jfID – Pada hari Kamis, 14 Mei 2020, sekira jam 13.30 Wib. Saya bermaksud untuk mengunjungi klien saya, Notaris/PPAT yang berpraktik di Jakarta, yang ditahan oleh Penyidik Bareskrim Polri sejak 2 bulan yang lalu. Sekarang statusnya menjadi Tahanan Kejaksaan yang dititipkan di Bareskrim Mabes Polri.
Bahwa, saya dikagetkan oleh ulah Petugas Tahanan yang melarang saya untuk membesuk Klien saya tersebut dengan alasan: “Dimasa Covid Tahanan Tidak Boleh Dibesuk oleh Siapapun, termasuk oleh Penasehat Hukumnya. Ini protap Kapolri”. Begitu kata petugas penjaga tahanan bawah tanah yang terdapat di Markas Besar Polri di Jl. Trunojoyo Jakarta.
Bahwa apa yang saya alami tersebut, ternyata membenarkan pengakuan suami klien saya yang selama 2 (dua) bulan ini tidak bisa membesuk istrinya, maupun pengakuan dari rekan-rekan sejawat dari klien saya selaku sesama Notaris/PPAT. Kesemuanya mengaku tidak diperbolehkan untuk mengunjungi klien saya tersebut.
Bahwa menurut saya, melarang Terdakwa atau Penasehat Hukumnya untuk berhubungan, merupakan Kebijakan yang bertentangan dengan pasal 57 dan 69 KUHAP, serta merupakan kebijakan yang LEBAY. Sebab, Protap yang dibuat Kapolri tersebut tidak memiliki landasan logis yang ada hubungannya dengan upaya pencegahan penyebaran Covid-19, baik dengan mengacu pada ketentuan PP No. 21/2020, maupun Permenkes No.9/2020, serta petunjuk-petunjuk teknis yang sudah lazim diketahui publik. Protap yang standar adalah: 1. Jaga Jarak, 2. Pakai Masker, 3. Cuci Tangan atau kalau bisa tidak kontak fisik.
Dibawah protap yang demikian, Kapolri sesungguhnya telah mengasumsikan secara general dan membabi-buta kalau pengunjung, termasuk Penasehat Hukumnya datang dengan membawa Covid-19. Lagi pula kalau sudah menggunakan protap yang standar, yaitu pakai masker, jaga jarak dan tidak kontak fisik, apalagi yang dikhuwatirkan oleh Kapolri?
Merujuk pada ketentuan peraturan perundangan-perundangan yang ada mengenai Darurat Kesehatan, tidak ada pengecualian yang diskriminatif antara warga Tahanan dengan warga yang bebas diluaran. Kesemuanya tetap berhak untuk saling berkomunikasi dengan siapapun yang dikehendaki. Apalagi antara Tersangka yang ditahan dengan Penasehat Hukumnya. Yang penting pakai protap Covid yang sudah ditetapkan pemerintah.
Bahwa, penerapan protap yang diterapkan oleh Kapolri, sepanjang melarang Penasehat Hukum dan Tersangka untuk saling berhubungan merupakan perbuatan yang melanggar hukum.
Lebih dari itu, saya berpendapat bahwa protap seperti ini sengaja dimanfaatkan untuk kepentingan penyidik dan penuntut umum, karena mereka, penyidik dan penuntut umum berkepentingan untuk memenangkan sangkaan/dakwaannya yaitu dengan cara mengurangi kesempatan Tersangka atau Terdakwa untuk memperoleh pembelaan yang maksimal.
Bahwa dan/atau, melarang Penasehat Hukum untuk tidak berhubungan dengan Kliennya yang ditahan, sedangkan penyidik dan penuntut umum bebas untuk berhubungan, juga merupakan kebijakan yang diskriminatif karena memberhangus kesetaraan Penasehat Hukum dengan Penyidik dan Penuntut Umum sebagai sesama Penegak Hukum (Catur Wangsa).
Darurat Kesehatan tidak dapat diimplementasikan seperti yang dilakukan oleh Kapolri dengan cara membuat protap yang berlebihan dan melanggar hak-hak Tersangka dan Penasehat Hukum. Tersangka maupun Penasehat Hukumnya dapat saling berhubungan akan tetapi dengan mengikuti protap yang standar, yakni: Jaga Jarak, Pakai Masker, Cuci Tangan, dan seterusnya.
Bahwa lagi pula, sebelum masuk lingkungan kantor Bareskrim, Penasehat Hukum telah cuci tangan, dan melalui bilik penyemprotan disinfektan. Lalu apalagi yang ditakuti dari saya selaku Penasehat Hukum untuk berhubungan dengan klien saya yang ditahan tersebut.
Berharap Jaksa, Kepala Lapas dan Pengadilan Negeri agar juga tidak membuat Protap yang Berlebihan.
Selain itu, saya juga berpendapat, Jaksa Penuntut Umum ataupun Kepala Lapas diseluruh Indonesia untuk tidak membuat protap Covid yang berlebihan, antara lain: tidak menghadirkan Terdakwa ke Persidangan, dan menggantinya dengan telekonferensi. Sebab cara yang demikian juga tidak beralasan hukum karena bukan merupakan protap yang standar yang ditetapkan oleh lembaga kesehatan.
Menghalangi Tersangka atau Penasehat Hukum untuk saling berhubungan, serta tidak menghadirkan Tersangka/Terdakwa ke persidangan, dan menggantinya dengan cara telpon maupun telekonferensi tidak dapat mewakili kepentingan substantif dari ketentuan pasal 57 dan 69 KUHAP karena komunikasi yang dikehendaki berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut, terdapat kepentingan yang tidak dapat didengar atau diketahui oleh orang lain. Termasuk tidak boleh didengar oleh penyidik, Penuntut Umum maupun Petugas Lembaga Pemasyarakatan, atau siapapun yang tidak dikehendaki oleh Penasehat Hukum dan Tersangka atau Terdakwa.
Dan/atau, protap melarang Penasehat Hukum untuk berkomunikasi langsung dengan kliennya, serta tidak menghadirkan Terdakwa ke persidangan yang terbuka untuk umum, dengan menggantinya dengan cara telpon dan telekonferensi, telah mengurangi hak Tersangka/Terdakwa untuk memperoleh pembelaan yang maksimal dari Penasehat Hukumnya.
Dengan demikian, karena Kapolri telah menghalang-halangi saya selaku Penasehat Hukum untuk mengunjungi klien saya yang berada di ruangan tahanan bawah tanah, maka perbuatan Kapolri tersebut, merupakan Perbuatan Melanggar Hukum dan selanjutnya akan saya gugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), yang rencananya akan didaftarkan pada hari Jum’at, 15 Mei 2020.
Jakarta, 14 Mei 2020