Mengapa Perang Hamas-Israel Tidak Kunjung Berakhir? Ini Faktor-faktor yang Mempengaruhi

Deni Puja Pranata By Deni Puja Pranata
8 Min Read
Mengapa Perang Hamas Israel Tidak Kunjung Berakhir? Ini Faktor Faktor Yang Mempengaruhi
Mengapa Perang Hamas Israel Tidak Kunjung Berakhir? Ini Faktor Faktor Yang Mempengaruhi
- Advertisement -

jfid – Suara dentuman bom dan roket menggema di langit Gaza dan Israel. Asap hitam membumbung tinggi dari reruntuhan bangunan dan kendaraan. Darah mengalir dari tubuh korban yang terluka atau tewas. Tangis dan jeritan kesakitan terdengar di antara puing-puing. Ini adalah pemandangan yang sudah terlalu sering terjadi di wilayah konflik antara Hamas dan Israel.

Perang ini bukanlah perang baru. Ini adalah perang yang sudah berlangsung selama puluhan tahun, bahkan sebelum kedua negara tersebut secara resmi berdiri. Ini adalah perang yang melibatkan sejarah, agama, politik, dan nasionalisme. Ini adalah perang yang tidak mudah diselesaikan dengan diplomasi atau perjanjian damai.

Lalu, apa sebenarnya penyebab perang ini? Mengapa perang ini tidak kunjung berakhir? Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi dinamika konflik ini? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kita perlu melihat lebih dalam latar belakang dan konteks perang ini.

Sejarah Singkat Konflik Hamas-Israel

Ad image

Konflik antara Hamas dan Israel bermula dari konflik antara bangsa Arab dan Yahudi di Palestina. Palestina adalah wilayah yang dianggap suci oleh tiga agama monoteistik besar: Islam, Kristen, dan Yahudi. Di wilayah ini terdapat kota-kota seperti Yerusalem, Betlehem, dan Hebron, yang memiliki makna religius bagi umat beragama.

Sebelum abad ke-20, Palestina adalah bagian dari Kekaisaran Utsmaniyah, sebuah negara Islam yang berpusat di Turki. Namun, setelah Perang Dunia I, kekaisaran ini runtuh dan Palestina jatuh ke tangan Inggris, yang mendapat mandat dari Liga Bangsa-Bangsa untuk mengurus wilayah tersebut.

Pada tahun 1917, Inggris mengeluarkan Deklarasi Balfour, sebuah surat yang menyatakan dukungan Inggris untuk pembentukan “tanah air nasional” bagi bangsa Yahudi di Palestina. Deklarasi ini dipandang sebagai janji Inggris untuk membantu mewujudkan impian Zionisme, yaitu gerakan nasionalis Yahudi yang ingin mendirikan negara Yahudi di tanah leluhur mereka.

Deklarasi Balfour menimbulkan kemarahan dari bangsa Arab di Palestina, yang merasa hak-hak mereka sebagai penduduk asli diabaikan. Mereka menolak kehadiran bangsa Yahudi di tanah mereka dan menuntut kemerdekaan Palestina dari Inggris.

Sementara itu, gelombang imigrasi Yahudi ke Palestina semakin meningkat, terutama setelah Perang Dunia II dan Holocaust, yaitu pembantaian sistematis terhadap enam juta Yahudi oleh Nazi Jerman. Bangsa Yahudi merasa tidak aman di Eropa dan mencari perlindungan di Palestina.

Hal ini menambah ketegangan antara Arab dan Yahudi di Palestina, yang sering kali meletus menjadi bentrokan dan kekerasan. Inggris tidak mampu menyelesaikan masalah ini dan akhirnya memutuskan untuk menyerahkan mandatnya kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1947.

PBB kemudian mengusulkan rencana pembagian Palestina menjadi dua negara: satu untuk Arab dan satu untuk Yahudi. Rencana ini diterima oleh mayoritas bangsa Yahudi, tetapi ditolak oleh mayoritas bangsa Arab. Mereka menganggap rencana ini tidak adil karena memberikan lebih banyak tanah kepada Yahudi daripada kepada Arab.

