Membuka Kembali Lembaran Nasakom

Syahril Abdillah By Syahril Abdillah
8 Min Read
- Advertisement -

Jurnalfaktual.id | Bhinneka Tunggal Ika, artinya berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Begitulah falsafah masyarakat Indonesia yang tercermin dari sila ke tiga dalam Pancasila yakni Persatuan Indonesia. Berbicara persatuan tentu kita akan membahas golongan-golongan masyarakat berdasarkan krtiteria tertentu.

Secara umum ada tiga golongan besar bangsa Indonesia yang berperan besar dalam membangun Indonesia merdeka yaitu Nasionalis, Islamis dan Sosialis. Persatuan ketiga golongan ini yang akan mengantarkan Indonesia ke depan pintu kemerdekaannya.

Sejarah sudah memperingati kita semua bahwa politik pecah belah kaum imperial berhasil mengkungkung udara hindia belanda atau indonesia selama 350 tahun lamanya Pentingnya persatuan seluruh suku, agama, dan budaya tidak perlu kita ragukan lagi keabsahannya untuk menyongsong Indonesia maju sebagai bangsa yang besar peradabannya.

Untuk itu, mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi peserta didik tak jemu-jemu diajarkan konsep persatuan dalam berbangsa dan bernegara untuk melawan setiap bentuk imperialisme sebagaimana amanat pemimpin besar revolusi Indonesia yakni Bung Karno.

Ad image


Akan tetapi, hari ini kita kembali lagi dibenturkan dengan kebingungan yang membawa kita ke dalam persimpangan antara seruan-seruan persatuan dengan tindakan yang justru mengubur persatuan itu sendiri.

Akhir-akhir ini beberapa ormas atau golongan di negara kita sering terlibat konflik gagasan tentang siapa yang paling berhak dan benar guna membangun bangsa Indonesia sesuai dengan ideologinya masing-masing. Hal tersebut sangat Nampak dengan keluarnya tudingan dari ormas atau golongan satu kepada golongan lain bahwa golongan ini radikal, golongan ini tidak nasionalis, dan berbagai propaganda-proganda sejarah gelap lainnya yang tidak menutup kemungkinan ada sejumlah kepentingan dibelakangnya.

Oleh keadaan demikian kita seakan-akan dipaksa kembali lagi pada masa 1926 ketika tiga golongan besar tesebut saling bersebrangan pandangan guna mencapai Indonesia merdeka. Oleh karena sifat imperialisme dan kolonialisme yang rakus akan emas biru di tanah hindia ini dalam bentuknya yang baru pada zaman ini, maka tidak sekali-kali akan melepaskan sedikitpun cengkramannya karena bangkitnya kemerdekaan secara sosial dan ekonomi tanah jajahan itu akan menggali lubang kuburannya sendiri.

Oleh karena itu, kita harus bersatu padu menggalang kekuatan yang maha dahsyat dalam Nasakom untuk menumbangkan segala bentuk kerakusan imperialisme sampai kapanpun juga. Marilah kita buka lembaran-lembaran Nasakom itu guna memetik nilai dari pada zaman yang baru ini dan bentuk imperial yang baru pula.


Yang pertama-tama Nasakom adalah kepanjangan dari tiga paham yang mempunyai andil besar dalam perjuangan Indonesia merdeka yaitu, Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme. Dahulu pada saat konsep ini dilahirkan yaitu pada tahun 1926, ketiga paham tersebut memiliki bentuknya sendiri dalam organisasi massa yaitu PNI, SI, PKI dan beberapa golongan yang lebih kecil lainnya. Di era reformasi ini ketiga paham tersebut melahirkan bentuk-bentuknya yang baru pula mulai dari partai politik, Ormas, sampai organisasi kepemudaan.

Kemudian apakah paham Nasionalis yang yang sifatnya terikat pada batas-batas teritotial sebuah negara bisa disandingkan dengan paham islamis yang sifatnya internasional? Atau bisakah paham islamis itu disandingkan dengan paham marxis yang sifatnya kebendaan? Atau sebaliknya maka jawabannya Bisa!. Menurut Ernest Renan dan Otto Bauer, Nasional atau Bangsa itu lahir dari adanya persamaan nasib yaitu sama-sama hidup dalam cengkraman imperialisme dan kehendak atau perangai untuk bersatu.

