E dhayohe teka
E gelarna klasa
E klasane bedah
E tambalen jadah
E jadahe mambu
E pakakna asu
E asune mati
E kelekna kali
E kaline banjir
E selehna pinggir
jfID – Barangkali, Edmund Husserl, seorang Bapak fenomenologi, tak selamanya benar dengan mengatakan bahwa kesadaran selalu bersifat intensional. Berbagai warisan kearifan masa silam justru berkebalikan dalam mencandra hakikat manusia. Taruhlah al-Ghazali yang pernah menyitir ungkapan kanjeng nabi Muhammad yang menyingkapkan karakteristik hati (qalbu) yang selalu “taqalluban” (Perjumpaan di Pasar dan Hati yang Terbolak-balik, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).
Sitiran kakak kandung Ahmad al-Ghazali ini, yang lebih dahulu tenggelam dalam sufisme, cukup apik digubah dalam sebuah tembang dolanan Jawa. Seni tak pelak lagi pernah menjadi media para walisongo dalam mensyi’arkan agama Islam (yang tentunya tak bersifat puritan). Dengan seni sebuah ajaran atau pemahaman akan lebih mudah mengendap dalam benak dan lazimnya memiliki daya tahan yang lebih lama.
Sebagaimana tembang dolanan di atas yang menyajikan kesadaran manusia yang tak selamanya fokus atau mengarah ke suatu titik, yang karenanya sering membuahkan kegagalan. Niat awal dalam tembang E Dhayohe Teka adalah menerima tamu. Tapi sebelum tamu itu datang hatinya sudah nggladrah atau melayang ke mana-mana: pada tikar yang mesti di gelar, pada tikar yang jebol, pada jadah untuk menambal tikar, pada jadah yang basi, pada anjing yang mesti dikasih makan jadah basi, pada anjing yang mati, pada pembuangan bangkai anjing ke kali, pada kali yang banjir, dst.
Ada sebuah karakteristik hati manusia yang khas pada tembang dolanan tersebut. Bukankah sering manusia memikirkan sesuatu yang belum pasti sifatnya—atau lebih tepatnya: rasa khawatir atau was-was dan ketika hal ini dibiarkan berkembang akan mengakibatkan runyam atau ruwetnya sebuah urusan? Dengan kata lain, manusia cenderung suka mempermasalahkan sesuatu yang pada dasarnya bukan merupakan sebuah masalah.
Taruhlah soal isu perhelatan pilkada yang menurut sebagian kalangan tak aman diselenggarakan di saat pademi corona yang berkembang sedemikian rupa menjadi isu penolakan Omnibus Law beberapa saat yang lalu yang kini pun masih berlangsung—yang juga berkelindan dengan penemuan skenario membuat kisruh keadaan atau bahkan sebuah upaya pemakzulan. Rasanya, dengan melihat itu semua, kita seperti seorang lelaki yang berhasrat kawin dan bingung ketika melihat banyaknya perempuan yang hadir atau berupaya ngunggah-unggahi. Dan celakanya, pada akhirnya, karena tak terarah, bisa jadi tak satu pun dari perempuan itu yang berhasil kita kencani—Amburu uceng kelangan dheleg (mengejar yang kakap kehilangan yang teri).
(Heru Harjo Hutomo: penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)