Pada tanggal 14 Mei 1948, bangsa Yahudi secara sepihak mendeklarasikan kemerdekaan negara Israel. Hal ini memicu perang antara Israel dan negara-negara Arab tetangganya, seperti Mesir, Suriah, Yordania, Lebanon, dan Irak. Perang ini berakhir dengan kemenangan Israel, yang berhasil mempertahankan wilayahnya dan bahkan merebut sebagian wilayah Arab.

Perang ini juga mengakibatkan terjadinya eksodus atau pengungsian massal bangsa Palestina dari tanah mereka. Sekitar 700.000 orang Palestina meninggalkan atau diusir dari rumah mereka dan menjadi pengungsi di negara-negara Arab lainnya atau di kamp-kamp pengungsian yang didirikan oleh PBB.

Sejak saat itu, konflik antara Israel dan Palestina terus berlanjut dengan berbagai bentuk dan intensitas. Israel menghadapi perlawanan dari kelompok-kelompok militan Palestina, seperti Fatah, Jihad Islam, dan Hamas, yang menggunakan berbagai cara, mulai dari gerilya, terorisme, hingga roket, untuk melawan pendudukan Israel.

Israel juga menghadapi tekanan dari komunitas internasional, yang mengkritik kebijakan-kebijakan Israel yang dianggap melanggar hak asasi manusia dan hukum internasional, seperti pembangunan pemukiman Yahudi di wilayah-wilayah yang diduduki Israel, pembatasan pergerakan dan akses bagi warga Palestina, penggunaan kekerasan yang berlebihan terhadap demonstran dan sipil Palestina, dan lain-lain.

Di sisi lain, Israel juga mengklaim bahwa mereka berhak atas tanah Palestina berdasarkan sejarah, agama, dan keamanan. Mereka menganggap bahwa tanah Palestina adalah tanah leluhur mereka yang telah dijanjikan oleh Tuhan kepada mereka. Mereka juga menganggap bahwa mereka harus mempertahankan diri dari ancaman-ancaman yang datang dari negara-negara Arab dan kelompok-kelompok militan Palestina, yang ingin menghapuskan keberadaan Israel.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konflik Hamas-Israel

Konflik antara Hamas dan Israel adalah salah satu bagian dari konflik antara Israel dan Palestina. Hamas adalah sebuah organisasi politik dan militan Islamis yang didirikan pada tahun 1987 sebagai cabang dari Ikhwanul Muslimin (Persaudaraan Muslim) di Palestina. Hamas memiliki tujuan untuk mengakhiri pendudukan Israel di Palestina dan mendirikan negara Islam di seluruh wilayah Palestina historis, termasuk Israel.

Hamas menjadi salah satu kelompok paling kuat dan populer di kalangan warga Palestina, terutama di Jalur Gaza, sebuah wilayah sempit yang dipisahkan dari Tepi Barat oleh wilayah Israel. Jalur Gaza memiliki penduduk sekitar dua juta orang, yang sebagian besar adalah pengungsi Palestina. Jalur Gaza juga merupakan salah satu wilayah paling miskin dan tertindas di dunia, dengan tingkat pengangguran, kemiskinan, dan ketergantungan bantuan kemanusiaan yang sangat tinggi.

Hamas berhasil memenangkan pemilihan umum Palestina pada tahun 2006, mengalahkan Fatah, partai sekuler yang dipimpin oleh Presiden Mahmoud Abbas. Namun, kemenangan ini tidak diakui oleh Israel dan negara-negara Barat, yang menganggap Hamas sebagai organisasi teroris. Mereka menolak untuk bekerja sama dengan Hamas dan memberlakukan sanksi ekonomi dan politik terhadap pemerintahan Hamas.

Hal ini memicu konflik internal antara Hamas dan Fatah, yang berujung pada perpecahan antara Jalur Gaza dan Tepi Barat pada tahun 2007. Hamas menguasai Jalur Gaza dengan kekerasan, sementara Fatah menguasai Tepi Barat dengan dukungan internasional. Sejak saat itu, upaya-upaya rekonsiliasi antara kedua pihak tidak berhasil mencapai kesepakatan.

Sementara itu, Israel juga memberlakukan blokade militer terhadap Jalur Gaza sejak tahun 2007. Blokade ini bertujuan untuk mencegah masuknya senjata dan bahan peledak ke tangan Hamas.

- Advertisement -
Share This Article