Oleh sebab itu bung karno memperingatkan bahwa meskipun Nasionalisme pada hakekatnya mengecualikan pihak yang tidak mengalami persamaan nasib dan mengecualikan pihak yang tidak mau akan persatuan maka sekali-kali kita tidak boleh lupa bahwa pihak islamis dan marxis yang ada di indonesia ini sama-sama dilahirkan dari rahim ibu pertiwi dalam keadaan nista akan cengkraman ekonominya imperialisme.

Sehingga, dengan keadaan persamaan tersebut menjadikan nasionalis, islamis dan marxis harus bersatu padu. Begitu juga mahatma gandi mengingatkan kita bahwa kaum nasionalis yang mencintai bangsa nya itu secara otomatis juga mencintai segenap manusia yang ada didalamnya atas dasar peri kemanusiaan. Oleh karena orang-orang islamis dan marxis juga lahir dari rahim ibu pertiwi yang sama maka amat sempit sekali pemahaman orang nasionalis itu yang membenci dan tak mau bersatu dengan pihak yang lainnya.


Dalam pan-islamisme kita mengenal sosok revolusioner yang dengan cahaya ilmu nya, peradaban islam ditimur bangkit terhadap cengkraman peradaban barat, Sosok itu ialah Mohammad Abduh dan Jamaluddin Al afghani. Dari dua tokoh pembaharu islam ini kita belajar bahwa islam sejati itu juga menggunakan cara-cara nasionalis dan sosialis. Bukankah dalam agama islam pemeluknya ditabiatkan untuk selalu mencintai dan bekerja untuk negri yang ia tempati sebagaimana kaum Nasionalis.

Bukankah islam mewajibkan para pemeluknya untuk mencintai dan bekerja untuk rakyat dan sesama manusia dimana ia hidup sebagaimana kaum sosialis. Maka dari itu cukup teranglah bahwa kaum islamis tidak baik memusuhi kaum Nasionalis dan sosialis yang menjadi bagian dari tugas seorang muslim sejati. Dan hanya orang-orang yang tak memahami ajaran agama nya yang tidak mau bersatu dengan pihak-pihak yang lain.


Marxisme adalah paham ketiga yang akan kita kupas. Mendengar kata Marxisme tentu dalam benak kita akan terlintas sekumpulan manusia-manusia melarat, miskin, dan compang-camping penampilannya berduyun-duyun dari segenap bangsa. Tampak di garda depan pemimpin kaum melarat tadi yang ahli dalam bidang keilmuan yang bernama Heinrich Karl Marx. Beliau mengajarkan dalam teori sosialnya bahwa manusia dalam masyarakat kapitalisme dan imperialisme tidak akan mendapat kemajuannya dari kemalaratan hidup apabila tidak direbut dengan paksa hak-hak ekonomi kaum yang telah dirampas oleh kaum imperial. Teori itu bernama Meerwaarde, yang intinya berbunyi “pendapatan hasil produksi kaum buruh lebih besar dibandingkan pendapatan yang ia terima sebagai upah”. Hal demikian selaras dengan apa yang diharamkan dalam ajaran islam yaitu Riba, dimana hasil pendapatan yang tidak disesuaikan dengan takaran bekerjanya. Sehingga tidak boleh tidak kaum Marxis harus bersatu dengan kaum nasionalis dan islamis untuk memberantas teori Meerwaarde atau riba dalam islam tersebut.

Membuka kembali lembaran Nasakom tersebut menyadarkan kita bahwa di zaman baru ini (Reformasi), upaya-upaya penguburan nilai-nilai persatuan dalam bentuk apapun termasuk tudingan-tudingan yang tidak berdasar antara kelompok satu dengan yang lainnya segera dihentikan. Karena hal demikian tidak akan menambah sedikitpun kemajuan bangsa indonesia kita ini. Untuk itu, mari kita jadikan Sejarah sebagai bahan pembelajaran kita semua untuk peradaban indonesia dikemudian hari. Karena Bung karno berkata “JAS MERAH, jangan sekali-kali melupakan Sejarah. Sebab siapa yag tidak belajar pada Sejarah maka ia akan mengulang Sejarah itu sendiri!”.

Tentang Penulis: Bung Furqon, Mahasiswa IAN Madura

- Advertisement -
TAGGED:
Share This Article