terhadap institusi lain. Sejatinya DPR sebagai pengawas kebijakan pemerintah yang menjalankan Undang –Undang yang dikeluarkan Oleh DPR namun realitanya justru pemerintah bekerja tanpa pengawasan penuh dan sangat mulus mengeluarkan kebijakan tanpa dikritisi DPR. Forum Masyarakat Peduli Pemilu (Formappi) menilai Sidang I DPR tahun sidang 2022-2023 sangat minim melibatkan partisipasi publik. Berdasarkan penelusiran laporan singkat rapat-rapat KomisiI-IX DPR Masa Sidang I, Formappi menemukan sebanyak 79 kali rapat pengawasan ihwal pelaksanaan kebijakan pemerintah . Rapat ini digelar oleh 10 komisi dari 11 komisi, kecuali komisi I. Sementara itu masukan dari masyarakat/parktisi hanya 9 kali rapat (11,39% ), sedangkan pelaksanaan Fit dan propper test terhadap calon pejabat publik sebanyak 7 kali rapat (8,86% ).
Masalah minimnnya keterlibatan publik adalah masalh laten di tubuh DPR yang jika tidak diperbaiki maka seamkin mnguatkan publik jika produksi aturan bersifat politis semata. Mengenai fungsi pengawasan, DPR lebih membela kepentingan elite dibandingkan Rakyat. hal itu tampak antara lain komisi VI yang mendukung penyesuaian harga bahan minyak (BBM) non-subsisi dan mendesak pemerintah untuk segera menetapkan formula harga pertalite yang tidak merugikan PT Pertamina. Dalam hal ini DPR juga dinilai tidak peduli dengan situsi keamanan masyarakat di Papua.
Pertanggungjawaban Partai Politik
Para peserta pemilu yang mencalonkan diri sebagai calon anggota DPR RI, mendaftarkan diri melalui partai politik. Maka setelah apapun yang terjadi di peralemen anggota dewan bertanggung jawab pada pimpinan partai dan membawa gagasan partai di partai. Esensinya juga berlaku hal sebaliknya partai politik bertanggung jawab pada rakyat yang telah dikhianati pada saat kampanye dahulu. Faktanya partai politik tidak bertanggung jawab dan terkesan lepas tangan dan hal itu merupakan tindakan personal kader. Hal yang tidak patut dan dipertontonkan di muka publik, padahal sejak awal kader yang dicalonkan oleh partai tersebut, apapun yang menimpa kadernya semua berakibat pada partai pengusungnya.
Rendahnya pendidikan politik dan pemahaman situasi rakyat membuat kurangnya kepekaan terhadap kehidupan rakyat yang tengah dalam himpitan ekonomi, kesehatan, pendidikan dan problematika lainnya. Ambisi untuk menjadi wakil rakyat yang besar membuat gelap pandangan pada nasib rakyat kecil yang bertumpu pada kebijakan yang mereka keluarkan. Penanaman nilai kepedulian sangat penting digalakkan untuk membuat kesadaran para anggota dewan akan masa depan bangsa di tangan mereka.