jfid – Indonesia dan Israel, dua negara yang seolah tak pernah akur.
Sejak kemerdekaannya pada 1945, Indonesia selalu bersikap tegas menolak penjajahan Israel atas Palestina dan belum mengakui kedaulatan Israel secara de jure.
Namun, di balik sikap resmi itu, ternyata ada hubungan rahasia yang terjalin antara kedua negara, terutama di bidang ekonomi, pariwisata, dan militer.
Hubungan ini berada di zona abu-abu, yang tak jelas aturan mainnya dan penuh dengan celah-celah yang bisa dimanfaatkan oleh para pelanggar peraturan.
Zona abu-abu ini muncul karena adanya regulasi yang tak tegas dan kepentingan yang saling bertentangan.
Di satu sisi, Indonesia ingin mendukung perjuangan rakyat Palestina sesuai dengan alinea keempat UUD 1945 yang menyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa.
Di sisi lain, Indonesia juga ingin memanfaatkan peluang kerjasama dengan Israel yang memiliki kemajuan teknologi dan ekonomi yang tinggi.
Selain itu, ada juga tekanan dari Amerika Serikat dan negara-negara Barat yang menginginkan Indonesia menjalin hubungan erat dengan sekutu-sekutunya, termasuk Israel.
Hubungan rahasia antara Indonesia dan Israel sudah berlangsung sejak era Orde Baru di bawah kepemimpinan Suharto.
Pada saat itu, Indonesia menerima kedatangan Perdana Menteri Israel, Yitzhak Rabin, yang ingin mendiskusikan hubungan bisnis antara Indonesia dan Tel Aviv.
Indonesia juga membeli 32 pesawat tempur Doughlas A-4 Skyhawk dari Israel pada awal 1980-an, meskipun tanpa pengakuan atau hubungan diplomatik.
Selain itu, Indonesia juga mengirim beberapa perwira dan tentara untuk belajar teknologi militer dan operasi khusus dari Israel dalam operasi rahasia yang disebut Operasi Alpha.
Hubungan rahasia ini semakin berkembang di era reformasi, terutama pada masa kepresidenan Abdurrahman Wahid sejak 1999.
Wahid, yang dikenal dengan julukan Gus Dur, memiliki kedekatan pribadi dengan Shimon Peres, salah satu tokoh penting Israel yang pernah menjadi perdana menteri dan presiden.
Gus Dur dan Peres bertemu pertama kali pada 1994, ketika Gus Dur diundang oleh Rabin untuk berkunjung ke Israel. Sejak itu, keduanya berkolaborasi melalui Yayasan Shimon Peres.
Salah satu upaya Gus Dur untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel adalah dengan mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 23/MPP/01/2001 pada saat Luhut Binsar Panjaitan menjabat sebagai menteri.
Surat keputusan ini memberikan payung hukum bagi hubungan dagang antara Indonesia dan Israel, terutama di bidang produk pertanian, berlian, permata, tekstil, gandum, kurma, bekas senjata berbahan tembaga dan alumunium, dan bahkan bahan bakar.
Selain bidang ekonomi, hubungan rahasia antara Indonesia dan Israel juga terjadi di bidang pariwisata. Banyak warga Indonesia yang ingin melakukan wisata religi ke Israel, terutama untuk mengunjungi Masjid al-Aqsa, Yerusalem, dan Bethlehem.
Namun, karena tidak ada hubungan diplomatik, mereka harus menggunakan bantuan negara ketiga, seperti Yordania, Mesir, atau Turki.
Pada 2017, tercatat ada 36.300 warga Indonesia yang berkunjung ke Israel dalam bentuk wisata religi, yang berdampak cukup besar pada kenaikan GDP Israel, sebesar Rp 816,75 miliar.
Namun, hubungan rahasia ini juga menimbulkan kontroversi dan kebingungan, baik di tingkat internasional maupun domestik.
Di tingkat internasional, Indonesia sering kali mendapat kritik dan tekanan dari negara-negara Arab dan Islam yang menuntut Indonesia untuk bersikap konsisten dan tegas dalam mendukung Palestina.
Di tingkat domestik, hubungan rahasia ini juga menimbulkan pertentangan dan protes dari berbagai pihak, terutama kelompok-kelompok Islam yang mengecam kerjasama dengan Israel sebagai pengkhianatan terhadap saudara seiman dan pelanggaran terhadap UUD 1945.
Salah satu contoh ketegangan yang terjadi akibat hubungan rahasia ini adalah ketika Menteri Luar Negeri Retno Marsudi ingin mengunjungi wilayah Ramallah di Tepi Barat pada Maret 2016.
Israel mengeluarkan larangan over flight kepada Retno karena menilai bahwa Indonesia telah melanggar kesepakatan dalam pertemuan rahasia yang sebelumnya terjadi antara Mark Sofer, Kepala Divisi Asia Kementerian Luar Negeri Israel, dengan sejumlah pejabat Indonesia di Jakarta.
Dalam pertemuan itu, Indonesia diminta untuk menemui sejumlah pejabat Israel sebagai balasan atas kunjungan ke Ramallah. Namun, Retno menolak untuk bertemu dengan pejabat Israel dan membantah adanya pertemuan rahasia tersebut.
Kejadian ini menunjukkan adanya perbedaan sikap dan kepentingan antara pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan rahasia antara Indonesia dan Israel.
Di satu sisi, ada pihak yang ingin memperluas dan mempererat hubungan dengan Israel, seperti Luhut Binsar Panjaitan, yang dianggap sebagai skemator tunggal hubungan informal Indonesia-Israel.
Di sisi lain, ada pihak yang ingin mempertahankan dan memperjuangkan hak-hak Palestina, seperti Retno Marsudi, yang dianggap sebagai penjaga prinsip-prinsip kebijakan luar negeri Indonesia.