Makar

Citra Dara Trisna By Citra Dara Trisna
5 Min Read
ilustrasi-makar
ilustrasi-makar
- Advertisement -

jfid – Konon demokrasi butuh ”dialog” agar terus hidup. Tapi, demokrasi—pencapaian terbesar di sejarah kemanusiaan—tetap punya lubang hitam. Maka, tiba juga akhirnya. Suatu masa ketika demokrasi dapat berjalan beriringan dengan tuduhan, buruk sangka dan pembungkaman. Bila iklim demokrasi tak kunjung berubah dan ada elit atau rakyat bertanya: bagaimana cara yang elegan agar seorang presiden dapat dipaksa turun dari jabatannya? Perople power

Tidak! Kata pemerintah. Itu tidak etis dan melanggar hukum: makar, katanya!

Sebelum tahun 2014, kelompok yang dekat dengan jeruji besi hanya penjahat kelas kacang goreng yang lahir di gang sempit perkampungan kumuh. Tapi, di hari ini, politikus yang berada di sebuah meja mengkilat dengan bau pengharum ruangan pun punya kesempatan—memperoleh penjara—yang sama dengan penjahat kelas teri. Cukup dengan seorang kader partai berkata ”makar” dan lapor polisi, hari itu juga politikus penyeru people power digulung. 

Penetapan tersangka kasus makar beberapa waktu lalu tidak terjadi dengan drama. Sebagaimana kasus yang tidak biasa. ”Pembungkaman” terjadi dengan biasa, seperti halnya penangkapan copet. Pelapor dan polisi tak perlu ragu. Apalagi dialog. Kalau pun dialog harus ada, itu hanya terjadi hanya di lingkaran kekuasaan—menakar sejauh mana gejolak yang bakal terjadi setelah represi. 

Ad image

Begitu mudah tuduhan ”makar” itu dikoarkan hanya karena seseorang menyebut people power dalam pidato. Bukankah bagian terpenting dari demokrasi adalah kebebasan menyuarakan sesuatu? Soal pantas tidaknya people power terjadi, itu nomor 327 dan biarkan rakyat yang menilai. Karena yang terpenting dari people power adalah rakyat—sosok ”tuhan” dalam demokrasi. 

Selamanya, people power atau kekuatan rakyat (hanya) terjadi ketika tingkat gembelengan penguasa sudah tidak dapat ditolelir. Dan yang patut dicatat pemerintahan Jokowi: people power hanya terjadi ketika pembungkaman mencapai puncaknya. Tapi, sialnya, petaka pembungkaman terjadi justru di era demokrasi diagung-agungkan; di periode kepemimpinan presiden yang diusung partai berlabel demokrasi. 

Ya, penguasa selalu punya cara yang sadis untuk membungkam. Bagi saya, tuduhan makar pada seseorang atau kelompok itu terbilang cukup berani di negara demokrasi. Apa dalam hal ini penguasa sedang berdiri dengan jantan untuk menuduh makar seseorang atau sebuah kelompok. Pasti ada sesuatu di baliknya. Ya, ada separuh rakyat yang setuju. Rakyat yang ikut marah ketika penguasa marah. Dan rakyat Indonesia bukan tipikal manusia yang mudah percaya. Mengapa mereka perlu ikut marah, itulah yang perlu dicari. 

Kata orang, kebutaan semi permanen yang dialami rakyat berangkat dari sebuah meja redaksi. Dari sebuah kantor yang mengurusi media sosial dan mengotori penilaian rakyat. Penguasa diktator akan menggenggam militer, penguasa yang sadar akan ”citra” membutuhkan sepasukan pejuang media sosial. Orang-orang di balik Jokowi juga bukan gerombolan orang bodoh yang hanya punya nekat. Begitu pentingnya ”citra” hingga sangat perlu memantau apa yang dipikirkan rakyat. Dalam hal ini, penguasa tahu betul ia didukung oleh separuh rakyat yang juga marah ada kelompok-kelompok yang dianggap membahayakan dan ingin menggulingkan pemerintah (yang sah). Bila pemerintah tahu hal ini, maka apa alasan penguasa jadi cemas hanya karena ada koar-koar people power yang jelas-jelas tidak mungkin terjadi. Kalau pun separuh orang di Indonesia benar-benar marah, yang terjadi bukanlah people power tapi konflik horisontal. Sekali lagi: pemerintah selalu punya dalih. 

Apakah dengan dukungan separuh rakyat ikut-ikut marah karena ada yang dituduh makar maka represi jadi legal? Ya, rumus klasik demokrasi: dari 100 pemilih, 51 orang beserta pemerintah boleh menyingkirkan oposisi dan melibas 49 orang lainnya. Mungkin lebih tepat jika ditambah ratusan petugas TPS yang mati tanpa penjelasan. Dan sudah terbukti: separuh rakyat plus satu orang melumrahkan ratusan nyawa mati sia-sia. 

Drama tengik soal people power bukan hanya terjadi di hari ini. Pada 2014 silam, pekik people power punya dampak yang berbeda dengan hari ini. Maka people power kali ini tidak menggetarkan. Kalau hari ini ada yang digulung lantaran people power sudah tidak mengherankan saya. Mungkin hanya inilah satu-satunya dalih sembari terus memelihara subjektivisme tumbuh subur.  

Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, pembungkaman yang terus berlanjut inilah yang bakal melahirkan people power dalam arti yang sebenarnya, sebagaimana yang terjadi di Filipina dan Kuba. Yang terjadi di Libya dan Indonesia (1998) tidak pernah saya akui sebagai people power. 

Rabu Legi, 10 Juli 2019

- Advertisement -
TAGGED:
Share This Article