Menjawab Metode Polling jf.id

Rasyiqi By Rasyiqi - Writer, Saintific Enthusiast
4 Min Read
Ilustrasi, foto: pixabay.com
Ilustrasi, foto: pixabay.com
- Advertisement -

jf.id – Sejak tanggal 24 Desember, jf.id melakukan polling, sistem polling diluncurkan dalam rangka menyambut Pilkada 2020, nanti. Hasil polling memang fluktuatif, saling berkejaran, dan entah saya sebagai IT melepas sistem itu berjalan sebagaimana adanya. Hasil polling masuk ke database tanpa rekayasa.

Dengan pengetahuan seadanya, sistem itu sudah dikunjungi ribuan orang. Respon publik ternyata luar biasa. Sambil kami pantau, khawatir kena pishing. Tapi melihat pergerakan traffic, tidak ada yang mencurigakan. Kalaupun diretas, ngapain toh? kayak gak ada kerjaan saja. Hehe. Artinya polling berjalan dengan kondusif, khidmat dan hangat sehangat kopi dihadapan saya saat ini.

Jadi apa yang anda lihat, ya itulah hasilnya. Namun mungkin publik mempertanyakan keakuratan polling, ada yang mempertanyakan pertanggungjawaban secara akademik, teoritis, dan sebagainya, dan saya malas menjawabnya. Karena tak ada yang benar-benar ilmiah, dan pasti benar. Sebab dalam ilmu humaniora, lebih tepat jika dikatakan bahwa hasil penelitian ialah mendekati kebenaran. Manusia itu ribet nan kompleks, tak mungkin meneliti semua variabel hanya demi pilkada Sumenep 2020. Bahkan satu variabel dapat mempengaruhi variabel lain. Setuju? Jawaban yang paling mendekati kebenaran adalah secara umum.

Lalu kenapa polling tetap dilakukan? wah rumit jawabannya, sama rumitnya dengan menjawab pertanyaan kenapa polling tidak bisa dilakukan. Polling dilakukan, misalnya untuk mengetahui peluang memenangkan kontestasi politik, survey dilakukan untuk mendapatkan gambaran keterpilihan seorang bakal calon. Polling mana yang paling kredibel, itu tergantung ‘keyakinan’ dan ‘iman’ kepada politik. Yang penting, tidak bertengkar dan selalu tetap santuy.

Ad image

Tapi, polling bukan survey, keduanya berbeda dan dianggap lebih ilmiah survey daripada polling. Tujuannya pun beda. Polling lebih bertujuan untuk memberikan gambaran dalam skala agregat mengenai dinamika, misalnya dalam proses politik, lebih spesifik lagi pada aspek policy. Polling sama sekali tidak dituntut untuk melacak asal usul sebuah kesadaran responden atas dirinya sendiri serta diminta pertanggungjawaban praksis atas upaya mengubah kesadaran semacam itu.

Namun kami berusaha menjaga akurasi data, seperti misalnya, setiap orang hanya bisa mem-polling 1 kali saja, sistem membatasi sesi polling berdasarkan IP address user. Kami tidak membutuhkan identitas masing-masing user, seperti meminta nama, email dan nomor HP mereka karena ribet bagi Pengguna. Yang kami butuhkan adalah record data voters berdasarkan IP, perangkat, browser dan pengguna unik. Duplikasi data record adalah kejanggalan (error).

Dan melalui mesin analytic, kita bisa membaca voters berdasarkan segmentasi pembaca situs jurnal faktual. Sebab jurnal faktual memiliki segmentasi pembaca tersendiri. Segmentasi tersebut bisa diketahui berdasarkan geografis, minat, umur, dan sebagainya. Kami malas untuk menelusuri voters satu-persatu berdasarkan ip address. Bisa stress sebelum pilkada beres.

Jadi bukan berarti tidak ada data sampelnya, jejak digital adalah data valid dan justru akurasinya tinggi. Asumsinya begini, mana mungkin penduduk luar Sumenep tertarik dengan pilkada Sumenep, sedikit. Dan jika bukan pembaca yang menkonsumsi wacana politik, mana mungkin ikut men-vote? Begitu saja logika sederhananya. Sistem polling akan mencari sampelnya sendiri. Berdasarkan rate share, open rate, bounce rate dan keyword di mesin pencarian.

Akhiron, selamat menikmati. Hasil polling tidak bisa ditepis, walaupun bukan mutlak indikator kemenangan kontestasi politik 2020. Demikian penjelasan polling dengan metodologi ugal-ugalan dari kami. Kami akan lebih serius pada waktunya. Ya nanti, setelah nama-nama cabup-cawabup di launching.

Rasyqi, Direktur Riset dan Development jurnalfaktual.id

[totalpoll id=”24568″]

- Advertisement -
Share This Article