Kopi, Ngopi: Simbol Identitas Budaya Hingga Menjadi Cara Menikmati Hidup Beragam!

Lukman Sanjaya By Lukman Sanjaya
7 Min Read
Kopi, Ngopi: Simbol Identitas Budaya Hingga Menjadi Cara Menikmati Hidup Beragam! (Ilustrasi)
Kopi, Ngopi: Simbol Identitas Budaya Hingga Menjadi Cara Menikmati Hidup Beragam! (Ilustrasi)
- Advertisement -

jfid – Kopi dalam konteks perjuangan bangsa juga pernah mencatat kisah heroik yang kini mungkin sudah dilupakan orang.

Inilah sebuah kisah heroik di awal pergerakan nasional yang memanfaatkan kopi sebagai simbol identitas budaya yang diwartakan oleh wartawan Bintang Timoer, Abdul Rivai, di Leiden pada 3 Oktober 1927.

Sejumlah mahasiswa dan pelajar Indonesia (Hindia Belanda) yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia berkumpul di Leiden.

Mereka tersebar dari berbagai kota di Belanda, ada yang nge-kost di Den Haag, Delft, Rotterdam, Leiden, dan Wageningen.

Ad image

Anggota organisasi pelajar yang dulu bernama Indische Vereeniging, kemudian pada tahun 1924 resmi berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia ini, aktif menggagas, berdiskusi, dan berdebat dalam upaya membebaskan diri dari cengkeraman kolonial.

Dalam pertemuan itu, mereka menonjolkan simbol-simbol budaya yang merujuk pada identitas ke-nasionalan atau ke-nusantaraan dan membuang segala atribut yang berbau Belanda.

Mereka menyebut pertemuan itu dengan istilah selamatan.

Istilah ini dalam konteks kebudayaan Nusantara mengandung pengertian akan sebuah pertemuan yang guyub, akrab, penuh persaudaraan bahkan mengandung unsur spiritual.

Bahasa yang digunakan dalam pertemuan itu adalah bahasa Melayu dan Jawa, bukan bahasa Belanda.

Makanan-makanan yang disajikan semua khas Indonesia, mulai dari tiwul, ketela, sagu, juga rempah.

Cara makan mereka muluk alias menggunakan tangan, tidak menggunakan sendok.

Mereka bergotong royong mulai dari urusan makan hingga urusan bersih-bersih. Semuanya made in Indonesia!

Dalam tulisan reportase bertajuk “Student Indonesia di Eropa”, Abdul Rivai melaporkan, “Kopinja boekan kopi saringan, tetapi kopi toebroek sebab kopi ini kata mereka nationaal, goelanja goela Djawa.

Soesoe tidak dipakai sebab tidak nationaal. Rokoknya kelobot, dengan tjampoeran tjengkeh Noesantara. Selamatan nationaal ini teroes berlangsoeng sampai pagi”.

Pada laporan jurnalisme Rivai ini nampak bahwa kopi tubruk, cengkeh, serta kretek klobot dianggap sebagai simbol budaya yang mewakili identitas ke-nusantaraan.

Klobot rokok kretek asli Nusantara berupa daun jagung (klobot) yang di dalamnya ada rajangan mbako (tembakau Jawa) dicampur dengan cengkeh, rempah-rempah asli Nusantara bersama kopi tubruk berfungsi tak hanya sekadar isapan, minuman, atau kenikmatan namun menjelma sebagai simbol untuk mengungkapkan perasaan nasionalisme dan solidaritas kebangsaan.

Klobot kretek Nusantara yang di dalamnya terdapat cengkeh dihadirkan sebagai simbol pemacu kesadaran dan semangat untuk merdeka karena cengkeh dan tanaman rempah-rempah lainnya seperti pala dan lada, yang menggerakkan bangsa Barat bercokol di Nusantara dan merampasnya.

Simbol klobot cengkeh ini untuk mengingatkan bahwa kolonialisasi yang dibangun oleh kerajaan kolonial Portugis, Belanda, Spanyol, dan Inggris, awalnya memang dibangun atas dasar pencarian tanaman rempah-rempah seperti: cengkeh, lada, kayu manis, dan bunga pala.

