Korupsi Demokrasi, 22 Tahun Arah Reformasi

Deni Puja Pranata By Deni Puja Pranata
4 Min Read
- Advertisement -

jfid – 22 tahun reformasi berjalan, apa yang dicita-citakan tentu terwujudnya sebuah Demokrasi. Tidak hanya demokrasi, pemberantasan korupsi juga menjadi niat utama dari arah reformasi. Lantas, kemana arahnya?

Infrastruktur politik menjadi sistesa kekaburan Demokrasi, biaya politik yang mahal menjadikan jalan buntu kran demokrasi. Kantong-kantong kekuasaan dipengaruhi kuat oleh para pemodal.

Korupsi Demokrasi adalah fenomena yang terikat dalam realitas kehidupan. Entah apa, yang harus dibangun dari konstruksi positif demokrasi. Mungkin hanya sebuah nama atau parfum dari antitesa kediktatoran orde baru, mungkin.

Korupsi tidak bisa diimajinasikan secara sepihak sebagai tindakan penangkapan KPK pada koruptor atau saat OTT. Namun, pemilihan kepala daerah, sekalipun kepala desa yang menggunakan kekuatan uang adalah korupsi Demokrasi.

Ad image

Demokrasi yang mulanya digaungkan sebagai harapan, kini memuntahkan sebuah pesimesme. Semisal, transaksi politik dianggap sesuatu yang lumrah. Pidana pemilu hanya sebagai tameng dari kejahatan demokrasi.

Penyebab korupsi Demokrasi adalah kepentingan para pemodal. Prof Jeffrey Winters mengatakan, “salah satu jalan untuk menumbangkan kekuatan pemodal, masyarakat perlu menyumbangkan uangnya untuk biaya kampanye. Uang harus dilawan dengan uang,” Apakah itu rasional? Bulzieet.

Kepentingan pemodal dalam ajang demokrasi, sungguh menyebabkan demokrasi tidak sehat.
Besarnya biaya politik di Indonesia adalah indikator dari korupsi Demokrasi.

Demokrasi sendiri tidak menjamin pada kesejahteraan. Namun, tujuan dari pemberantasan korupsi adalah distribusi kesejahteraan.

Dalam hal ini, pentingnya peran KPK dalam memberantas korupsi demokrasi dalam penyelenggaraan pemilu. Tidak sekedar Bawaslu, KPK perlu bertindak dalam menyelamatkan Demokrasi agar tidak dikorupsi.

Fungsi uang yang awalnya sebagai alat transaksi untuk membeli barang. Kini berubah secara signifikan. Uang menjadi subtansi dari politik, dan politik tanpa uang, ibarat pesawat tanpa bahan bakar. Demoralisasi Demokrasi ada dititik kritis, harapan-harapan hanya menjadi wacana dalam ruang-ruang demokrasi.

Pers di Era Korupsi Demokrasi

Pers yang menjadi tembok dan tolok ukur dari industri demokrasi, justru berubah menakutkan. Digitalisasi mengawali ledakan pers dan kebenaran- kebenaran ber-exspansi simpang siur dalam penyajian informasi atau lebih sederhana menjadi papan pengumuman pemodal.

Tentu kita mengingat, peristiwa bersejarah di Pilpres 2014 dan 2019. Masing-masing lembaga survei merilis hasil hitung cepat dengan versi berbeda. Dan media-media menyajikan informasi beragam tentang hasil Quick Count, alhasil, efek dari berita membingungkan masyarakat. Bukankah Pers sendiri berfungsi mencerdaskan dan mencerahkan masyarakat?

Keterbatasan Pers pun, di era korupsi Demokrasi menjadikan batu sandungan bagi pekerja-pekerja jurnalistik (khusus media lokal). Pers yang menjalankan fungsinya sebagai control dipagari oleh UU ITE. Lalu lintas Demokrasi pun tinggal sebuah nama. Undang-Undang Pers No 40 rahun 1999 seharunya mengakomodir (Pers kebal hukum dalam kerja jurnalistik).

Banyak para wartawan atau jurnalis (media lokal) dilaporkan dan masuk jeruji atas tuduhan pencemaran nama baik. Kelemahannya terletak pada lemahnya permodalan perusahaan pers lokal (tidak mampu menyewa lowyer). Disatu sisi, luasnya kewenangan aparat penegak hukum dalam mengintervensi kerja-kerja pers.

Penerapan pasal UU ITE sendiri, jelas-jelas tidak bisa mencedrai nilai nilai Demokrasi. Namun, para jurnalis lokal yang bekerja di perusahaan pers yang lemah dalam permodalan. Jangan coba-coba. Situasi Demokrasi saat ini, sungguh mencemaskan.

Demokrasi pun dikorupsi para Buzzer Pemerintah. Beberapa tahun ini, jangan coba-coba untuk mengkritik pemerintah Jokowi di Facebook atau Twitter. Maka konsekuensinya, anda akan dimaki dan dicaci, merekalah yang disebut para Buzzer pemerintah yang terorganisir.

- Advertisement -
Share This Article