jfid – Ketika Dipo Alam, mantan Ketua Dewan Mahasiswa UI (1975-1976), melakukan aksi di TIM (Taman Ismail Marzuki) mencalonkan Gubernur DKI Ali Sadikin sebagai presiden pada bulan Juni 1977, aksi itu menurut pengakuannya didorong untuk “mencegah” Pak Harto berkuasa di periode ketiga. Sebab, menurut Dipo Alam, jika Pak Harto dibiarkan berkuasa selama tiga periode, maka sebagaimana halnya Bung Karno, dia juga akan berkuasa selamanya.
Aksi Dipo Alam ketika itu sebenarnya hanya dilakukan berdua, bersama Bambang Sulistomo, anaknya Bung Tomo. Namun, meskipun hanya dilakukan berdua, aksi itu bikin geger dan mendapatkan publisitas internasional. Sebelum melakukan aksi, dengan jeli Dipo telah mengundang media-media asing, terutama dari Jepang, untuk meliput aksi teatrikal tersebut.
Kenapa Jepang?
Karena Jepang saat itu adalah negara investor terbesar Indonesia. Sesudah peristiwa Malari, pemerintah dipastikan akan berhati-hati menangani semua isu yang disorot oleh media-media Jepang. Dan perhitungan Dipo Alam sepertinya tepat. Tanpa perlu aksi massa besar-besaran seperti yang dilakukan Hariman Siregar ketika Malari, dengan mengundang wartawan-wartawan Jepang, aksi Dipo Alam dan Bambang Sulistomo kemudian berhasil menghiasi halaman koran-koran Jepang. Media seperti Asahi Shimbun juga memuatnya.
Dalam pernyataan publiknya ketika itu, Dipo Alam dan Bambang Sulistomo menyampaikan bahwa pencalonan Ali Sadikin sebagai calon presiden bukanlah dikarenakan kepemimpinan Presiden Soeharto dianggap gagal. Orde Baru justru dinilai berhasil, terutama dalam mengatasi sejumlah persoalan ekonomi yang gagal diatasi oleh rezim Demokrasi Terpimpin.
Namun, sebagai aktivis, Dipo dan kawan-kawannya menilai jika rezim Orde Baru sedang mengkonsolidasikan kekuasaannya. Keberhasilan mereka menyederhanakan jumlah partai politik, yang tak pernah berhasil dilakukan oleh Soekarno, pastilah akan membuat Pak Harto mudah terpilih kembali. Namun, meskipun katakanlah Pak Harto terpilih melalui proses yang demokratis, sampai kapan ia akan terus-menerus dipilih kembali?
Dan, ini yang paling penting, jika ia terus-menerus dipilih kembali, tanpa pencarian alternatif sama sekali, lalu apa bedanya dengan kepemimpinan Bung Karno yang ingin dikoreksi oleh Orde Baru?
Pemikiran itulah yang telah melatarbelakangi aksi pencalonan Ali Sadikin sebagai calon presiden alternatif. Gerakan itu, oleh Dipo Alam dan Bambang Sulistomo dinamakan sebagai “Gerakan Pemikiran”. Dalam petisi pencalonan bertanggal 20 Juni 1977, antara lain mereka menulis: “mencoba mengajukan seorang calon untuk diikutsertakan pada pemilihan presiden pada Sidang Umum MPR bulan Maret 1978”.
Bagi keduanya, terpilih atau tidaknya Ali Sadikin sebenarnya tak menjadi soal benar. Yang jelas, mereka ingin mendobrak anggapan bahwa tak ada orang lain yang layak menjadi presiden selain Pak Harto.
Apa yang dikhawatirkan Dipo Alam kemudian terbukti benar. Pak Harto akhirnya terus berkuasa bahkan hingga melebihi umur kekuasaan Bung Karno. Dan, sama seperti halnya Bung Karno, Pak Harto baru mau meletakkan kekuasaannya sesudah menghadapi krisis besar.
Kita mestinya bisa belajar dari pengalaman masa lalu. Bukankah untuk mengetahui api itu panas atau tidak, kita tak harus menunggu sampai tangan kita terbakar dahulu?