Masa itu rempah-rempah merupakan tanaman langka dan berharga sehingga oleh bangsa Eropa disebut-sebut sebagai “tumbuhan sorga”.

Nafsu akan “tumbuhan sorga” ini yang memunculkan energi dahsyat dan jahat berbentuk kolonialisasi dan imperialisme Barat di Timur hingga berabad-abad berikutnya.

Kopi tubruk sendiri digunakan sebagai simbol identitas karena juga merupakan kopi khas Indonesia yang berbeda dengan kopi lainnya di dunia.

Kopi tubruk terbuat dari bubuk kopi yang dijerang bersama dengan gula (saat itu menggunakan gula batu atau gula Jawa).

Ciri khas kopi tubruk adalah endapan kopi di dalam gelas atau cangkir. Pembuatan kopi tubruk berbeda dengan pembuatan kopi lain.

Dalam kopi tubruk, biji kopi yang sudah disangrai tidak dihaluskan menggunakan mesin tetapi ditumbuk dengan tangan.

Di tangan para pemuda terpelajar Indonesia di Belanda itu, kopi tubruk bersama klobot dari sekadar minuman dan hisapan berubah menjadi simbol identitas yang dianggap dapat membangun atau membayangkan komunitas imajiner bersama akan sebuah negara bangsa bernama Indonesia.

Akhirnya, sejarah mencatat bagaimana identitas dan semangat nasionalisme yang pada mulanya disimbolkan dengan hal sederhana: kopi tubruk dan kretek klobot cengkeh ini menemukan jangkar teguhnya dalam pidato Soekarno pada 1 Juni 1945:

“…Kita hendak mendirikan suatu negara ‘semua untuk semua’. Karena itu, jikalau tuan-tuan terima baik, marilah kita mengambil sebagai dasar negara yang pertama: Kebangsaan Indonesia.

Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali atau lain-lain, Tetapi kebangsaan Indonesia yang bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat!”.

Kopi: Dari Bisnis Hingga Cara Menikmati Hidup

Kopi ada pula yang menafsirnya dari guyonan othak-athik basa, dari kata “kopen” yang dalam bahasa Jawa berarti merawat, menjaga, dan memelihara secara hati-hati.

Hanya satu tujuannya, mereka para peminum kopi bisa menumbuhkan dan menikmati sensasi kopi berkualitas dari segi rasa dan aroma.

Tak hanya sekadar harum, tetapi kopi “beraroma surga” ini dianggap sebagai harta karun berlimpah di tanah Nusantara, the Aroma of Heaven.

Bagi sebagian masyarakat di tanah air, kopi bukan sekadar minuman. Tapi, kopi adalah sumber kehidupan.

Mereka mendedikasikan hidupnya demi kopi agar dapur terus mengepul dan anak-anak bisa bersekolah.

Konon kabarnya, sekitar tahun 1602, Belanda dengan kapal VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) bersiasat dagang di Jawa sembari membawa kopi Malabar dari India.

Kopi Arabika ini lantas diuji coba tanam di Batavia (Jakarta). Sayangnya, faktor alam membuat penanaman kopi ini gagal.

Belanda lantas menanam ulang di daerah Sumatera, Bali, Timor Timur, Sulawesi, dan beberapa pulau lain.

Penanaman ini sukses besar. Bahkan, pada 1700-an, VOC memonopoli perdagangan kopi di Eropa dan seluruh dunia.

Muncul lahan kopi terluas di Asia Tenggara, Dataran Tinggi Gayo dengan kopi Gayo. Sedang, di Jawa, lebih populer dengan kopi Java.

Dalam jagat literasi, kopi juga disinggung-singgung sedikit dalam novel Max Havelaar karya Douwes Dekker.

Novel lawas berwibawa ini bersetting sosial tentang sisi terselubung sistem tanam paksa di Indonesia yang mencerminkan ketidakadilan dan kekejaman Belanda terhadap petani Indonesia termasuk petani kopi.

Disaat era 2000-an, kopi Indonesia mulai bersinar di kancah internasional.

Bahkan, sukses menempati posisi keempat produsen kopi terbesar sejagat raya, di bawah Brazil, Vietnam, dan Kolombia.

- Advertisement -
Share This Article