jfid – Di tengah-tengah perang antara Israel dan Hamas yang memporak-porandakan Gaza, dua negara rival di Timur Tengah, Iran dan Saudi Arabia, mencoba untuk meredakan ketegangan dan bekerja sama demi kepentingan bersama.
Pertemuan antara Presiden Iran Ebrahim Raisi dan Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman (MBS) di Riyadh pada Sabtu (11/11) menjadi tonggak sejarah dalam hubungan kedua negara yang penuh konflik.
Iran dan Saudi Arabia, yang mewakili dua aliran utama Islam, Syiah dan Sunni, telah bersaing memperebutkan pengaruh di kawasan, dengan mendukung pihak-pihak yang berlawanan di berbagai negara, seperti Suriah, Irak, Lebanon, dan Yaman.
Kedua negara juga memiliki ambisi untuk menjadi pemain global, dengan mengembangkan program nuklir dan kerja sama dengan negara-negara besar, seperti Tiongkok dan Amerika Serikat.
Namun, perang di Gaza, yang telah menewaskan lebih dari 1.200 warga Palestina dan 1.300 warga Israel sejak 7 Oktober, menjadi pemicu bagi kedua negara untuk mencari jalan damai dan solidaritas.
Iran dan Saudi Arabia sepakat untuk mengutuk agresi Israel terhadap rakyat Palestina dan menuntut penghentian segera serangan militer dan blokade di Gaza. Mereka juga menolak pembenaran Israel bahwa tindakannya adalah bentuk pertahanan diri.
Pertemuan Raisi dan MBS berlangsung di sela-sela KTT Arab-Islam yang luar biasa, yang dihadiri oleh 57 negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dan Liga Arab.
KTT ini merupakan inisiatif dari Saudi Arabia, yang ingin menunjukkan peran kepemimpinannya di dunia Islam dan menggalang dukungan internasional untuk Palestina.
Ini adalah kunjungan pertama Raisi ke Saudi Arabia sejak ia menjabat sebagai presiden Iran pada Agustus lalu. Ini juga adalah pertemuan pertama antara pemimpin Iran dan Saudi Arabia dalam 10 tahun terakhir.
Hubungan kedua negara sempat memburuk pada 2016, ketika Saudi Arabia memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran setelah kedutaan besarnya di Teheran diserang oleh massa yang marah atas eksekusi tokoh Syiah Saudi, Nimr al-Nimr.
Namun, pada Maret 2023, Iran dan Saudi Arabia sepakat untuk memulihkan hubungan mereka, berkat perantaraan Tiongkok, yang mengajak keduanya untuk berpartisipasi dalam proyek kerja sama tiga negara, termasuk pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir di Saudi Arabia.
Sejak itu, perdagangan antara Iran dan Saudi Arabia meningkat pesat, mencapai nilai tertinggi dalam beberapa bulan terakhir.
Pertemuan Raisi dan MBS juga melanjutkan diskusi panjang yang mereka lakukan melalui telepon pada 12 Oktober lalu, yang membahas situasi di Gaza.
Ini adalah pembicaraan telepon pertama antara pemimpin Iran dan Saudi Arabia. Keduanya sepakat bahwa perang di Gaza harus diakhiri dan bahwa kehadiran Amerika Serikat di Israel adalah ancaman bagi perdamaian di Timur Tengah.
Sebagai hasil dari pembicaraan tersebut, Saudi Arabia setuju untuk membekukan hubungan dengan Israel, yang sebelumnya telah dinormalisasi pada 2022. Iran juga setuju untuk mengikuti kebijakan ekonomi Saudi Arabia, yang mengalami kesulitan akibat embargo Amerika Serikat.
Dengan adanya Saudi Arabia sebagai pembeli minyak dari Iran, maka harga minyak dunia akan berada di bawah kendali Saudi Arabia, yang ingin menjadi pemain global dengan dominasi minyak bumi.
Apa yang Saudi Arabia dapatkan dari Iran? Saudi Arabia sangat memerlukan keamanan di wilayahnya, yang sering mendapat serangan dari milisi Houthi, yang didukung oleh Iran.
Iran memerintahkan Houthi untuk berhenti berperang dengan Saudi Arabia dan mengalihkan serangan mereka ke Israel. Ini adalah perubahan besar bagi Timur Tengah.
Cita-cita besar MBS adalah membangun Saudi Arabia tanpa ketergantungan pada minyak bumi pada 2030, menjadikan Saudi Arabia negara jasa, negara pariwisata, tamu Allah, dan negara teknologi.
Semua itu tidak mungkin terjadi jika Saudi Arabia membangunnya di tengah perang. Oleh karena itu, MBS ingin berdamai dengan Houthi dan membuat serangan Israel ke Palestina berhenti dengan kekuatan tekanan.
Caranya adalah dengan menaikkan harga minyak bumi di atas $120 per barel, bahkan mungkin sampai $150 per barel, dengan menekan Amerika Serikat dan Israel.
Pertemuan Raisi dan MBS menunjukkan bahwa Iran dan Saudi Arabia bersedia untuk mengesampingkan perbedaan dan persaingan mereka demi kepentingan bersama, yaitu membela hak-hak rakyat Palestina dan menstabilkan kawasan Timur Tengah.
Ini juga menantang peran Amerika Serikat sebagai penjaga keamanan Timur Tengah, yang dianggap gagal dan mengambil keuntungan terlalu besar dari kawasan tersebut.