jfID – Sehubungan dengan momentum Politik, sekarang ini ada fenomena dari Calon Bupati (Cabup) Sumenep, Madura, Jawa Timur, Fattah Jasin. Terkait pernyataannya yang mengatakan “bahasa kepulauan khususnya Pulau Sapeken sebagai Bahasa Tarzan”. Dikutip dari rekaman yg berdurasi 53 detik. Pernyataan Cabup Nomor Urut Dua yang kini viral di Media Sosial (Medsos) itu, sudah menimbulkan tanggapan ‘pro dan kontra’ ditengah-tengah masyarakat Kepulauan khususnya Kecamatan Sapeken.
Rangkaian tanggapan di masyarakat kepulauan juga media sosial membuat kening berkerut-kerut. Setidaknya, beberapa respon terkait rekaman pernyataan Fattah Jasin itu telah memberikan ruang tafsir yang multi-interpretasi. Tetapi sebagai kajian ‘sudut pandang’ bahasa, tentu kita sangat menghargai keragaman cara berpikir.
Pada kenyataannya, ungkapan kata “Tarzan” tidak dapat dilepaskan dari konteksnya. Maka artikulasi dari kata “Tarzan” tersebut lahir dari situasi lingkup sosial-Budaya tertentu. Sebagaimana Fairclough (1995:1) mengemukakan bahwa kekuasaan secara konseptual memiliki dua makna, pertama, ketidaksimetrisan antar partisipan dalam peristiwa-peristiwa wacana dan kedua ketidaksamaan kapasitas dalam mengontrol bagaimana sebuah ungkapan diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi dalam konteks budaya tertentu.
Juga jika di pahami secara utuh rekaman dari Calon bupati, Fattah Jasin, sedang menceritakan pengalamannya saat berkunjung di kepulauan Sapeken. Secara detail Fattah Jasin, menyebutkan satu-persatu deretan pulau/desa mulai dari pulau Pagerungan besar sampai pulau Sapangkur, juga pada keunikan kearifan lokal dan keberagaman yang ada di kecamatan Sapeken, Bermaksud mengkomprasikan Bahasa mayoritas Kepulauan Sapeken dengan bahasa Madura, Fattah Jasin menjelaskan orang Sapeken adalah orang Makasar, dengan perbedaan bahasa yang dimaksud dengan bahasa “tarzan” yang bertujuan menegaskan perbedaan antara bahasa Madura dan bahasa lokal di kecamatan Sapeken.
Diketahui bahwa Bahasa mayoritas Kecamatan Sapeken adalah Bahasa Bajau dari Suku SAMA, menurut Badan Pusat Statistik (Sumenep Dalam Angka 2019) Disebutkan Demografi Suku Sama/Bajau sebanyak 68 %, Bugis 9 %, Suku Mandar 12 %, Madura 7 % dan Jawa 4%.
Dalam sejarahnya, perkembangan Kecamatan Sapeken, menurut Buku Lontara berawal dari datuk Barasanji pada abad – 19 sebagai keturunan dari Kerajaan Sabah (Malaysia) yang berlayar dari Sulawesi Tenggara dalam sebuah misi kedaulatan, hingga sampai menemukan kepulauan Sapeken, dan singgah dipulau Sabuntan.
Datuk Barasanji merupakan keturan dari Suku Sama/Bajau, yang akhirnya menetap di kepulauan sapeken bersama beberapa datuk lainnya yang dalam sebutan orang suku Sama/Bajau adalah Lolo Bajau (Panglima/tertua/sesepuh). Mengingat suku Sama/Bajau kehidupannya yang nomaden, pada akhirnya, berdatanganlah suku Sama/Bajau lainnya, juga suku lain yang dalam hal ini, suku Mandar dan suku Bugis.
Pembagian wilayah kepulauan di kepualaun Sapeken dibagi menjadi 3 poros, yaitu Sadulang, Sabuntan, Sapeken, Sasiil, dan Toroh (Tanjung kiaok) adalah tempat orang suku Sama/Bajau, sedangkan Pagerungan Besar pertama ditempati oleh suku Mandar, dan Skala ditemukan pertama kali oleh suku Bugis dan nelayan suku Mandar.
Selanjutnya, saat ekpansi kekuasaan kerajaan Majapahit menyebar di sudut nusantara, dan keraton Madura (Sumenep) adalah salah satu afiliasi dari kerajaan Majapahit, maka Datuk Barasanji kemudian meminta suaka pada karaton madura untuk sebuah pengakuan teritorial kepulauan Sapeken. Sampai akhirnya diplomasi tingkat tinggi yang dilakukan Datuk Barasanji tercapai dengan menikahi salah satu putri dari keraton Madura dengan tujuan adanya pengakuan bahwa Kepulauan Sapeken adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan Keraton Madura (Sumenep).
Kembali pada persoalan bahasa, bersatunya Kecamatan Sapeken sebagai bagian dari Kabupaten Sumenep adalah untuk sebuah peradaban suku Sama/Bajau. Perbedaan bahasa antara Madura dan Bajau adalah fenomena sosial-politik dalam demografi sebuah wilayah. Bagi orang Madura yang mendengar penuturan bahasa bajau juga akan merasa ‘aneh’, juga sebaliknya orang Suku Sama/Bajau mendengar penuturan orang Madura juga ‘aneh’ dalam maksud tidak mengerti.
Maka, Jika ditelaah dalam sudut pandang teori tradisional kaitannya dengan ungkapan “Tarzan” dari Fattah Jasin merupakan gaya bahasa yang bermaksud menjelaskan perbedaan dengan mengkontruksinya dalam bentuk tuturan. Asumsinya bahwa kata “Tarzan” berdasarkan makna diukur sebagai sesuatu yang berbeda, sehingga makna denotatifnya tidak merupakan penyimpangan. Karena acuan yang digunakan bentuk “Analogi” yang menjelaskan perbedaan dari dua Bahasa si penutur dengan mempertahankan makna dasar yaitu “Sesuatu yang berbeda”, maka bahasa itu masih bersifat polos.
Penulis adalah Putra asli Suku Bajau dari Kepulauan Sapeken. Calon doktor yang fokus meneliti kehidupan suku Sama/Bajau.