Logika Pasca Ruang

Heru Harjo Hutomo By Heru Harjo Hutomo
4 Min Read
- Advertisement -

jfID – Adalah Khalid bin Walid, seorang ahli strategi sekaligus senapati perang, yang mampu mengalahkan pasukan nabi Muhammad di perang Uhud. Konon, sang nabi itu sampai tanggal gigi dan terhujam anak panah betisnya—betapa manusianya ia.

Nabi Muhammad ketika itu mesti mengalah dan mengikuti suara terbanyak untuk mengambil harta rampasan perang, padahal—sebagaimana intuisi sang nabi—siasat pasukan musuh yang dipimpin seorang Khalid bin Walid adalah memancing untuk kemudian lengah dan secepatnya menyerang balik. Tapi “kebenaran” sang nabi tak digubris. Dan atas kehendak orang banyak itu sang nabi dan pasukannya terpaksa menderita kekalahan.

Ada beberapa hal yang dapat saya catat dari peristiwa Uhud terkait dengan “kebenaran”: (1) benere dhewe (benarnya sendiri), (2) benering wong (benarnya orang banyak), (3) benering bener (al-Haqq). Tiga derajat “kebenaran” ini penting saya utarakan di masa kini karena apa yang pernah saya sebut sebagai gelombang populisme masih mewabah sedemikian parahnya, yang acap bersembunyi di balik jargon “kehendak rakyat.” Benarkah merendahkan, mencaci-maki, dan memfitnah orang dengan alasan untuk membuatnya melambung adalah karena “kehendak rakyat”?

Benar bahwa demokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat di mana suara terbanyak menjadi berhak untuk kepalanya mendongak. Tapi sebenarnya demokrasi tak pernah sesederhana itu. Di Athena, yang konon menjadi sumber utama konsep dan praktik demokrasi, telah terlebih dahulu membudayakan apa yang disebut sebagai isegoria, yang secara sederhana dapat dimaknai sebagai kemampuan untuk secara bebas menyatakan pendapat di ruang publik.

Ad image

Isegoria yang dipraktikkan di Athena bukanlah sekedar praktik menyuarakan hak dan menyatakan pendapat secara jujur. Tapi ada kaitannya pula dengan sebuah praktik intelektualitas. Berbicara intelektualitas tentu berbicara pula tentang batas, proporsi, dasar argumen atau data, dan yang pasti adalah nalar. Saya kira isegoria ini telah dirintis oleh Sokrates yang suka blusukan ke mana-mana untuk sekedar mengasah nalar orang-orang yang ditemuinya—agar tak mudah untuk njeplak.

Ketika apa yang dinamakan sebagai “rakyat” telah terberdayakan intelektualitasnya, maka klaim “kehendak rakyat” dan bahkan demokrasi bukan lagi sebuah isapan jempol belaka. Pancasila, lewat sila ke empatnya—Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan—sebenarnya secara implisit mengingatkan bahwa suara terbanyak belum tentu mencerminkan “kebenaran.”

Di sinilah kemudian letak pentingnya sebuah permusyawaratan, sebuah negosiasi, agar “masturbasi” tak terjadi di mana masing-masing orang kekeuh dengan kebenarannya sendiri (benere dhewe) yang akan menyebabkan timbulnya otoritarianisme dan totalitarianisme. Dengan permusyawaratan “kebenaran” masing-masing itu akan dinegosiasikan untuk mencapai mufakat (benering wong).

Tapi Pancasila ternyata menyelipkan kata “hikmat kebijaksanaan” dalam sila ke empat itu. Artinya, dalam logika Pancasila, benering wong yang dicapai dalam permusyawaratan belumlah memenuhi kriteria “kebenaran-yang-benar” (benering bener). Maka pada titik ini, sesungguhnya secara implisit Pancasila telah menyajikan jenjang-jenjang terciptanya “kebenaran” di mana “kebenaran” itu pada akhirnya harus pula bermuara pada benering bener (al-Haqq) yang dilambangkan dengan sila pertama: Ketuhanan yang Maha Esa. Dengan kata lain, dalam dirinya sendiri, Pancasila memang tak pernah menyediakan ruang bagi terciptanya segala bentuk ekstrimisme, baik itu liberalisme (benere dhewe) maupun komunisme (benering wong). Ia selalu mengingatkan agar untuk mencapai “kebenaran” merengkuh pula “kebenaran-yang-benar,” benering bener (al-Haqq). 

(Heru Harjo Hutomo/ penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermainmusik)

- Advertisement -
Share This Article